Bab 3. Interview Kerja

1137 Kata
Bianca terlonjak dari kasur, matanya memicing karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela. “Mampus! Jam berapa ini?” keluhnya sembari memegangi kepalanya yang pening. Tapi ia harus cepat, mencari ponselnya yang entah di mana. “Waduh, udah jam tujuh!” Bianca berseru tertahan karena pria tampan di sampingnya masih terlelap. Wanita itu cepat-cepat bangun dari tempat tidur, menuliskan sesuatu di selembar kertas, kemudian mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Bianca menyambar tasnya yang juga tergeletak asal, lalu gegas menuju pintu. Langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia menoleh, menatap Kala yang belum juga terbangun. “Semalam itu luar biasa, tapi sayang… kita nggak bakal ketemu lagi,” gumamnya, sedikit menyesal. Bianca keluar dari kamar itu dengan langkah tergesa, bahkan ia nyaris menabrak pria yang berjalan dari arah berlawanan. Ia meminta maaf dengan cepat, kemudian segera berlalu. Ponselnya yang baru saja menyala beberapa detik lalu segera bergetar panjang, ada telepon masuk dari Zita. “Lo di mana, Bianca?!” Suara Zita melengking di ujung telepon. “Gue bilang juga apa, ngeyel banget sih?! Lo tahu sekarang jam berapa, hah?! Jam tujuh, Bianca!” Bianca meringis. “Jangan ngomel dulu, Zi. Nanti aja, ya? Maki-maki gue juga nggak apa-apa, tapi nanti. Sekarang masa depan gue ada di tangan lo, Zi. Please, bantuin gue, ya? Lo masih di apart kan?” Terdengar dengusan kasar dari Zita. “Lagi siap-siap berangkat, kenapa?” “Tolong bawain baju gue yang buat interview, kita ketemu di gedung kantor lo. Gue mandi di sana aja. Udah nggak ada waktu kalau gue harus balik ke apart lo dulu.” Bianca memohon, memelas. Ia keluar dengan terburu-buru lewat pintu belakang kelab malam yang sudah tutup itu. “Di mana bajunya, Bi?” tanya Zita, intonasinya masih agak kesal. “Gue gantung bareng kemeja lo, ada di situ … blazer item. Ada nggak?” “Oh, ada ada. Ya udah, gue bawa ini aja?” “Iya. Itu isinya udah lengkap. Oh, satu lagi, Zi!” “Apa lagi?” Zita mendengus. “Bawain berkas lamaran gue juga, kali aja ditanya.” Bianca menjepit ponselnya dengan bahu, ia memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat. Segera masuk dan menyebutkan nama kantor tujuannya. “Oke, udah.” “Sip, makasih banyak, Zita.” Bianca mendesah lega. Tubuhnya yang sejak tadi menegang panik seketika terasa lemas. “Kalau gue keterima kerja, nanti kita makan enak.” “Bener, ya? Gue tagih loh!” “Iya, beres pokoknya.” Sebuah senyum merekah di bibir Bianca. Setidaknya, satu masalahnya sudah teratasi. Bianca menatap keluar jendela, memandangi hiruk pikuk kota Jakarta yang menggeliat bertenaga. Wanita itu belum tahu, bahwa masalah lain sedang menunggunya datang. Sementara itu di lantai teratas gedung kelab malam Harmoni, langkah Ruben yang sempat terhenti karena hampir menabrak seorang wanita itu kembali terayun. Salah satu pemilik saham di Harmoni itu memasuki private room yang disewa Kala semalam. “Ck, masih molor aja,” gumamnya ketika melihat sahabatnya masih terlelap di atas kasur. Sebelah alisnya terangkat ketika melihat ruang kosong yang tampak berantakan di sisi Kala. Ia memicing curiga, dan kecurigaannya semakin kuat setelah ia menemukan secarik kertas di atas nakas. “Bangun, Pak Manajer. Udah jam tujuh nih,” ujarnya sembari menepuk lengan Kala dengan cukup keras. Kalandra menggeliat, tangannya meraba kasur di sebelahnya, kosong. Pria itu langsung terjaga. “Ke mana dia?” tanyanya panik, masih dengan suara serak khas bangun tidur. “Dia siapa? Oh, cewek yang habis lo pake semalam?” sindir Ruben. “Lo usir dia, ya?” tuduh Kala tajam. “Enak aja!” Ruben mengambil selembar kertas yang ditinggalkan Bianca di atas nakas. “Dia ninggalin lo, Kal. Hahahaha!” Pria itu tertawa puas. Pasalnya, ini pertama kalinya ada perempuan yang meninggalkan Kalandra sehabis menikmati malam panas bersama. Biasanya para perempuan itu akan menggelendot manja tak mau ditinggalkan. Meski pada akhirnya Kala tetap mencampakkan mereka. Kalandra menatap kertas itu, membaca tulisannya sekilas lantas meremasnya kesal. “Thanks, last night was great! Hahaha.” Ruben mencibir Kala dengan menirukan isi pesan yang tertulis di kertas itu. Kala berdecak kesal. “Awas aja kalau gue ketemu dia lagi, nggak bakal gue lepasin. Enak aja cuma bilang makasih.” Pria jangkung itu beranjak dari kasur. Memakai pakaiannya dengan cepat, lantas bergegas keluar kamar. “Mau ke mana?” Ruben mengekor di belakang Kala. “Kerja. Apa lagi?” sahut Kala ketus. *** Bianca berjalan tergesa keluar dari lift, segera bergabung bersama para pelamar kerja yang juga dijadwalkan untuk interview hari ini. “Interviewnya udah mulai?” tanyanya pada salah seorang staf di sana. “Belum, lima menit lagi baru akan dimulai,” jawab staf itu sopan. Bianca menghela nafas lega. “Terima kasih.” Ia gegas berlalu, mencari tempat duduk kosong. Di tempat ini, waktu bergulir sangat lambat. Bianca membunuh jenuh dengan berselancar di media sosial. Tapi ia jadi kesal sendiri karena unggahan foto-foto pernikahan mantan suaminya masih terus memenuhi beranda. Sayangnya, ketika ia memilih bengong justru ingatan tentang kejadian semalam yang terlintas. Membuat wajahnya bersemu merah. Untungnya, ia tak perlu menunggu lebih lama. Nomor urutnya telah dipanggil. Bianca berdiri, merapikan pakaiannya kemudian memasang senyum terbaik di wajah cantiknya. Kemampuannya merias membuat gurat kelelahan di wajahnya jadi tersamarkan. Ia memasuki ruang interview dengan penuh percaya diri. Namun, apa yang sudah menunggunya di dalam ruangan itu membuat kepercayaan dirinya runtuh seketika. Di depan sana, di belakang meja panjang, sudah duduk tiga orang petinggi perusahaan ini yang bertugas menginterview calon karyawan baru. Mereka menatap Bianca hingga wanita itu duduk. Tidak, bukan itu yang jadi masalah. Masalahnya adalah ia mengenal siapa pria tampan yang duduk di tengah itu. Ya, ia adalah pria yang tidur dengannya semalam! Bianca menelan ludah gugup, menghindari tatapan Kalandra yang menghunjam padanya. Pria itu jelas menyadari siapa Bianca, tapi ekspresinya tetap terlihat datar meski ada seringai tipis di sana. Untungnya, pertanyaan interview dimulai dari seorang HRD yang duduk di ujung kiri. Sepuluh menit berlalu, Bianca mampu menjawab pertanyaan dari HRD dengan baik. Dan sekaranglah masalah terberatnya, ia harus berhadapan dengan pria yang ia kira takkan pernah ia temui lagi. Kala menyeringai tipis sebelum mengajukan pertanyaan. “Bianca Cornelia?” Suara bariton pria itu terdengar mengejek. Sekali lagi, Bianca menelan ludah kemudian tersenyum semanis mungkin. “Benar, Pak.” “Lulusan S1 manajemen bisnis, melamar di bagian pemasaran, benar?” Kala bertanya dengan mata elangnya yang menatap Bianca lekat. Wanita itu mengangguk sopan. “Benar, Pak.” “Berarti kalau kamu lolos, kamu akan sering bertemu dengan saya. Saya Kalandra, manajer pemasaran di sini.” Bianca menahan nafas, nyaris mendelik kaget. Namun ia cepat-cepat memperbaiki ekspresinya. “Apa kita pernah bertemu, Bianca? Saya merasa familiar dengan wajahmu.” Wanita itu menggeleng cepat. “Sepertinya Bapak salah orang,” jawabnya diplomatis. “Begitu?” Kala mengangkat sebelah alisnya, tersenyum miring. “Padahal saya nggak pernah salah mengenali wajah orang.” Bianca meringis. Sungguh, ia ingin kabur saja dari sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN