Bab 5. Aku Mau Cucu

1233 Kata
Kalandra baru tiba di kediaman keluarganya, mansion Andara, setelah langit ibukota berubah gelap. Ia melepas dasi dan melonggarkan kancing kemejanya sembari berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Pria bertubuh tinggi itu masuk ke kamar mandi, membersihkan diri sekaligus meluruhkan penat usai seharian bekerja. Kala tersenyum sembari menikmati guyuran air hangat yang membasahi seluruh tubuhnya. Pikirannya melayang pada kejadian semalam. Desahan nikmat yang keluar dari bibir ranum Bianca masih terngiang di telinganya. Tubuh seksi wanita itu yang terperangkap di bawah tubuhnya pun masih tergambar jelas dalam benaknya. Usai membersihkan diri, Kala keluar dari kamar mandi dengan cepat. Ia duduk di tepi ranjang, membuka laci nakas paling bawah, mengeluarkan sebuah figura berisi foto dua anak kecil yang sedang tertawa lebar. Bibir tipis Kalandra merekahkan senyuman. “Akhirnya kita bertemu lagi, Bianca,” gumamnya dengan wajah sumringah. Tepat ketika ia memasukkan kembali foto itu ke dalam laci, pintu kamarnya diketuk dari luar. Dan begitu ia membuka pintu, sudah ada asisten ayahnya yang berdiri di sana. “Ada apa, Mada?” “Maaf, Mas Kala, Mas Kala dan Mas Azra diminta ke kamar bapak sekarang,” ujar pria yang dipanggil ‘Mada’ itu. “Sekarang juga?” “Benar, Mas. Mas Azra sudah saya beri tahu barusan.” “Oke. Lima menit, ya? Saya pakai baju dulu.” Mada mengangguk, pintu kamar itu kembali tertutup. Kala menepati janjinya, belum lima menit ia sudah keluar dari kamar. Bergegas menuju kamar ayahnya yang ada di sayap kiri bangunan. Di perjalanan, ia sempat berpapasan dengan Azra. Tapi kakak beradik itu hanya saling melirik, tanpa bertegur sapa sama sekali. Azra bahkan mempercepat langkahnya, hanya agar tidak berjalan bersisian dengan sang adik. Adam Alvandara, bos Andara itu sudah menunggu kedua putranya di atas ranjang, duduk bersandar ke headboard. Sebulan terakhir, hidupnya memang lebih banyak dihabiskan untuk berbaring di atas kasur. Usianya yang sudah senja membuat beberapa penyakit karena penurunan fungsi tubuh menghampiri bersamaan. “Kalian sudah datang?” sambutnya dengan wajah datar. Meski terlihat lemah, suaranya tetap bertenaga. “Apa kabar, Pi?” Azra bertanya lebih dulu, tersenyum simpul. “Kau bisa lihat sendiri kondisiku, Azra. Tidak usah bertanya,” sahut Adam dingin. Kala mengulum bibir, menahan senyum melihat kejadian memalukan di hadapannya. Kakak beradik itu duduk di kursi yang telah disediakan di tepi ranjang, menghadap ayah mereka dengan menegakkan punggung. “Kenapa Papi manggil kami ke sini?” Kali ini Kala yang bertanya. Adam terbatuk pelan sebelum menjawab. Dengan sigap, Mada yang sejak tadi berdiri siaga di dekat ranjang segera mengambilkan air minum. Bos Andara itu meneguk airnya, melegakan tenggorokan. “Kalian sudah melihat kondisiku semakin memburuk tiap harinya,” ucap Adam memberi awalan. “Karena itu, sepertinya memang sudah saatnya aku menunjuk penerus.” Kala dan Azra saling melirik sekilas, aroma persaingan di antara keduanya langsung tercium pekat. “Tapi aku tidak akan menilai dari kinerja kalian untuk menentukan siapa yang pantas menjadi penerusku.” Adam melanjutkan. “Aku … hanya akan meminta seorang cucu.” “Apa, Pi?!” Kala dan Azra berseru bersamaan. Adam menghela nafas panjang, tatapannya menerawang. “Aku hanya mau cucu. Rumah ini sudah lama sepi sejak mami kalian meninggalkan kita. Aku tahu, hubunganku dengan kalian pun merenggang sejak saat itu. Karena itu, kehadiran seorang cucu mungkin mampu mengembalikan kehangatan di dalam rumah ini, pun bisa menjadi temanku menghabiskan waktu setelah aku pensiun nanti.” “Tapi, Pi, saya kan belum nikah? Gimana mau ngasih cucu?” Kala mendengus kesal, ada-ada saja syarat dari ayahnya itu. “Aku tidak akan mati besok, Kala. Kamu bisa menikah dalam waktu dekat. Lalu segeralah beri aku cucu. Kakakmu saja sudah menikah satu tahun belum juga bisa memberiku cucu.” Adam melirik putra pertamanya tajam, kemudian terbatuk lagi. Kala mengepalkan tangan kuat-kuat. “Tapi Papi nggak akan mengatur perjodohan untuk saya kan?” Adam menggeleng. “Tidak. Lihat kakakmu, untuk dia juga aku tidak menjodohkannya dengan siapapun. Carilah sendiri pasanganmu. Kamu yang mau menjalani kehidupan pernikahan, jadi kamu pilih sendiri pasanganmu. Karena dulu, aku juga begitu.” Ia tersenyum, mengenang masa lalu bersama mendiang istrinya. “Baik, Pi,” sahut Kala senang. *** “Lo yakin bisa menemukan calon istri dalam waktu dekat?” tanya Azra begitu dua putra Andara itu keluar dari kamar ayah mereka. Kala tertawa sinis. “Gue sih nggak perlu mencari, pasti sudah banyak perempuan yang mau gue jadiin istri. Gue cuma perlu nunjuk salah satu dari mereka aja.” “Oh iya, lo kan player. Atau … lo hamilin aja salah satu cewek lo itu terus nikahin, kayaknya bisa tuh lebih cepet ngasih cucu buat papi,” sindir Azra tajam. “Wah, bagus juga ide lo. Padahal tadinya gue mau jadi anak baik-baik, nikahin anak cewek orang baik-baik baru gue hamilin. Makasih idenya, Kak.” Kala menepuk pundak Azra pelan, membuat kakaknya itu menatapnya tajam. “Hati-hati, bisa aja kali ini lo yang kalah.” Kala berlalu dari hadapan kakaknya dengan langkah ringan. Tak peduli dengan tatapan tajam dari Azra yang seperti hendak membolongi punggungnya. Dulu, Kala dan Azra bukan saudara dengan aura persaingan sengit seperti ini. Tapi, kehilangan ibu mereka membuat hubungan keduanya semakin renggang. Ditambah dengan kebiasaan Adam yang hobi sekali memberikan target tertentu pada kedua putranya dan hadiah bagi si pemenang, bibit-bibit persaingan pun tumbuh subur di hati Azra dan Kala. Azra memasuki kamarnya yang terletak di sayap kanan mansion Andara itu. Di dalam sana, sudah ada sang istri yang menunggu dengan gelisah. “Apa kata papi, Mas?” Dara, istri Azra bertanya cepat. Ia membimbing suaminya duduk di tepi ranjang demi melihat wajah suaminya yang tertekuk. “Papi mau cucu,” ucap Azra pendek. Pundak Dara terkulai. Akhirnya, hal yang paling ia takutkan terjadi juga. Meski sejak pernikahan mereka Adam tak pernah menyinggung soal cucu, tapi ia yakin pria tua itu juga menunggu-nunggu kehadiran seorang cucu. “Kamu harus bisa hamil tahun ini, Sayang.” Azra melanjutkan. “Kamu kan dokter kandungan, harusnya kamu lebih dari tahu cara supaya bisa cepat hamil.” Dara menelan ludah, memperbaiki ekspresinya. “Iya, Mas. Aku akan berusaha lagi.” “Iya, berusahalah lebih keras. Ini bukan hanya soal papi ingin menimang cucu, tapi siapa yang bisa memberi cucu lebih dulu, dia akan jadi penerus Andara. Kamu pasti juga ingin aku bisa mengambil alih perusahaan papi, ‘kan?” Dara mengangguk mantap, tersenyum meski hatinya terasa nyeri. “Iya, Mas. Tapi … adik kamu kan belum menikah. Bukannya syarat itu jadi kurang adil, ya?” “Cewek Kala tuh ada di mana-mana, dia tinggal menghamili salah satu dari mereka, menikahinya, dan beres.” “Memangnya papi nggak bakal marah?” Azra menggeleng. “Papi nggak menentukan syarat untuk cara mencapainya, yang penting papi mau cucu. Makanya, kalaupun kamu harus melakukan bayi tabung, inseminasi buatan, atau apalah itu, kita lakukan saja.” “Iya, Mas.” Sementara itu di kamar Kala yang terletak di bagian tengah mansion, pria itu justru sedang tersenyum cerah sembari menempelkan ponselnya ke telinga. “Ternyata benar, papi memang udah ngebet pengen nimang cucu. Makasih infonya, berkat kamu, aku jadi selangkah lebih cepat daripada kakakku.” Ia terdiam sejenak, mendenger sahutan seseorang di ujung telepon. Lalu, setelah berbasa-basi satu dua kalimat, ia memutus sambungan telepon. Kala kembali ke tepi ranjangnya, membuka laci terbawah nakas, mengeluarkan foto lama dirinya dan Bianca, lalu meletakkannya di atas nakas. “Aku nggak tahu kenapa kamu bisa yakin kalau kamu mandul, tapi … semoga benihku bisa membuatmu hamil, Bianca,” lirihnya dengan seringai di bibir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN