Bab 8. Rencana Kalandra

1288 Kata
“Zita, Zita, banguuuun!” Bianca menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya yang masih tertidur lelap. “Bangun, Zi, ini udah jam tujuh!” “Hah?!” Zita segera bangkit dari tidur. Matanya mengerjap-ngerjap, ia menguap lebar. “Kenapa nggak lo bangunin dari tadi?” “Gue udah bangunin lo dari setengah jam lalu, Zita. Ayo bangun!” Bianca menimpuk sahabatnya dengan guling, sedikit kesal karena dituduh tidak membangukannya. Zita menguap sekali lagi kemudian turun dari kasur. “Zi, nanti pulang kerja temenin gue ke mall, ya? Cari baju kerja,” ucap Bianca sembari menyiapkan sarapan. Kebiasaannya melayani Rey tetap terbawa hingga sekarang. “Hah? Ngapain lo cari baju kerja?” Zita yang hendak masuk ke kamar mandi menoleh, menguap lagi. Sepertinya kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. “Ngapain, ya? Mau gue pake buat keset kali,” sahut Bianca asal. Akhirnya kesadaran Zita terkumpul seluruhnya. Terbukti dari wajah wanita itu yang kini ternganga. “Bianca! Lo lolos?” serunya antusias. Bianca menoleh, tersenyum manis. “Iyaaaa! Gue lolos, Zi! Gue nggak percaya waktu baca email tadi pagi, tapi gue beneran lolos, Zi!” Ia berseru tak kalah keras, bahagia bukan main. Zita berlari menghampiri Bianca, memeluk sahabatnya itu erat. “Selamat, Bi! Akhirnya … apa gue bilang? Lo pasti lolos.” “Iya. Gue aja yang pesimis,” ucap Bianca dengan mata berkaca-kaca. Pelukan mereka terlepas. Sepasang sahabat itu saling tatap. Kemudian Bianca berucap lebih dulu. “Sana buruan siap-siap. Gue ikut lo berangkat, mau ke rumah sakit buat MCU, soalnya disuruh ngelampirin hasil medical check-up.” “Oke! Jangan lupa traktiran, ya? Lo janji mau traktir makan enak kalau lolos.” “Hahaha, beres! Nanti habis belanja, oke?” Zita mengacungkan jempolnya kemudian segera berlalu ke kamar mandi. Sementara Bianca duduk di ruang tengah, menunggu sahabatnya selesai bersiap-siap. Surat elektronik berisi pemberitahuan bahwa dirinya lolos interview dan psikotes itu ia terima sekitar pukul enam pagi tadi. Bukan jam yang wajar untuk menerima email dari sebuah perusahaan besar. Karena itu, ia sempat tidak memercayai pemberitahuan itu. Namun, karena alamat email yang mengirimkan penawaran kerja itu sama dengan alamat email yang terakhir kali menghubunginya untuk interview, ia memutuskan untuk mempercayainya. Senyum cerah tak juga lepas dari bibir Bianca. Ia sangat bahagia. Setidaknya mulai sekarang, uang bulanan untuk orang tuanya akan aman. Dan yang lebih membahagiakan adalah jalan menuju rencana balas dendamnya telah terbuka. Mulai dari sini, ia harus menyiapkan dengan lebih bersungguh-sungguh. “Seneng banget kayaknya?” goda Zita yang sudah selesai bersiap-siap, ia ikut bergabung di ruang tengah. “Haha, iyalah! Lo awal-awal diterima di Andara pasti juga kayak gue, kan?” “Iya, sih. Tapi kayaknya gue lebih banyak deg-degannya karena takut daripada deg-degan karena antusias.” “Lah, kenapa?” “Gue diterima di sana ‘kan pas masih fresh graduate, takutlah. Di bayangan gue, dunia kerja tuh menakutkan. Seniornya galak-galak, suka semena-mena, gitu deh.” “Tapi ternyata?” “Enggak, hehe. Pada baik-baik semua. Eh, kecuali pak Kala, sih.” Bianca terkesiap. Ia melupakan fakta itu. “Aduh, iya! Saking senengnya gue sampe lupa kalau bakal ketemu dia terus kalau beneran keterima. Huhuhu, gimana nasib gue, Zi?” Rona bahagia yang sejak tadi menghuni wajah cantik Bianca berubah menjadi kegelisahan dan kepanikan. “Santai aja. Pak Kala tuh kelihatannya aja galak, aslinya dia baik, kok. Dia galak tuh kalau kitanya susah dibilangin, nggak bisa belajar dari kesalahan yang udah-udah, gitu. Asal lo bisa ngimbangi cara kerja dia, aman, kok.” Bahu Bianca terkulai. “Masalahnya bukan itu doang, Zi. Gimana cara gue ngadepin dia dengan normal setelah gue tahu gimana bentukan dia pas nggak pake apa-apa? Susah, Zi!” “Oh, iya! Hahaha.” Zita tak mampu menahan tawanya demi melihat wajah panik Bianca. “Ya … gimana, ya? Susah, sih. Kalau gitu, sebisa mungkin lo nggak berurusan sama dia, deh.” “Emang bisa?” tanya Bianca ragu. “Dia ‘kan manajer pemasaran, sementara gue ngelamar di bagian pemasaran.” “Bisa, sih. Jadi di divisi gue tuh dibagi beberapa tim. Nah, pak Kala ini megang tim yang sekarang nge­-handle project buat produk baru yang belum launching. Gue juga ada di dalam tim itu. Kayaknya nih, nggak bakal ada anak baru yang dimasukin ke tim kita karena terlalu beresiko. Jadi, menurut gue lo bakal dimasukin ke tim lain.” Zita mencoba mengutarakan pendapatnya. “Hm, gitu, ya?” Bianca mengusap dagunya pelan. “Semoga prediksi lo bener, deh. Gue beneran nggak yakin bisa bersikap normal di depan bos lo itu. Gue juga tahu banget dia inget gue, Zi. Huhuhu….” “Bentar, deh. Emang kenapa kalau dia masih inget sama muka lo? Lo takut diajak gituan lagi?” “Bukan, gila!” “Nah, terus?” Bianca meringis. “Gue … ninggalin surat berisi ucapan terima kasih sebelum dia bangun.” Zita ternganga, kemudian segera terbahak. “Lo ngide banget, sih? Ya ampun, Bianca!” Tawanya benar-benar meledak, membahana ke seluruh ruangan. Bianca masih meringis, merutuki dirinya yang melakukan hal itu tanpa pikir panjang. “Mana gue tahu bakal ketemu di situasi nggak terduga kayak gini,” keluh Bianca lirih. “Kayaknya pak Kala sakit hati deh, lo gituin,” ucap Zita setelah tawanya reda. “Ya iya, pas interview aja tatapannya beuh… kayak mau ngebunuh gue. Untung aja gue nggak sampe ngasih duit, udah kayak ngebayar gigolo aja. Dan kalau beneran kejadian, kayaknya gue langsung di-blacklist, deh.” Zita kembali meledakkan tawanya. Sungguh tak habis pikir dengan tingkah sahabatnya. Bisa-bisanya meninggalkan catatan terima kasih sehabis melakukan one night stand, bahkan berpikir hendak meninggalkan sejumlah uang untuk pria itu. Benar-benar pemikiran yang ajaib! *** Kantor Tim 1 Divisi Pemasaran A&K Andara. Zita memasuki ruangan manajer pemasaran dengan dua buah dokumen di tangan. “Permisi, Pak,” ucapnya sopan. Kala mengangkat wajahnya. “Masuk!” “Ini laporan dari bagian produksi, Pak. Sudah ada contoh kemasan yang kita sepakati di rapat sebelumnya.” Zita meletakkan dokumen itu di atas meja. “Lalu, ini beberapa konsep strategi pemasaran yang kemarin Bapak minta untuk dikembangkan. Menurut saya, sepertinya perlu rapat lanjutan untuk membahas ini, Pak.” “Terima kasih, Zita.” Kala menerima dua dokumen itu, membukanya sekilas. “Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya izin un—“ “Tunggu sebentar!” Kala mengangkat tangannya, menyuruh Zita untuk tidak beranjak. “Mulai pekan depan, akan ada karyawan baru yang bergabung dengan divisi pemasaran.” Zita mengangguk. “Sudah tahu, Pak. Salah satunya temen saya, tuh,” gumamnya dalam hati. “Saya berencana melibatkan mereka di tim kita. Jadi, mulai pekan depan, tolong kamu handle dulu tim kita, ya? Saya akan fokus mentorin anak baru itu.” “Eh, apa, Pak?” Zita terbelalak. Ini jelas jauh berbeda dari prediksi yang ia utarakan pada Bianca. “Kamu nggak denger? Kamu handle dulu, tapi bukan berarti kamu bisa mengambil keputusan sepihak tanpa konsultasi sama saya, mengerti?” Zita menelan ludah. “Tapi, Pak, apa nggak terlau beresiko melibatkan anak baru di project ini?” Kalandra tersenyum, matanya menatap tajam ke depan. “Enggak. Saya sudah punya marketing project yang cocok untuk anak baru ini. Dia akan masuk ke tim kita.” Zita menelan ludah sekali lagi, ia kehabisan kata-kata. “Anu … kalau boleh tahu, siapa nama anak baru ini, ya, Pak?” “Kenapa kamu mau tahu?” “Eh, enggak, Pak. Penasaran aja, sih.” “Kamu nggak perlu tahu, Zita. Ya sudah, kalau sudah nggak ada yang mau kamu sampaikan, silakan keluar.” Zita mengangguk sopan, mengucapkan terima kasih lantas berlalu dari ruangan itu. Ia menimang ponselnya ragu saat kembali ke mejanya. “Gue kasih tahu Bianca atau enggak, ya? Kalau ngasih tahu entar dia keburu panik padahal belum tentu dia. Tapi kalau nggak ngasih tahu … aaaarkh, bodo amat!” Ia mengeluh dalam hati, ikutan frustasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN