Kaivan
Tepat sebulan sudah, gue mencoba berusaha membuktikan pada Lujeng bahwa omongan gue bukan bulshit semata. Omongan tentang gue yang serius ingin menjalin hubungan dengannya atau yang biasa disebut pacaran. Gue mengiriminya hadiah-hadiah sederhana, dengan harapan dapat membuat wanita itu membuka hatinya untuk gue. Dan sebuah rekor tersendiri, selama sebulan ini juga gue berhenti bermain-main dengan koleksi gebetan gue.
Siang ini gue dan Hendra menuju Jogja untuk peresmian cabang kafe baru kami di sana. Mengendarai mobil milik kantor, Hendra si raja jalanan, mengemudikan mobil sedikit ugal-ugalan.
"Gue perhatiin lo jarang ke club sekarang, Kai?" Hendra membuka suara setelah sekian laman kami terdiam karena gue sejak awal perjalanan memilih memejamkan mata.
"Lagi males," kilah gue. Karena alasan sesungguhnya gue sedang berusaha menjauh dari kehidupan gelap gue. Karena gue sendiri merasa lelah dengan kehidupan gue yang setelah gue pikir justru buang-buang materi.
Hendra memicingkan mata ke arah gue sejenak lalu kembali fokus pada jalanan. "Tobat lo?" Tembaknya. "Atau jangan-jangan lo lagi jatuh cinta sama cewek suci makanya lo pengin berubah?"
Gue membatu. Entah alasan apa pastinya yang mendorong gue untuk berhenti pada rutinitas gelap gue, yang sejujurnya sudah mendarah daging. Jika dikatakan ini semua karena wanita itu, gue masih sangsi. Karena gue sendiri belum yakin entah perasaan apa yang gue miliki untuknya. Sekedar suka, cinta atau sekedar obsesi semata. Mengingat Lujeng adalah satu-satunya cewek yang tidak tertarik dengan pesona gue, terlebih lagi, dia adalah wanita baik-baik. Satu hal yang gue yakini, gue nyaman saat bersamanya atau bahkan hanya mengingat senyumnya.
"Ye, dasar onta! Gue nanya bukannya dijawab malah ngelamun?" Makian Hendra memutus rantai ingatan gue. "Jadi bener nih lu sekarang jadi bucin?" Hendra menyindir.
"Enggaklah. Emang gue pengin berubah aja, Hen. Masa hidup gue mau dikubangan dosa terus."
"Anjirr gilaak! Lo nggak salah minum obat kan, Bang-Kai?"
"Sialan lo!" Gue menoyor kepalanya pelan. Kesal karena justru dia menertawakan niatan gue yang ingin menjalani hidup lempeng. "Temen mau tobat, bukannya didukung malah diketawain."
Hendra terbahak. Dan gue berdecak kesal lalu memilih melempar pandangan ke luar kaca.
"Ya habisnya nggak ada badai nggak ada tsunami tiba-tiba lo berubah gini. Siapa yang nggak syok coba?" Lagi, dia sangsi dengan perubahan yang gue pilih. Meninggalkan dunia malam dengan segala jerat kenikmatan sesaatnya.
"Serah lu deh mau ngomong apa."
Kami tiba di kafe hasil rancangan gue sendiri. Karyawan dan manajer kafe kami telah bersiap menyambut kedatangan kami. Gue dan Hendra memberi sambutan pada mereka sepatah dua kata. Selebihnya kami menyampaikan agar kami semua bisa bekerja sama untuk memajukan kafe baru ini. Dan tak lupa menjanjikan bonus jika pendapatan kafe melebihi target yang ditentukan.
Selesai makan bersama dan berbincang sebentar dengan Pak Bagas-manajer kami. Aku dan Hendra meninggalkan lokasi. Hendra sudah punya agenda lain, yang tak jauh-jauh dari kata perempuan. Tapi bedanya gue dan Hendra, dia bisa setia dengan satu perempuan sedangkan gue enggak atau mungkin belum. Hendra disaat gue sudah berganti gebetan sekian puluh, dia masih setia dengan satu wanita bernama Lisa. Tapi satu persamaan kami, suka ngamar!
Hendra menurunkan gue di stasiun. Siang ini juga gue akan kembali ke Purwokerto, tak sabar rasanya untuk menemui wanita manis yang selama hampir dua bulan ini membayang-bayangi hari-hari gue. Terlebih hari ini adalah batas akhir massa iddahnya.
Begitu sampai di Purwokerto, gue segera meluncur menuju rumah Lujeng. Jantung yang biasanya berdetak normal, kini berdebar seolah gue akan terjun dari ketinggian seribu kaki. Pertama kalinya gue merasakan ini.
"Assalammu'alaikum." Gue mengetuk pelan pintu kayu yang tertutup rapat. Dalam hati tak sabar ingin segera bertatap muka dengannya.
"Wa'alaikumsalam." Suara Ibu Lujeng yang sudah gue anggap sebagai Ibu gue sendiri menjawab salam. Lalu pintu terbuka, Ibu berdiri di depan gue dengan senyum terkembang lebar.
"Kai, kapan pulang? Ayo masuk, masuk." Tanganku sudah ditarik masuk oleh Ibu. Aku mengikutinya, lantas duduk setelah beliau mempersilakan. "Lho, kok sendirian? Hendranya mana?" tanyanya setelah sadar anak lelakinya tidak ikut pulang bersama gue.
"Em Hendra mampir ke tempat Lisa, Bu," jawab gue jujur.
Dan seketika air muka Ibu berubah muram. Lalu kata-kata yang selanjutnya membuat gue merasa tersindir. "Pacaran terus si Hendra itu, pusing Ibu." Ibu memijat pelipisnya pelan sambil menunduk lalu kembali menatap gue. "Kamu, kalau udah sayang sama perempuan, jangan cuma dipacarin ya, dinikahin secepetnya kalau perlu, biar nggak nimbun dosa."
Ya Tuhan, gue hampir tersedak sama saliva gue sendiri.
Apa katanya tadi, nikahin perempuan yang disayang secepetnya biar nggak nimbun dosa? Apa kabar kalau Ibu tahu gue suka gonta-ganti pasangan dan saat ini justru menyukai putrimu, Bu ... emang lo suka beneran Kai sama Lujeng?
Gue hanya meringis tanpa mampu mengucapkan satu kata pun.
"Terus, kamu mau ngapain kesini Kai?"
"Em ... itu Kai mau ngasih ini, Bu." Gue menyodorkan bungkusan berisi gudeg terkenal dari Jogja. Dan tas homemade sebagai buah tangan. Sebelum ke stasiun gue dan Hendra memang sempat mampir ke toko oleh-oleh. "Sekalian mau ketemu Mbak Lujeng."
Gerakan Ibu yang barusan mengamati tas cantik pemberianku tiba-tiba terhenti. Beliau memicingkan mata, menatapku dengan pandangan curiga.
"Kamu mau ngapain to, ketemu sama Lujeng?"
Perasaan gue mulai nggak enak. Jangan-jangan habis ini gue diusir.
"Kai mau ngajak Mbak Lujeng nonton, Bu," jawab gue sekenanya. Nggak mungkin kan, gue bilang kangen.
"Kenapa harus Lujeng? Pacar-pacar kamu kemana memangnya?"
Pertanyaan Ibu sukses membuat gue bungkam. Gue lupa satu fakta kalau beberapa kali gue kemari dengan pacar gue yang berbeda-beda. Otomatis stigma negatif melekat di diri gue, tanpa terkecuali Ibu yang pasti berpikir gue adalah seorang player.
"Jangan bilang kalau kamu mau main-main dengan anak Ibu, ya Kai." Suara Ibu begitu tegas dan penuh penekanan. "Lujeng sudah cukup tersakiti karena perceraiannya, jangan kamu tambah lagi lukanya. Jangan buat dia baper dengan hadiah-hadiah yang kamu kirimkan. Lalu setelah dia jatuh cinta sama kamu, malah kamu tinggalin. Ibu nggak sanggup lihat dia sedih lagi," jelas Ibu yang diakhir kalimat, suaranya terdengar lirih. Matanya pun sudah berembun dan siap menumpahkan hujan air mata.
"Kai nggak bermaksud mempermainkan Mbak Lujeng, Bu. Kai sendiri bingung dengan perasaan Kai saat ini. Tapi satu yang pasti Kai merasa nyaman saat bersama Mbak Lujeng."
"Loh ada Kai? Kapan pulang? Hendra mana?" Lujeng tiba-tiba muncul dengan rentetan pertanyaannya. Tapi satu yang membuatku tak berkedip, dia semakin terlihat manis dengan rambutnya sedikit basah yang terurai. Dan daster rumahan di atas lutut. Wajahnya yang lagi-lagi tanpa make-up membuatnya lebih bersinar.
"Hendra mampir ke tempat ceweknya, Mbak."
Lujeng duduk di samping Ibu. Tangannya meraih tas pemberianku yang memang kubelikan satu untuknya dan Ibu. Lalu decakan kagum terdengar dari bibir tipisnya. "Ini buat aku Kai? Bagus banget."
"Iya, buat Mbak."
"Ibu kebelakang dulu ya, kalian ngobrol saja." Ibu pergi meninggalkan kami berdua di ruang tamu.
"Btw, kamu baru aja dateng dari Jogja, terus langsung kesini Kai?" Lujeng melempar pertanyaan yang membuat gue merenges, salah tingkah.
"Kangen kamu," kata gue sejujur-jujurnya. Tapi reaksi Lujeng diluar dugaan, dia justru melempari gue dengan tas yang baru saja gue kasih ke dia.
"Ngaco."
Gue hendak menyela omongannya, namun gue urungkan begitu mendengar langkah kaki Ibu mendekati ruang tamu. Beliau membawa segelas jus dan sepiring kue yang gue yakin adalah hasil tangan beliau. Lalu diletakkannya minuman dan kue tersebut di hadapan gue.
"Minum dulu, Kai." Ibu duduk kembali di samping Lujeng.
Gue menggumamkan terima kasih, untuk ketersediaan beliau memberikan gue suguhan. Tanpa diminta lagi, gue menyesap jus sirsak yang dengan segera menghapus rasa dahaga gue, dan meletakkan kembali gelasnya di meja.
"Kai, Lujeng." Ibu menatap gue dan Lujeng bergantian. Wajahnya serius, membuat gue seketika dijangkiti perasaan gugup. "Ibu tahu hubungan kalian lebih sekedar teman."
Gue saling pandang dengan Lujeng. Lalu gue lihat dengan cepat Lujeng menggeleng dan sebuah pernyataan yang muncul dari bibirnya membuat nama gue sebagai player tercoreng. Karena gue merasa ditolak, bahkan sebelum gue mengungkapkan perasaan gue.
"Lujeng nggak ada hubungan apa-apa sama Kai, kok Bu. Kita cuma teman."
Jadi selama ini Lujeng cuma anggap gue teman? Dan perhatian kecil yang gue kasih, dia anggap apa?
Ibu justru tersenyum mendengar sanggahan Lujeng. "Benar begitu, Kai?"
Sekali lagi gue menatap Lujeng dan dia menggeleng samar. Secara tidak langsung dia meminta gue untuk mengiyakan ucapannya. Tapi gue lelaki, yang ditakdirkan untuk berkata sesuai dengan apa yang gue rasakan. Gue nggak mau jadi pecundang. Meski pada akhirnya gue dan Lujeng nggak akan bersatu, bukanlah sebuah kesalahan kalau gue mengakui perasaan nyaman itu memang ada.
"Kai nyaman dengan Lujeng, Bu." Lujeng melotot mendengar jawaban gue. "Dan kalau diizinkan Kai mau menjalin hubungan lebih dari sekedar teman."
"Kai jangan ngaco deh."
Ibu menggunakan telapak tangannya, meminta Lujeng untuk diam.
"Kai memang nggak bisa ... belum bisa menjanjikan apa-apa. Tapi Kai akan berusaha agar Lujeng selalu tersenyum saat bareng Kai."
Tak disangka senyum Ibu semakin lebar. Bolehkah gue beranggapan kalau Ibu memberi restu pada gue untuk mendekati putrinya?
Dan pembahasan mengenai hubungan gue dan Lujeng berakhir saat Ibu mengangguk disertai rentetan kata penuh peringatan. Namun, dari semua kalimat yang beliau ucapkan satu yang gue inget TAHAN DIRI, JANGAN KEBABLASAN!
Bersambung