“Bianca, Bianca, tunggu!” Kalandra berhasil meraih lengan Bianca yang sejak tadi terus kabur darinya. Ia membalikkan tubuh Bianca, membuat mereka saling berhadapan. “Bener apa kata Zita tadi?” tanyanya lagi. Bianca membuang muka, bingung. Ia juga kesal kenapa Zita tiba-tiba membeberkan soal kehamilannya di hadapan Kalandra langsung. Ia menatap Kalandra yang masih menunggu jawabannya, kemudian melihat sekitar yang mulai ramai karena jam istirahat sudah hampir berakhir. Mereka sedang berdiri berhadapan di lobi kantor. “Kita bicara setelah pulang kerja, ya?” Bianca menawarkan. Jika menuruti kehendaknya, Kalandra sungguh ingin mengajak Bianca bicara sekarang juga. Di manapun, di ruangannya, di pantri, atau kalau perlu mereka berkendara keliling Jakarta sembari mengobrol. Tapi demi melihat w