Part 8

1440 Kata
Wilujeng "Jadi, kita mau ke mana?" Kai bertanya sembari memakaikan helm di kepalaku. Setelah mendengar ceramah Ibu tentang arah hubungan kami dan wanti-wantinya agar kami tak melanggar zona merah, akhirnya kami diberi izin untuk pergi bersama malam ini. Menggunakan motor matic milikku, kuputuskan mengajak Kai ke taman kota. "Kenapa nggak jadi nonton? Banyak film baru lho," ujar Kai setelah kami tiba di taman yang malam minggu ini cukup ramai. "Kalau nonton nanti nggak bisa ngobrol," jawabku. Kemudian aku menatapnya lekat, wajah tampan yang tengah tersenyum ke arahku. Mengembuskan napas pelan, akhirnya aku bertanya juga, "Kamu kenapa harus ngomong kaya gitu ke Ibu?" Aku kesal tapi tak memungkiri ada perasaan hangat yang menyelusup di d**a, saat Kai mengutarakan perasaannya jika dirinya merasa nyaman saat bersamaku. "Omonganku yang mana?" Kai memutar tubuhku agar menghadapnya. Netra kami bertemu. Aku bisa melihat raut kesungguhan terpancar di sana. "Kamu yang bilang, kalau nyaman dan mau menjalin hubungan sama aku." Kai terdiam beberapa saat. Netranya masih menatap lekat padaku, sementara kini jemarinya memainkan anak rambutku yang berkibar tertiup angin malam. "Karena aku beneran nyaman sama kamu." Kali ini jemarinya berpindah menyentuh pipiku lembut. "Dan ... aku mau kita bukan sekedar teman." Aku terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk menjawab ungkapan perasaan Kai. Kubiarkan jemari Kai menjelajahi wajahku, sementara sepasang manik hitamnya menatap intens disertai senyum yang tak pudar sejak pertama dia menginjakkan kaki di rumah. Kai menarik kedua tanganku, mendekatkan perlahan ke bibir tipisnya. Mengecupnya, pelan. Menghantarkan perasaan yang sempat hilang karena pengkhianat mantan suamiku. Rasa itu kembali hadir, meski masih abu-abu. Aku masih takut mengartikan jika ini adalah cinta. Karena masih terlalu dini rasanya, sementara aku dan Kai belum lama kenal. Dan kami berbeda. "Aku nggak bisa janjiin apa-apa. Tapi aku akan berusaha bikin kamu seneng," ucapnya lagi terdengar tanpa keraguan. Demi Tuhan, aku sedang menahan hati untuk tidak terlalu baper. Gimana nggak bikin baper coba, ini yang ngomong berondong cakeepp. "Kai, aku janda." Aku kembali mengingatkan statusku padanya, takut dia tiba-tiba amnesia. Jangan kalian kira jadi janda tanpa anak itu menyenangkan. Cemoohan dan hujatan tetap mengalir deras. Bahkan tak jarang yang menyalahkanku, yang mereka pikir aku nggak bisa mengurus suamiku dulu. Sehingga dia berselingkuh. Sudahlah jadi janda, disalahkan pula. Kurang sedih apa aku coba? "Kenapa memangnya kalau janda?" Kai bertanya seolah menantang dengan satu alisnya terangkat. "Umur kita juga beda cukup jauh." Kai berdecak kesal. Kali ini tatapannya beralih ke depan. "Bahas itu lagi." "Bukan gitu, tapi nanti apa tanggapan orang dan keluarga kamu. Aku nggak mau kamu nantinya malu pacaran sama aku." Aku berusaha membuka realitas yang ada. Karena cinta saja tidak cukup untuk sebuah hubungan. Apalagi nanti jika hubunganku dan Kai meningkat ke jenjang pernikahan. Akan ada keluarga yang terlibat. Aku tidak mau membuat keluarga Kai kecewa karena statusku. Kai tampan, dia bisa dikatakan cukup mapan dan meski kata Ibu dia player, tapi dia tetap berhak mendapatkan wanita yang pantas. Paling tidak yang seumuran dengannya. Dan perawan. Catat ya. Pe-ra-wan. Kai meremas rambutnya, sorot matanya tak lagi lembut. Dia beberapa kali mengumpat kesal mungkin karena lagi-lagi aku membahas perbedaan umur dan status kami. "Jangan bohongi diri sendiri. Aku tahu kamu juga punya perasaan sama ke aku, Lujeng." Aku terdiam tak mampu menyanggah, karena yang dikatakan Kai barusan nyata adanya. Emang kelihatan banget apa, kalau aku juga kesengsem sama dia? "Kenapa harus pikirin apa kata orang. Yang jalanin semua ini kita. Kalau kita nyaman, ya kita jalani hubungan ini." Kai lagi-lagi meyakinkanku untuk tidak meragukannya. Dia membawaku ke dalam dekapannya. Pelukan yang menenangkan. Tidak ada gairah, aku bisa merasakan jika dia tengah mencoba menghapus gundah yang tengah kurasakan. ... "Makannya jangan belepotan dong." Aku membersihkan makanan yang menempel di bibir Kai. Kami sedang makan di warung kaki lima. Setelah perdebatan tentang hubungan kami di taman sejam yang lalu. Kami memutuskan mampir kemari. Aku sih yang memaksa, perdebatan tadi cukup menguras energiku. Lebay! "Calon istri, perhatian banget sih. Jadi makin cinta." Kai meraih tanganku mengecupnya kesekian kali. Dasar gombal. "Apa sih." Kutepis tangannya, karena malu jika ada pengunjung lain yang memergoki aksi Kai. "Emang nggak mau jadi istri aku?" "Kai udah deh." Aku yakin rona dipipi semakin memerah seiring semakin sering Kai menggodaku. "Kamu cantik kalau lagi malu-malu gitu." Doraemon kamu di mana? Kasih aku pintu ke mana aja, please. Aku ingin sembunyi dari makhluk tampan yang sejak tadi menggombal. "Pulang yuk! Kata Ibu tadi kan kita nggak boleh pulang larut." Ajakku. Sejujurnya mencoba mengalihkan tatapan Kai yang sejak tadi membuatku salah tingkah. Berkali-kali aku mengingatkan diri sendiri bahwa umurku sudah kelewat tua untuk baper-baperan atau sekedar malu-malu karena digombalin. Tapi perasaan itu mengalir begitu saja tanpa bisa kutolak. Kami akhirnya memutuskan kencan pertama kami. Sepanjang jalan, Kai tidak mengizinkan tanganku turun dari pinggangnya. "Langsung pulang, ya," kataku sesaat setelah tiba di rumah. "Iya, calon istri." Kai pulang mengendarai motorku karena aku memaksanya. Tak ingin dia malam-malam pulang dengan kendaraan umum. Meski kutahu kota ini masih terbilang aman untuk bepergian malam, apalagi Kai adalah lelaki. .... Rasanya pagi ini begitu menggembirakan. Ada perasaan yang tak ter gambarkan menyerangku. Membuatku begitu semangat memulai hari Senin ini. Ibarat ABG yang baru saja merasakan cinta, perasaan yang membuncah disertai bayang-bayang sang pujaan hati di setiap waktu. Aku tengah mematut diri, memilih kulot berwarna peach dan atasan berwarna cokelat dengan aksen pita di bagian pinggang. Rambutku kubiarkan tergerai. Sementara wajah kupoles make-up tipis. Siap menyambut Kai, yang pagi ini akan menjemputku. Masih sulit kupercaya, bahwa aku dan Kai berpacaran. Pacaran sama berondong gue! "Pagi, Bu." Kusapa Ibu yang sedang membuat adonan kue, lalu kukecup pipi kanannya. "Sarapan dulu." "Nggih, Ndoro Mami." Aku segera meraih nasi goreng dengan taburan bawang goreng di atasnya. Dan segera memakannya, setelah berdoa lebih dulu. "Mbak, bedaknya baru ya? Kok mukanya kelihatan seger begitu?" Uhuk! Aku yang sedang mengunyah nyaris tersedak potongan bakso yang belum sempurna kukunyah. Kuraih segelas air putih dan segera menenggaknya sambil melirik Ibu yang tersenyum penuh arti. Ibu sedang menggodaku rupanya. "Ibu kok gitu sih." Aku memberengut. Namun tak mengurangi selera makanku. Aku justru semakin lahap dan menambah telor ceplok yang masih tersisa di piring. "Loh, memangnya Ibu ngapain? Kan Ibu cuma nanya kenapa muka Mbak kelihatan lebih bersinar? Barangkali bedaknya baru, Ibu mau minta." "Tuh kan, Ibu ngeledek lagi." Ibu justru tertawa melihatku merajuk. Beliau menghentikan aktivitasnya yang sedang menghias kue lantas menatapku masih dengan senyum yang boleh kukatakan senyum jahil. "Ibu seneng kok, lihat Mbak semangat lagi. Semoga Kai memang jodoh terakhir, Mba ya." Aku mengaminkan harapan Ibu. "Assalammu'alaikum." Suara Kai nyaring terdengar di depan rumah. "Tuh, yang jemput sudah datang." Aku tersenyum malu. Lantas segera mencium takzim punggung tangan Ibu. Meraih tas kerjaku dan beranjak keluar menghampiri Kai yang tengah duduk manis memainkan game daringnya. "Pagi," sapaku. Sebisa mungkin tersenyum normal, meski hati berdebar tak beraturan. Kai menyudahi aktivitasnya. Dia mendongak, tersenyum ke arahku. "Sudah siap?" Aku mengangguk, "kamu udah sarapan?" "Udah," jawabnya. Gawai dia masukkan ke kantong celananya, lantas ia berdiri meraih tanganku berjalan ke arah motor. "Pakai helm dulu ya." Seperti kemarin malam dia memakaikan helm di kepalaku. Aku tak mampu lagi menyembunyikan perasaan bahagiaku. Perlakuan manisnya membuatku meleleh berkali-kali. Motor melaju di jalanan yang ramai dipadati anak-anak sekolah dan para pekerja. Sepanjang jalan kami lebih banyak diam. Tapi tautan tanganku di pinggangnya masih bertahan hingga kami tiba di area sekolah. Kai sama sekali tak mengizinkanku untuk menurunkan tanganku dari pinggangnya. Seperti semalam. "Nanti aku jemput, aku tinggal ya." Aku hanya mengangguk. "Kiss dulu boleh nggak?" Kali ini aku mundur selangkah. Menjauh lebih baik sebelum Kai benar-benar menciumku. Ini area sekolah, aku harus menjaga nama baikku di hadapan anak didik dan rekan-rekan guruku. "Kai nggak lucu. Ini sekolahan." "Baiklah, calon istri. Selamat bekerja. Aku juga mau kerja dulu, buat halalin kamu. Sampai ketemu nanti siang." Apa Kai bilang, halalin kamu? Maksudnya aku gitu? Waaaaa, pagi-pagi udah digombalin berondong. ... Kai benar-benar menepati janjinya. Begitu aku keluar gerbang sosoknya sudah berada di halte, dengan pandangan fokus ke arah gawainya. Tak terasa kedua sudut bibirku tertarik ke atas. Aku melangkah perlahan mendekatinya. "Kai." Kai menoleh dan tersenyum. Ia segera memasukkan gawainya di tas kecil. "Kita makan dulu, ya." Ajaknya. Belum sempat aku menjawab, ia lebih dulu meraih tanganku, menuntun ke arah motor. Kami saling terdiam, hanya gerakan tubuh dan sorot mata kami yang mewakili perasaan kami saat ini. Motor melaju, setelah Kai memakaikan helm kepalaku, dan duduk di belakangnya. Aroma maskulin dari parfum yang Kai gunakan menyeruak merasuki indera penciumanku. Memberi kenyamanan yang sempat hilang karena sebuah pengkhianatan. Dan beginilah rutinitas kami selama sebulan ini sebagai sepasang kekasih. Pergi kencan, bertukar cerita kesibukan kami masing-masing. Atau sesekali masak bersama di rumah Kai. Yang paling membahagiakan sekaligus melegakan. Kai tidak menyentuhku, selain hanya genggaman tangan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN