Kepalaku sangat berat, tidak pernah seberat ini. Perutku berputar-putar seperti baju saat dicuci di dalam mesin cuci. Aku tidak ingat berapa banyak menghabiskan wine hingga hangover seperti sekarang, aku mengernyitkan mata saat menoleh dan melihat sinar matahari masuk melalui jendela yang berada tepat di sampingku.
Biasanya setelah membuka mata hal pertama yang aku lakukan adalah menoleh kea rah kiri untuk melihat Shantie, tapi kali ini kebiasaan itu tidak aku lakukan. Berulang kali pun aku menoleh aku yakin Shantie akan selalu ada dan akan tetap ada, doaku tidak akan pernah dikabulkan Tuhan. Cuaca di luar sangat cerah, tapi tidak secerah hatiku. Aku pikir dengan mabuk semua masalah yang hampir mencekik leher ini akan hilang tapi nyatanya masalah itu tidak akan pernah bisa hilang walau aku mabuk dan merusak diri sekalipun.
Aku mencoba menjangkau gelas yang terletak di atas nakas di samping tempat tidur dengan tangan kananku, rasanya batang tenggorokanku terasa sangat kering. Pandanganku belum sepenuhnya pulih, gelas itu terlihat berbayang begitupun tanganku, aku mengangkat tangan dan mataku mengernyit saat melihat tanganku basah, lengket dan berwarna merah. Aku menggelengkan kepala beberapa kali, pengaruh keras alkohol bahkan membuatku melihat hal-hal aneh.
“Ah mungkin hanya keringat, cukup sekali ini aku mabuk dan perang dengan Shantie hari ini akan segera aku tabuh, dia belum mengenal River Rivanno Gautama!” rutukku menyesal kenapa bisa sekacau kemarin dan melupakan pendirianku untuk tetap dingin dan kaku.
Aku mencoba untuk bangun meski kepalaku masih terasa berat, aku kembali mencoba mengambil gelas tadi dan untungnya berhasil, saat aku ingin meminum air yang ada di gelas, hidungku mencium bau anyir dan amis. Niatku untuk minum langsung surut karena bau itu membuat perutku mual, aku kembali meletakkan gelas tadi di atas nakas.
Berkali-kali aku menggelengkan kepala agar kesadaranku kembali, bau itu tetap tercium. Aku mencoba mengendus sekali lagi untuk mencari asal muasal bau itu. Bau itu semakin keras saat aku mengangkat tangan, dengan gerakan pelan aku mengarahkan tangan kanan tadi ke hidung, dan ya asal bau itu ternyata dari tanganku sendiri, aku mengejapkan mata beberapa kali agar kesadaranku cepat pulih, telapak tanganku penuh dengan noda berwarna merah. Noda yang mulai mengering meski baunya masih sangat menempel.
“Darah…” ah tidak mungkin, hangover membuatku berhalusinasi. Mana mungkin tanganku berdarah tanpa ada luka setitik pun, “sadar River!” sambungku
lagi sambil memukul kepalaku beberapa kali, noda itu tetap ada. Ini bukan halusinasi, tanganku memang bernoda darah dan aku sama sekali tidak ingat kenapa tanganku bisa penuh noda seperti ini.
Mual dan jijik membuatku memutuskan untuk membersihkannya di kamar mandi, aku membuka selimut dan kaget saat melihat kakiku pun penuh dengan darah, ada apa ini. Kenapa kaki dan tanganku penuh dengan darah. Aku juga melihat ada benda asing tergeletak di samping kaki kananku, benda berbentuk pisau. Pisau yang sama dengan pisau yang menusuk kaki Angel.
Aku heran kenapa Shantie bisa seteledor ini, meletakkan pisau di atas kasur. Aku mencoba menjangkau pisau itu dan anehnya lagi-lagi aku melihat darah yang mulai mengering di gagang dan ujung pisau.
“Ya Tuhan! Lelucon apa ini!” teriakku dengan geram, lelucon yang benar-benar tidak lucu. Aku memegang pisau itu dan turun dari atas ranjang, kamar ini terasa aneh dan berbeda dari biasanya. Kamar yang biasanya rapi kini terlihat bak kapal pecah, lantai penuh dengan baju berserakan dan air berserakan di beberapa tempat.
Tunggu!
Bau amis dan anyir semakin tercium jelas, ada yang aneh. Aku bergegas membuka gorden untuk menghilangkan bau anyir dan amis ini, udara pagi membuat rasa sesak akibat bau itu perlahan demi perlahan hilang, aku berdecak beberapa kali saat melihat pisau dan tanganku penuh dengan darah.
“Ini pasti ulah mereka,” aku yakin ini permainan yang dilakukan Arga atau Angel, apa mungkin hari ini hallowen? Aku memutar tubuh dan mataku kembali melotot saat melihat hal yang dalam mimpipun enggan untuk aku lihat.
Kamar ini tidak saja berantakan tapi sudah menjadi lautan darah, dinding kamar penuh dengan cipratan darah, astaga! Ada apa ini. Aku mendengar shower di kamar mandi hidup, aku butuh penjelasan Shantie.
Tok tok tok
“Shantie! Ada apa ini!” teriakku, tapi tidak ada sahutan dari dalam. Aku mengarahkan tanganku ke gagang pintu dan untungnya pintu ini tidak terkunci, lampu kamar mandi mati meski suara shower masih hidup, aku menghidupkan lampu dan tubuhku langsung bergetar hebat saat melihat tubuh Shantie bersimbah darah sedang terbaring di lantai kamar mandi, wajahnya putih seputih kapas.
Badannya penuh dengan luka tusukan, aku mengucek mataku beberapa kali dan ini bukan mimpi! Ini mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku mendekati Shantie dan mengarahkan tanganku ke hidungnya, tidak ada hembusan napas. Tubuhnya mulai dingin, aku menepuk pelan pipinya sambil memanggil namanya beberapa kali.
“Shantie… lelucon kamu tidak lucu, aku tidak berhenti membenci kamu meski kamu melakukan ini semua untuk menghukumku, bangun! Hentikan lelucon mengerikan ini!”
Hening
“Ya Tuhan!” aku kalut, panik dan bingung. Ada apa ini, kenapa aku sama sekali tidak ingat. Jangan-jangan ada orang asing masuk dan berniat merampok apartemen ini, ah tidak mungkin! Apartemen ini sangat aman dan tidak sembarangan orang bisa masuk.
Anak-anak! bagaimana kondisi mereka.
Aku menggendong Shantie dan membaringkannya di atas ranjang yang juga penuh dengan darah. Aku mengambil selimut dari dalam lemari dan memasangkannya di tubuh Shantie. Aku yakin dia hanya pingsan, setelah memastikan anak-anak baik-baik saja aku akan membawanya ke rumah sakit.
“Arga… Angel,” teriakku dan berharap mereka menjawab panggilanku, apartemen ini terasa kosong. Aku melihat pecahan Vas masih tergeletak di lantai, aku juga melihat dapur berantakan. Seperti ada orang yang mengacak-acaknya, aku bergegas menuju kamar Angel tapi kamar itu kosong, aku juga bergegas menuju kamar Arga.
Bau anyir dan amis kembali tercium meski aku masih berdiri di luar kamar, dengan tangan bergetar serta berharap pikiran burukku tidak terjadi aku mendorong pelan pintu itu, samar-samar aku mendengar suara rintihan Angel. Masih dengan tangan bergetar aku menghidupkan lampu dan pemandangan yang aku lihat di kamar ini tidak kalah mengerikan dibandingkan saat aku melihat Shantie di kamar mandi tadi.
Arga bersimbah darah dengan posisi duduk di kursi roda di depan komputer, sebuah pisau menancap di punggungnya, di atas kasur aku melihat Angel sedang menatapku ketakutan. Mulutnya mengalir darah segar, tangan mungilnya menjulur kearahku.
“Ja…ja…ngan tu…suk la…gi, Dad. Ampun,” rintihnya tertahan, aku menggelengkan kepalaku sekali lagi.
Aku yakin ini hanya pengaruh hangover makanya aku melihat hal mengerikan seperti ini dan mana mungkin aku melakukan ini semua, sebenci-bencinya aku kepada mereka. Aku tidak akan mengotori tanganku dengan darah anakku sendiri.
“Tidak! Ini hanya mimpi… hanya mimpi,” racauku tidak jelas sambil menutup mata dan mencoba menyusun kembali benang kusut di benakku.
“To…long,” lagi-lagi aku mendengar rintih kesakitan dari mulut Angel, aku sadar semua ini bukan hanya halusinasi atau mimpi buruk, ini benar-benar terjadi! Aku membuka mata dan ya pemandangan ini masih ada.
Insting menyuruhku untuk membuang pisau yang masih aku pegang itu kalau tidak mau menjadi tertuduh. Aku membuka lemari dan mengambil sebuah handuk kecil untuk menghentikan luka yang masih mengeluarkan darah.
“Ja…jangan, Dad,” Angel berusaha menjauh dariku, aku meletakkan handuk tadi tepat di atas lukanya, aku panik dan kalut. Siapa yang tega menyakiti anak sekecil ini.
“Ke…napa, Dad… kenapa Daddy menyakiti kami,” racaunya tak jelas, aku menggelengkan kepala beberapa kali, bukan aku yang melakukannya. Mana mungkin aku membunuh darah dagingku, anak kandungku sendiri meski aku tidak pernah mencintai mereka. Aku bukan binatang tak berperasaan, aku ingin mereka enyah tapi tidak dengan cara sesadis ini.
“Tidak… tidak…Angel… Angel…ada apa ini,” teriakku sambil memeluk tubuh mungilnya saat matanya perlahan demi perlahan mulai menutup, aku butuh pertolongan! Haykal dan Rubi! Hanya mereka yang bisa aku pintakan pertolongan, aku meletakkan Angel ke tempatnya semula.
“Bertahan Angel, Daddy akan membawa kamu ke rumah sakit, bertahan nak!” aku meninggalkan kamar Arga dan berlari keluar untuk mencari pertolongan, baru akan membuka pintu aku mendengar suara bel berbunyi, aku mengintip dari lobang kecil dan melihat Haykal dan Rubi berdiri sambil memegang kotak makanan.
“Thank’s God!” aku bergegas membuka pintu.
“Pak River…”
“Tolong…” pintaku dengan wajah mengiba, Haykal melihatku dari atas sampai ke bawah, Rubi menutup mulutnya bahkan kotak makanan yang dipegangnya terlepas dan berserakan di lantai depan apartemenku.
“Pak River, ada apa… kenapa Bapak bisa penuh darah seperti ini?” tanya Haykal, Rubi mundur dan berdiri tepat di belakang Haykal, aku mencoba menormalkan suara dan berniat menjelaskan apa yang terjadi tapi Rubi seperti berbisik di telinga Haykal.
“Itu…” aku menunjuk ke dalam apartemen tapi niatku untuk menjelaskan terhenti saat melihat Rubi seperti menghubungi seseorang dengan ponselnya.
“Tenang, kami tidak akan menyalahkan Bapak… kami hanya ingin Bapak menjelaskan apa yang terjadi di dalam kepada Polisi,” ujar Haykal menenangkanku, aku membuang napas berkali-kali dan mengernyitkan dahiku untuk menerima saran dari Haykal.
“Angel… Angel masih bernapas, tolong selamatkan dia,” pintaku, Haykal melirik Rubi dan sepertinya dia menyuruh Rubi untuk tetap di sini dan memastikan aku tidak akan lari, sedikitpun aku tidak berniat lari. Lari hanya akan membuatku menjadi tertuduh sedangkan aku bukan pelakunya.
“Nggak, Mas… aku takut,” tolak Rubi.
“Rubi…tenang… tetap di sini, aku yakin Pak River tidak akan lari atau menyakiti kamu, ya kan Pak?” tanya Haykal, aku mengangguk setuju.
“Baiklah,” jawab Rubi, Haykal memegang bahuku dan setelah itu aku memberi jalan agar dia bisa masuk, aku menatap Rubi yang mundur beberapa langkah sambil melihat kearah Lift.
“Saya bukan pelakunya,” kataku membela diri.
“Saya tidak tahu kenapa Bapak melakukan ini semua.”
“Bukan saya pelakunya!” geramku saat dia masih menganggapku sebagai orang yang bertanggung jawab.
“Rubi…” teriak Haykal dari dalam, Rubi tetap memandangku lalu menjawab panggilan Haykal.
“Ya Mas, ada apa?”
“Mengerikan! Sangat-sangat mengerikan… tahan pembunuh itu! Jangan sampai dia melarikan diri, ya Tuhan!” aku mendengar nada keprihatinan dari mulut Haykal, aku menggeleng dan mencoba membela diri.
“Bukan saya pelakunya!”
****