Bab 9. Hari Pertama Bekerja

1431 Kata
Setelah terbangun sejak pagi buta, masak keasinan karena terlalu gugup, menciptakan bunyi gedebak-gedebuk yang menghiasi senin pagi di dalam apartemen Zita, akhirnya sepasang sahabat itu tiba di gedung belasan lantai bernuansa biru muda yang menjadi pusat manajemen perusahaan milik Andara. “Bentar bentar, Zi.” Bianca menahan lengan Zita yang sudah hendak melangkah masuk ke lobi gedung. “Apa lagi?” Zita mendelik. Sejak tadi ia sudah pusing melihat tingkah Bianca yang membuat apartemennya hancur berantakan seperti kapal pecah. “Gue gugup banget,” keluh Bianca dengan wajah memelas. Zita mendengus. “Gue doain lo ketemu pak Kala!” “Jangan!” Bianca segera menegakkan punggungnya. “Makanya ayo cepet!” Zita menarik lengan sahabatnya tak sabar. Bianca segera mengikuti. Apapun yang terjadi, hari ini akan tetap terlewati. Maka percuma saja ia terus menunda memasuki gedung itu. Sepasang sahabat itu segera memasuki lift, Zita menekan tombol lantai sepuluh. Namun, belum sempat pintu lift tertutup sempurna, sebuah tangan kekar yang dihiasi jam tangan mewah menahan pintu itu. Bianca menahan nafas dengan mata mendelik kaget begitu melihat pria yang kini masuk ke lift yang sama dengannya. Itu Kalandra! Pria bermata elang itu tersenyum tipis, netranya tertuju langsung pada Bianca yang menciut di pojokan. “Selamat pagi, Pak,” sapa Zita sembari berusaha mati-matian terlihat normal. “Pagi.” Kala membalas pendek. Tatapannya sama sekali tak lepas dari wajah Bianca yang kini tertunduk. “Kamu nggak ngucapin selamat pagi buat saya?” tanyanya dengan seringai tipis. “Eh?!” Bianca gelagapan, Zita menepuk lengannya pelan. “Selamat pagi, Pak.” Senyum di bibir Kala semakin melebar. “Pagi juga. Kamu langsung ke ruangan saya, ya, setelah ini.” Bianca melotot tak percaya. “Saya?” “Iya, kamu.” “Mau ngapain, Pak?” cetus Bianca asal. Zita segera menggeplak lengan sahabatnya, wajahnya meringis merasa bersalah. Sementara Kala sudah mengurai tawanya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga Bianca yang mematung seketika. “Enaknya ngapain? Doing something great just like before?” Kala tersenyum tipis, menggoda sang dara. Bianca menggigit bibir dalamnya, nafasnya tertahan seutuhnya. Sementara wajahnya sudah memerah sempurna. Hembusan angin yang keluar dari mulut Kalandra ketika berbisik di telinganya benar-benar membuat bulu kuduknya meremang. Lift berdenting pelan, mereka tiba di lantai delapan. Saking gugupnya, Bianca dan Zita sama sekali tak menyadari ketika Kala menekan tombol lift. Kala bersiap keluar dari lift. “Jangan lupa, kamu langsung ke ruangan saya. Tunggu saya di sana,” pesannya pada Bianca yang masih mematung. “Ba-baik, Pak.” Punggung lebar Kala menghilang di balik pintu lift yang tertutup. Bianca dan Zita menghela nafas lega bersamaan. Bianca terduduk di lantai, kakinya terasa lemas seketika. “Zi…,” panggilnya lirih. “Apa?” sahut Zita galak. Ia juga sibuk menenangkan diri. Aura Kalandra benar-benar mencekam. Bahkan meski sudah bekerja dengannya selama bertahun-tahun, Zita masih belum terbiasa. “Kayaknya kehidupan kerja gue nggak bakal damai, deh,” keluh Bianca dengan wajah meringis menahan tangis. “Bodo amat! Pokoknya lo jangan bawa-bawa gue, ya? Gue nggak mau kehidupan kerja yang udah damai jadi rusak gara-gara masalah lo sama pak Kala.” “Zi, kok lo jahat banget?” Bianca sudah berdiri, menarik ujung baju Zita sembari memasang wajah mengiba. Zita tak menjawab karena pintu lift mereka sudah kembali terbuka, tiba di lantai sepuluh. Zita mengantarkan Bianca ke ruangan Kala terlebih dahulu sebelum duduk di mejanya. “Zi, jangan tinggalin gue,” pinta Bianca sesaat sebelum Zita keluar dari ruangan Kalandra. “Maafin gue, Bi. Lo doang yang disuruh nunggu di ruangan pak Kala. Jadi, good luck!” Bianca memegangi gagang pintu agar tidak tertutup, tapi kekuatan Zita lebih besar. Pada akhirnya pintu kaca itu tertutup juga. Zita sempat mengepalkan tangan dari luar ruangan, memberi semangat. Sementara Bianca hanya bisa memasang wajah melas. “Fyuh… inhale, exhale,” gumam Bianca berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Di ruangan itu hanya ada meja kerja yang penuh oleh komputer dan dokumen, kursi hitam, dan rak buku yang isinya nyaris penuh. “Kaku banget ruangannya,” komentar Bianca lirih. “Tapi orangnya enggak ‘kan?” “Aaaarkh!” Bianca terlonjak kaget karena Kala tiba-tiba masuk dan berbisik di telinganya. Tubuhnya yang tersentak dengan cepat seketika menjadi oleng, nyaris menabrak lantai. Beruntung, tangan Kala sigap menangkap pinggang wanita itu. Kala menyeringai. “Hati-hati.” Bianca bangkit dengan cepat, menyingkirkan lengan Kala dari pinggangnya. “Maaf, Pak,” ucapnya sopan. “Kenapa jadi begini?” tanya Kala dengan kedua alis bertaut. “A-apanya yang jadi begini?” balas Bianca gugup. Pasalnya Kala terus mengikis jarak. Meski Bianca mundur untuk memperlebar jarak, pria itu terus maju selangkah demi selangkah. “Cara bicaramu, kenapa jadi kaku?” Tubuh Bianca menabrak meja kerja Kala, ia tak bisa mundur lagi. “Pa-pak, ini di kantor. Ruangan Bapak semuanya dari kaca, karyawan lain bisa lihat kita dari luar,” ucapnya gelisah. “Oh, kalau nggak kelihatan dari luar berarti nggak apa-apa?” Bianca menelan ludah gugup. “Bukan gitu….” “Terus gimana?” tantang Kala. Tubuh mereka semakin merapat, deru nafas mereka saling berbenturan. Namun secara tiba-tiba Bianca mendorong Kala menjauh dengan cukup keras. Membuat Kala nyaris terjengkang. “Ada orang!” bisik Bianca panik. Ia sudah menunduk, menyamakan posisi tubuhnya dengan garis melintang di kaca ruangan Kala yang tidak tembus pandang. Kala menoleh ke pintu. Benar, sudah ada seorang karyawan wanita berdiri di sana. Untungnya, sepertinya ia belum sempat melihat ke dalam dan memergoki Kala dan Bianca yang berada dalam posisi yang bisa menimbulkan salah paham. Bianca segera mengambil langkah seribu, kabur ke balik meja kerja Kala. Berjongkok di sana. “Permisi, Pak.” Wanita yang di luar pintu bicara. “Masuk!” ujar Kala sembari berdiri bersandar ke meja kerjanya. Menutupi kaki Bianca yang berjongkok di baliknya. “Ada apa, Sofia?” “Ini, Pak. Mau nyerahin revisi laporan tempo hari.” Wanita bernama Sofia itu bicara, suaranya terdengar lembut, bahkan terkesan sengaja dibuat-buat. “Oke, makasih.” Kala menerima dokumen itu. Membukanya sekilas. “Ada lagi yang mau kamu sampaikan?” tanyanya ketika menyadari bahwa Sofia tak juga keluar dari ruangannya. “Oh, Bapak sudah minum kopi? Kalau belum … saya bisa buatkan.” Sebelah alis Kala terangkat. Ia mengerti apa mau wanita-wanita seperti Sofia ini. Maka ia menggeleng. “Nggak usah, makasih.” “Cemilan? Atau Bapak mau cemilan?” ucap Sofia tak menyerah. Di bawah meja, Bianca mengernyit. “Ini cewek kenapa, deh?” gumamnya dalam hati. “Nggak perlu, Sofia. Kamu bisa keluar sekarang.” Namun bukannya menurut, Sofia justru maju selangkah. “Laporannya nggak mau dilihat dulu, Pak? Kalau ada revisi biar saya langsung tahu.” Kala mengatupkan rahangnya kuat-kuat, geram sekali. Ia mengerti sekali apa motif Sofia melakukan ini padanya. Ia sering mendapati karyawannya ini melakukan upaya-upaya untuk menggodanya. “Sofia.” Kala mendesis marah. “Keluar atau saya pecat kamu sekarang juga!” Wanita bernama Sofia itu terkesiap. Ia menunduk, menggumamkan permintaan maaf. Lantas berbalik dan keluar ruangan. “Tunggu!” seru Kala tiba-tiba. Menahan tangan Sofia yang sudah memegang gagang pintu. Wanita itu berbalik. Sebuah senyum manis terbit di bibirnya. “Ada apa, Pak?” tanyanya lembut. “Mulai sekarang, jangan pernah dengan sengaja mendekati atau menggoda saya seperti tadi. Saya sudah punya pacar.” Sofia terkejut, begitu juga dengan Bianca yang sejak tadi menguping dari bawah meja. “Dia punya pacar tapi tidur sama gue? Bener-bener gila!” umpatnya dalam hati. “Ba-baik, Pak.” Suara Sofia terdengar bergetar. Antara menahan malu dan sakit hati. Kala memutari mejanya setelah wanita bernama Sofia itu keluar dari ruangannya. Ia berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan Bianca. “Kamu bisa keluar sekarang,” ucapnya lirih. Tapi Bianca bergeming. Ia justru menatap tajam Kala. “Kenapa?” tanya Kala dengan sebelah alis terangkat, heran. “Lo udah punya pacar tapi masih tidur sama gue?” desis Bianca kesal sekaligus merasa jijik. Kala terbelalak mendengar perubahan cara bicara dan pertanyaan Bianca, kemudian ia tertawa pelan. Pria itu memajukan tubuhnya, ikut menunduk dan masuk ke kolong meja. “Mau ngapain, sih?!” sergah Bianca yang semakin terpojok. “Sebenernya tadi itu cuma bohong karena gue tahu dia naksir gue. Tapi … kalau lo mau jadi pacar gue, ayo aja. Gue nggak keberatan. Toh, kita udah pernah tidur bareng.” Kini giliran Bianca yang terbelalak. Rasa terkejutnya semakin berlipat ganda ketika dengan entengnya, Kala mencium bibirnya tanpa aba-aba. “Ah, gue kangen banget rasa bibir lo,” ujar Kala setelah bibir mereka menjauh. “Sialan!” Bianca menendang kaki Kala, membuat pria itu jatuh terduduk. Tapi bukannya marah, Kalandra justru tertawa lebar. Sementara Bianca keluar dari persembunyiannya dengan wajah merah padam, malu sekaligus kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN