Bab 6. Menunggumu

1430 Kata
Kelab Harmoni, pukul 22.00. Kalandra duduk di balkon lantai dua, di meja favoritnya. Mata elangnya menatap lurus ke pintu masuk Harmoni. Ia menunggu seseorang. “Woy!” Ruben menepuk pundak Kala, kemudian menghempaskan tubuhnya di samping sahabatnya. “Nunggu siapa, sih? Ngeliatin pintu terus.” “Cewek yang kemarin,” jawab Kala singkat tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Kedua netra Ruben membola. “Kenapa? Lo mau kasih dia pelajaran karena tulisan yang dia tinggalin itu?” “Yah, salah satunya.” Kala menyeringai. “Yang lainnya?” tanya Ruben penasaran. “You know, Ben. She’s so f*****g good, mana cantik banget.” Kala terkekeh pelan. “Really, Kal?” Tawa Ruben terurai seketika. “Ini kayak karma nggak sih? Biasanya lo yang nolakin cewek-cewek sekarang cewek yang nolak lo. Mana telak banget lagi, cuma dikasih makasih, hahahaha!” Kala mendengus. Meneguk minuman memabukkan di gelasnya. Ia sedikit kesal, sudah satu jam menunggu, tapi wanita yang ia nantikan tak juga muncul. “Lo yakin dia bakal ke sini malam ini?” tanya Ruben setelah tawanya reda. “Hm … harusnya sih, iya.” Kala yakin ia telah memberi sedikit pengalaman interview yang menyebalkan untuk Bianca, harusnya malam ini wanita itu merasa frustasi dan butuh sedikit bersenang-senang di sini agar perasaannya sedikit membaik. Tapi ternyata dugaannya meleset. Atau, sebenarnya dugaannya benar tapi Bianca memilih kelab lain karena ia ingin menghindari Kala? Entahlah. “Terus kok belum dateng sampe sekarang?” Ruben bertanya lagi. “Ck, gue juga nggak tahu, Ben.” “Permisi….” Seorang wanita dengan pakaian yang serba mini terlihat berdiri di sebelah Kala. Ia menunduk sedikit, sengaja menunjukkan belahan dadanya. Sebuah senyum manis tersemat di bibirnya yang terbalut lipstik pink. “Kalandra, betul?” Ruben terbelalak. “Dia yang lo tunggu?” “Bukanlah!” Kala melirik wanita seksi itu tajam. “Kenapa?” tanyanya ketus. “Gue Vanya, kita … pernah bertemu sebelumnya, ingat?” Tangan wanita itu menyentuh pundak Kala, meremasnya pelan. “Di private room nomor 308, balkon lantai 3, ingat?” Ia mengerling sekilas, menggoda. Tentu saja Kala ingat, ia punya ingatan yang cukup bagus. Ia bisa mengingat detail kejadian termasuk wajah orang dengan sangat baik. Tapi ia malas, wanita yang menghampirinya ini tidak penting baginya. Maka ia menggeleng. “Nggak inget sama sekali,” cetusnya sembari menyedekapkan tangan di depan d**a, defensif. Raut kecewa terbit di wajah wanita bernama Vanya itu. Tapi ia tak peduli, tangannya justru semakin berani, turun dan mulai meraba d**a bidang Kala. Dalam satu gerakan cepat, Kala segera menepis tangan itu, bahkan nyaris memelintirnya. Ia berdiri, menatap tajam wanita bernama Vanya itu dengan mata elangnya yang berkilat marah. “Jangan sentuh-sentuh gue tanpa izin!” desisnya marah. Vanyak menciut seketika, wajahnya bahkan terlihat hampir menangis. Kala mendengus. “Gue balik,” ucapnya pada Ruben. “Mood gue langsung jelek, sial! Oh ya, Ben, lo bilangin bartender lo, kalau ada cewek yang kemarin ke sini lagi, kabari gue langsung.” “Oke, Kal. Beres!” Ruben mengacungkan jempolnya. “Lo nggak apa-apa?” Ia bertanya pada Vanya yang masih meringis memegangi pergelangan tangannya. “It’s okay.” Vanya tersenyum, lalu ia beranjak hendak menyusul Kala. “Kayaknya mending jangan lo susulin,” cegah Ruben cepat. Vanya menghentikan langkahnya. “Kenapa?” “Lo denger sendiri tadi, lo ngerusak mood dia. Gue nggak yakin lo bakalan selamat kalau lo berani susulin dia sekarang.” Hening. Vanya terdiam menatap kepergian Kala, ia menimbang. Kemudian, akhirnya memutuskan untuk menuruti perkataan Ruben. Wanita itu berbalik, meninggalkan balkon lantai dua dengan sebuah tekad dalam hati. Ia takkan melepaskan Kalandra. *** Keesokan harinya, Bianca benar-benar mendatangi rumah mantan suaminya. Sebenarnya ia enggan, tapi ia juga tidak mau kehilangan semua alat make up dan syutingnya. Ia membeli alat-alat itu sedikit demi sedikit menggunakan uang yang ia kumpulkan sendiri. Apalagi sejak perceraiannya, ia masih belum mengunggah satu pun video konten di akun sosial medianya. Rupanya barang-barang Bianca sudah dipindahkan semua ke gudang. Dimasukkan dalam beberapa kardus dan kantong kresek. “Kayaknya udah mau dibuang, tapi kenapa nggak jadi, ya?” Bianca mengerutkan kening, lalu mengangkat bahu. “Bodo amat, yang penting gue bisa dapetin barang-barang gue lagi.” Ia mengeluarkan sebuah kantong kresek besar dan dua buah kardus dari gudang. Mengangkatnya satu persatu ke ruang tengah. “Kalau sebanyak ini kayaknya perlu minta tolong satpam bawain ke depan.” Bianca merogoh sakunya, ia masih menyimpan nomor satpam yang bertugas menjaga rumah besar ini. Namun, belum sempat ia menelepon satpam, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Itu telepon dari Mila, ibu tirinya. “Ck, ngapain sih?!” Bianca berdecak tak suka. Ia membiarkan ponsel itu berdering panjang berkali-kali. Lalu ketika akhirnya ponselnya senyap, ia pikir Mila takkan menelpon lagi. Nyatanya tidak, ibu tirinya itu terus meneleponnya. Mau tak mau, akhirnya Bianca mengangkatnya. “Kok lama banget ngangkat teleponnya?” Suara lembut keibuan segera menyambut pendengaran Bianca. Wanita itu memutar bola matanya, menjawab asal. “Dari toilet.” “Oh … kamu ada di rumah, Nak?” Mila bertanya dengan intonasi amat bersahabat. “Iya, kenapa?” “Bunda mau ke sana, boleh?” Bianca mendelik kaget. “Eh, ngapain?!” Tanpa sadar, ia berseru nyaring. Mendadak , jantung Bianca berdegup kencang. “Apa jangan-jangan mereka udah tahu kalau gue sama Rey udah cerai? Aduh, gimana ini?!” “Nggak ada, sih. Cuma … Bunda sama papa kamu ada di daerah deket rumah kalian, sekalian mau mampir.” “Buat apa, sih? Mas Rey lagi nggak di rumah juga,” sahut Bianca ketus. Padahal ia panik luar biasa hingga tanpa sadar menggigiti ujung kukunya. “Loh, ke mana suamimu?” “Ada tugas ke luar kota.” Hening sesaat. Kemudian suara Mila kembali terdengar. “Kamu dan Rey nggak ada masalah, ‘kan?” Bianca tersentak, ia semakin panik. Tidak, orang tuanya belum boleh tahu tentang perceraiannya dengan Rey. Ia belum siap menerima amukan papanya. “Enggak, kok.” “Beneran? Soalnya tiap kali Bunda telepon Rey, dia juga selalu bilang kamu lagi nggak di rumah. Kalian … nggak lagi pisah ranjang, kan?” tanya Mila hati-hati. Bianca merutuk dalam hati. “Pisah ranjang apanya, malah udah cerai!” Tiba-tiba, Bianca teringat sesuatu. “Oh ya, kalau mau minta uang jatah bulanan jangan telepon mas Rey lagi, minta aku aja. Mas Rey udah nggak ngurus soal itu.” “Oh, iya. Kemarin Bunda tanya Rey soalnya tumben telat kirim uang, biasanya tiap tanggal 1 selalu ada uang masuk. Ya sudah, ke depannya Bunda minta ke kamu aja,” sahut Mila enteng. Bianca menggeram dalam hati. “Dasar cewek matre!” “Kamu jangan menuduh Bunda matre, ya, Bianca. Bunda begini karena waktu Bunda sudah habis untuk merawat papamu yang sakit-sakitan. Jadi Bunda udah nggak bisa membantu menjalankan usaha papamu itu,” ujar Mila seolah bisa membaca isi pikiran anak tirinya itu. “Ya salah kalian juga kenapa aku selalu nggak dibolehin megang usaha papa, malah aku dijual buat jadi istri mas Rey.” “Bianca!” Mila berseru marah. “Kami nggak pernah menjualmu, Bianca. Kami hanya mencarikan pasangan yang tepat buatmu.” “Omong kosong!” desis Bianca kesal. “Percayalah, Nak, Rey pasti lebih bisa membahagiakanmu dibanding kami.” Suara Mila terdengar memelas. Bianca memutar bola matanya malas. Ia paling benci berhadapan dengan ibu tirinya yang baginya sangat pandai berakting dan bersilat lidah. “Udahlah, udah nggak ada urusan, kan? Aku tutup teleponnya.” Bianca memutus teleponnya sepihak. Suasana hatinya benar-benar memburuk. Sampai hari ini, ia tidak pernah tahu apa alasan papanya menikahi Mila, perempuan yang jauh berbeda dengan mendiang istrinya dahulu. Ah, ada satu kesamaan. Mereka sama-sama terlihat lembut dan keibuan, tapi Bianca yakin, itu hanyalah topeng yang dikenakan Mila untuk menjerat papanya. “Aaaarkh, bodo amat! Pokoknya sekarang gue harus angkutin ini dulu keluar,” serunya sembari mengangkat barang-barangnya ke luar rumah. Niatnya untuk meminta tolong satpam seketika terlupakan begitu saja. Pada saat yang sama, Mila yang sedang menepikan mobilnya untuk menelepon putri sambungnya itu segera melajukannya kembali. “Apa kata Bianca?” Seorang pria yang sebagian rambutnya sudah memutih bertanya dari kursi penumpang. Mila menoleh. “Kita nggak boleh mampir,” ucapnya sedih. Fabian, papa Bianca itu menghela nafas. “Dia juga masih ketus setiap bicara denganmu?” Mila tersenyum tipis, kembali fokus menyetir. “Nggak apa-apa, Sayang. Aku bisa mengerti kenapa dia bersikap begitu.” “Kamu jangan terlalu baik sama dia, sekali-kali dikerasi nggak apa-apa. Bianca itu terlalu dimanja sama mamanya dulu.” Mila mengangguk. “Tentu saja. Kalau aku punya anak secantik Bianca juga akan selalu memanjakannya.” Fabian mendengus, Mila tertawa pelan. Akhirnya mereka tidak jadi mampir ke rumah Rey, sesuai permintaan Bianca.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN