Bab 7

1691 Kata
“Dad! Angel takut! Jangan pergi hiksss… Jahat… Daddy Jahat!” teriaknya saat aku selangkah demi selangkah meninggalkan ruang UGD dan menyerahkan semuanya kepada dokter yang merawat, teriakan Angel terdengar sampai keluar. Aku menutup mata dan menganggap itu hanya teriakan anak kecil yang sedang ketakutan.     Langkahku terhenti tepat di depan pintu UGD saat melihat Shantie sedang menatapku, teriakan Angel kembali aku dengar dan Shantie meletakkan tangan kanannya di dadanya, “Angel kenapa?” tanyanya dengan suara bergetar, aku tidak menjawab pertanyaannya dan lagi-lagi teriakan Angel semakin keras memanggilku.     “Dad, jangan pergi… jangan tinggalkan Angel sendiri, Angel takut,” teriaknya, Shantie melewatiku begitu saja untuk masuk ke ruang UGD, aku masih tetap berdiri di tempatku berdiri tadi, tangis Angel semakin menjadi-jadi saat melihat kedatangan Shantie.     “Mommy! Mommy! Angel takut.. Angel takut.”     “Sayang, jangan takut… ada Mommy di sini, Mommy janji semuanya akan baik-baik saja, ya Tuhan apa yang terjadi!” aku membalikkan badan dan melihat Angel sedang memeluk tubuh Shantie sedangkan dokter sedang berusaha menghentikan luka di kaki Angel, mataku dan Angel saling bertemu beberapa saat dan tak lama dia membuang wajahnya ke arah lain.     “Mommy, Daddy jahat… Daddy jahat,” Shantie memeluk tubuh mungil Angel dan aku bisa melihat bahunya bergetar, lebih baik aku pergi. Angel aman bersama Shantie dan keberadaanku di sini tidak akan dibutuhkan lagi.     Aku memutar kembali tubuhku dan meninggalkan ruang UGD dengan langkah yakin kalau ini mungkin jalan terbaik untuk mengakhiri ini semua, aku yakin Shantie akan sangat marah dan menyalahkanku atas insiden yang dialami Angel, aku tidak akan membela diri dan akan menerima semua tuduhan itu. ****     Aura menyerahkan daftar tamu yang akan hadir di acara ulang tahun perusahaan, tiga hari lagi. Tamu-tamu VVIP dan tamu rekanan bisnis lainnya juga sudah tercatat sebagai tamu undangan Aku mengagumi hasil kerja Aura yang selalu rapi dan cekatan, tidak percuma aku menjadikannya sekretaris hampir tiga tahun ini, dia sekalipun tidak pernah membuatku kecewa.     “Hayuda Group?” aku memberi tanda tanya di samping nama perusahaan yang akan menjadi tamu undangan, aku hapal nama-nama perusahaan yang sudah menjadi partnert kerja perusahaan ini dan Hayuda Group rasanya belum pernah menjadi partnert kerja kami.     “Oh Hayuda Group itu rekan bisnis Pak Whisnu, Pak. Pak Whisnu meminta saya untuk mengundang mereka, Hayuda Group memang belum terlalu malang melintang di dunia bisnis Indonesia, selama ini mereka lebih banyak bergerak di China dan Thailand. Nah sekarang mereka mulai melebarkan sayap dengan membuka cabang di Jakarta,” aku mengangguk tanda mengerti saat Aura menjelaskan siapa Hayuda Group dan apa hubungannya dengan perusahaan ini, mendengar penjelasan Aura sedikit mengusik rasa penasaranku. Kerjasama apa yang mereka lakukan dan apakah kerjasama itu akan menguntungkan perusahaan ini.     “Ya sudah, kamu boleh pergi,” ujarku sambil menyerahkan kembali map berisi daftar tamu yang akan hadir di acara ulang tahun perusahaan.     “Baik Pak,” Aura meninggalkan ruanganku dan aku kembali melanjutkan menyelesaikan pekerjaan yang sudah tiga hari ini aku tinggalkan, sejak insiden Angel sekalipun Shantie tidak pernah menghubungiku atau menjejakan kakinya ke rumah. Aku pun tidak tahu bagaimana kondisi Angel dan Arga sampai saat ini.     “River!”     Aku menoleh kearah suara yang memanggilku dan melihat Mami sedang menatapku emosi, Aura melihatku dengan wajah bersalah karena membiarkan tamu masuk begitu saja, aku memberi kode agar Aura meninggalkan ruangan ini, aku tahu maksud dan tujuan Mami datang. Pasti berhubungan dengan Shantie dan anak-anak.     “Aku sibuk Mi, kalau Mami ingin membahas hal tidak penting lebih baik Mami pulang. Aku akan suruh Pak Rustam mengantarkan Mami pulang,” ujarku sebelum Mami memulai ceramahnya tentang bagaimana memperlakukan Shantie dan anak-anak, aku bosan 10 tahun Mami selalu ikut campur dalam urusan pernikahanku.     “River! Andai Mami tahu kamu berubah menjadi manusia tanpa hati dan perasaan, mungkin Mami akan…” Mami terlihat kesal, dadanya naik turun dan tangannya mencengkran tali tas tangannya dengan sangat erat.       “Mami akan melakukan apa? menyingkirkan aku lalu menyuruh Whisnu mengambil semua milikku? Mami terlalu naif, aku ini anak kandung Mami sedangkan Whisnu… ah lupakan saja semua ucapanku, sekuat apapun aku membela diri di mata Mami hanya ada Whisnu dan Whisnu, sampai sekarang aku masih ingat bagaimana Mami memperlakukan aku dan Whisnu saat kami masih kecil, Mami bisa bilang aku manusia tanpa hati dan perasaan tapi ingatkah Mami kalau semua itu siapa penyebabnya?” Akhirnya aku tidak bisa lagi menahan isi hatiku yang berpuluh-puluh tahun ini aku coba sembunyikan.     Ya, Whisnu bukan adik kandungku satu ayah dan satu ibu, ibu kami berlainan. Whisnu anak Papi dengan istri keduanya, entah apa yang ada di benak Mami sampai mau menerima dan merawat anak madunya di rumah yang sama denganku.     “Sejak kecil kamu selalu menyimpan rasa iri dan kedengkian di hati kamu kepada Whisnu, jangan jadikan itu sebagai alasan pembenar atas sikap kamu terhadap Shantie dan anak-anak kamu, kamu sangat acuh dan tidak peduli dengan mereka. Mungkin mereka matipun Mami yakin kamu tidak akan menangis atau menitikkan airmata, mungkin kamu akan tertawa dan merasa inilah kebebasan yang kamu cari,” balas Mami, aku tertawa pelan lalu berjalan menuju jendela untuk menatap langit biru yang begitu cerah di siang ini.     “Menangis? Semua airmataku sudah habis saat Mami lebih mementingkan hadir di sekolah Whisnu daripada menemaniku yang terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit, sendirian,” aku mencoba melupakan mimpi buruk masa kecil saat aku membutuhkan kehangatan dan pelukan Mami tapi Mami lebih memilih menghabiskan waktu bersama Whisnu.     “Mami…” Mami seperti ingin membela diri tapi dia membatalkan dan membuang napasnya berulang kali, “dan sekarang kamu melakukan hal sama kepada Arga dan juga Angel, tidakkah kamu takut mereka kedepannya akan menjadi manusia tanpa hati dan perasaan seperti ayahnya?” sambung Mami.     Aku memutar tubuhku dan menatap Mami tanpa ekspresi, “Aku yakin Shantie akan menjaga dan mendidik mereka menjadi manusia yang lebih baik dibandingkan aku,” balasku masih tanpa ekspresi, Mami lalu berdiri dari tempatnya duduk dan menatapku panjang.     “Kamu akan menyesal setelah kehilangan semuanya, kehilangan istri yang setia mendampingi selama 10 tahun meski tidak ada cinta di antara kalian dan kehilangan harta paling berharga yaitu anak-anak. Keturunan kamu… anak-anak yang tidak pernah meminta lahir dikeluarga ini, Mami sangat iba melihat Shantie dan cucu-cucu Mami menitikkan airmata demi sebuah kasih sayang dan juga cinta dari kamu, Whisnu benar… kamu memang tidak pantas dicintai apalagi disayangi,” Mami kembali membuang napas, lalu berjalan meninggalkan ruang kerjaku.     Saat akan membuka pintu Mami kembali memutar tubuhnya, “Mami akan menyuruh Shantie meninggalkan kamu, umurnya masih sangat muda dan akan sangat buang-buang waktu menunggu laki-laki seperti kamu, kamu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun, Mami lebih rela Shantie menikah dengan laki-laki yang mencintainya, termasuk Whisnu.” Setelah mengatakan itu Mami pun keluar dengan membanting pintu.     Aku kembali duduk dan melupakan perbincangan sentimentil tadi, kenapa baru sekarang Mami menawarkan perceraian andai sejak dulu mungkin aku tidak akan menjadi manusia sekejam ini. ****     “Selamat malam Pak River, baru pulang Pak?” aku menoleh ke arah suara yang menyapaku, terlihat Haykal dan Rubi tersenyum ramah kepadaku.     Aku membalas senyumannya, sepertinya aku harus menunda berendam air panas dan meladeni sapaan tetangga baruku yang cukup ramah ini. Dia tidak pernah absen menyapaku, bahkan tak jarang memberikan makanan yang cukup banyak setiap harinya.     “Iya, saya baru pulang. Wah kali ini Pak Haykal mau memberi saya apa lagi?” tanyaku penasaran saat melihat Rubi memegang kotak makanan, aku akui makanan yang mereka beri sangat enak dan lezat, lumayan untuk mengganjal perut saat malam menjelang.     “Hahahaha, istri saya masak sangat banyak hari ini dan pasti tidak akan habis kalau hanya kami berdua yang memakannya, jadi lebih baik saya memberi Bapak sedikit,” ujar Haykal sambil memberikan kotak makanan tadi kepadaku.     “Terima kasih atas kebaikannya, semua makanannya sangat lezat dan nikmat, istri Bapak sangat pintar memasak,” balasku sekedar basa basi agar pembicaraan ini tidak menjadi canggung, Haykal dan Rubi tertawa dan kembali masuk ke dalam apartemen mereka, akupun masuk ke dalam apartemen dan menghela napas sambil menghidupkan lampu apartemen.     “Akhirnya kamu pulang,” aku terkejut saat melihat Shantie sedang duduk di sofa dan menatapku tajam. Wajahnya terlihat pucat, samar-samar aku mendengar suara Angel di kamarnya, sepertinya dia sedang berusaha membujuk Arga untuk tersenyum.     “Aku sedang tidak punya tenaga untuk bertengkar, Shantie,” balasku sambil meletakkan kotak makanan tadi di atas meja lalu membuka jas serta dasi yang hampir melilit leherku. Aku mendengar dia membuang napas lalu berdiri dari tempatnya duduk tadi, dia berjalan mendekatiku dan berhenti tepat di depanku.     “Minggir, aku mau tidur,” usirku saat dia mencoba menghalangi langkahku.     Plakkkk     “Itu tamparan untuk manusia seperti kamu, itu tamparan karena menyakiti anak-anakku, itu tamparan karena membuat Angel menangis sesedih itu demi sebuah kasih sayang yang tidak pernah bisa kamu beri untuk anak sekecil itu,” suaranya bergetar saat mengatakan itu, terlihat jelas amarah tertahan di wajahnya, aku memegang pipiku yang terasa panas. Lumayan menyakitkan tapi aku tidak akan membalasnya.     “Mami benar, kamu manusia hina,” hinanya dengan amarah tertahan, “manusia terhina yang pernah aku kenal, dua minggu Arga dirawat… dua hari aku dirawat… Angel kesakitan tapi reaksi kamu sama sekali tidak ada, jangankan peduli untuk datang melihat kami saja kamu tidak pernah. Mami menyuruhku untuk meninggalkan kamu, dan setelah aku pikir-pikir ucapan Mami ada benarnya, pernikahan ini sudah tidak sehat dan tidak baik untuk perkembangan mental Arga dan Angel, jadi aku…” dia mundur beberapa langkah dan kembali duduk ke sofa tadi.     Ya, ucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang paling aku tunggu selama 10 tahun ini.     “Aku ingin menghukum kamu, aku tidak akan pernah meminta cerai apalagi meninggalkan kamu, egoku sebagai manusia dan wanita sangat terusik dengan sikap dan perilaku kamu, bercerai hanya akan membuatmu tertawa penuh kemenangan, aku ingin kamu menderita River! Menderita seperti aku dan anak-anak menderita selama ini, aku akan mengikat kamu dan jangan pernah berpikir untuk bisa lepas dari kami,” tatapannya tak lagi sendu, terlihat jelas amarah dan dendam di mata itu, jangan terpancing River!     “Tuhan sangat bermurah hati dan memberikan kado terindah untuk kamu, kado yang akan semakin menyulitkan kamu untuk pergi dari kami,” ujarnya dengan nada sinis sambil mengelus perutnya, “aku hamil, River… kehamilan ini akan semakin menyiksa kamu, anak ini hadir untuk mengikat kamu,” balasnya dengan wajah penuh kemenangan. Aku membesarkan bola mata mendengar ucapannya.     Hamil?     Anak lagi?     “Kamu menjebak aku siang itu? Kamu sengaja!” ujarku dengan emosi tertahan sambil mencengkram tangannya, aku sudah mengingatkan dia untuk minum pil KB setelah kami bercinta dan saat itu aku jelas-jelas melihatnya meminum PIL KB tapi kenapa dia bisa hamil, kecuali PIL KB itu tidak ditelannya.     “Ya! Kamu benar, aku merencanakan kehamilan ini agar kamu semakin tersiksa! Kehamilan ini akan membuat kamu semakin sulit lepas dari kami, aku ingin kamu tersiksa River!” geramnya tak kalah keras, “aku muak menjadi istri lemah, aku muak melihat anak-anakku menangis gara-gara kamu dan mengikat kamu dalam pernikahan ini merupakan caraku menghukum kamu,” sambungnya diiringi tawa penuh kesinisan. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN