Wilujeng
Aku menggeliat, entah sudah tidur berapa lama, aku tidak begitu ingat. Badanku terasa sakit, seharusnya aku merasa lebih segar setelah mengistirahatkan tubuhku sesiangan ini. Tapi kali ini beda. Seluruh badanku terasa pegal, dan aku tidak bisa bergerak leluasa. Lalu perlahan aku membuka mata dan seketika aku membelalak mendapati wajah tampan Kai tepat di samping wajahku. Dan tangannya tanpa dosa memelukku seolah aku adalah guling hidupnya.
"Sore, Mbak." Kai berbicara dengan suara seraknya khas orang baru bangun tidur. Dan senyumnya yang nyebelin, mengharuskanku menoleh ke arah lain agar tak jatuh ke dalam pesona lelaki yang lebih muda lima tahun dariku ini.
"Aku harus pulang, Kai." Aku hendak bangun untuk duduk namun Kai dengan cepat menahanku, yang membuatku harus terbaring kembali di sisinya.
"Aku kangen, Mbak." Kai justru semakin erat memelukku, dan kali ini wajahnya dia benamkan di ceruk leherku, membuatku merasa kegelian karena merasakan hembusan napasnya.
"Kai, geli."
"Lima menit aja, Mbak."
"Kai, nanti kalau digerebek gimana?" Aku takut akan kemungkinan itu. Meski kami hanya tidur beneran, tidak ada aktivitas yang menjurus hal-hal senonoh tapi tetap saja aku merasa cemas. Takut jika tiba-tiba ada orang masuk dan mendapati kami dalam posisi berbaring di sofa sambil berpelukan. Ralat. Tepatnya, Kai yang memelukku.
"Bagus malah, biar kita langsung dinikahin."
"Kai, nggak lucu, deh!". Aku mencoba menjauhkan wajahnya dari leherku. Namun justu kini tatapan kami bertemu. Secepat kilat aku melepaskan tanganku dari wajahnya dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Namun lagi-lagi, Kai dengan gerakan cepat berhasil membuatku kembali menatapnya. Dan detik berikutnya, Kai sudah menjarah bibirku. Rakus. Tangannya bergerilya ke punggungku, memberikan gelenyar aneh di sekujur tubuh. Untuk sekian detik aku terbuai oleh sentuhannya, hingga akhirnya otakku mengingatkan bahwa ini semua salah. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kami akan berakhir ... aku sendiri tidak mampu membayangkan sejauh itu.
Aku menjambaknya cukup keras. Membuatnya seketika menghentikan gerakan baik bibir maupun tangannya. Nafas kami sama-sama memburu, dan aku bisa merasakan panas tubuhnya dengan sisa-sisa kilat gairah yang belum tertuntaskan. Aku segera duduk, dengan gerakan cepat merapikan kemejaku yang sudah tersingkap karena ulah tangan nakalnya.
"Hari ini kita pacaran, Mbak." Kai berbicara seolah itu sebuah hal remeh temeh. Menjalin hubungan dengan orang yang bahkan baru dikenal beberapa minggu. Dia duduk di sampingku, menyugar rambutnya yang sedikit berantakan. Menatapku dengan tatapan penuh minat.
"Aku mau pulang," ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan. Kuraih tas yang teronggok di meja, mengambil bedak dan lipstik untuk merapikan wajahku. Dan lagi-lagi Kai menahan gerakan tanganku, saat aku hendak menyapukan bedak ke wajahku.
Kami kembali berpandangan. Wajahnya kini nampak serius.
"Mulai hari ini kita pacaran."
"Cukup, Kai! Kamu udah janji kan bakal nunggu sampai massa iddahku selesai. Kenapa kamu jadi maksa gini sih!" kataku sebal.
"Karena gue juga nggak tau kenapa. Gue penginnya deket-deket lo terus, Mbak." Kai mengatakannya dengan serius.
"Kai, kamu masih muda. Kamu masih bisa cari gadis yang 1000X jauh lebih baik dari aku."
"Ck, apa perlu gue sekap Mbak sekarang, biar Mbak mau nerima gue!" katanya dengan nada mengancam. Tapi aku sama sekali tidak takut. Karena aku yakin Kai tidak mungkin melakukan itu.
Aku menatapnya lekat, tepat diiris coklatnya. Lalu dengan gerakan pelan ku usap kedua pipinya dengan ujung jemariku.
"If you think, after we decide to be couple and we will "do it", you are wrong, Kai. Aku bahkan belum berniat menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun dalam waktu dekat ini," jelasku yang membuat gerakan tangannya kemudian mengepal kuat. Kai marah, karena merasa ditolak. Sisi flamboyannya tidak terima itu.
"Umurku udah 28 tahun, bahkan mendekati 29 tahun. Aku pernah gagal menikah. Jadi, akan sangat gegabah kalau aku menerima kamu sebagai pacar." Kualihkan pandangan ke arah TV yang masih menyala menayangkan adegan film yang dibintangi ShahkRukh Khan demi menghindari tatapan intimidasi Kai. "Kalaupun aku menjalin hubungan lagi, aku akan mencari calon suami yang benar-benar mau menghabiskan sisa hidupnya denganku. Bukan sekedar pacaran yang berakhir putus. Kamu masih terlalu muda untuk melangkah sejauh itu, bukan?" Kali ini aku kembali menatapnya. Dan menemukan wajah Kai yang tanpa ekspresi. Aku menghela napas karena merasa lelah terus menerus membahas hal yang sama sejak beberapa minggu lalu.
"Biarkan hubungan ini mengalir sampai kita sama-sama yakin untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi," ujarku lagi. "Dan sampai kamu yakin, kalau apa yang kamu rasakan bukan obsesi semata."
Tanpa kuduga, Kai justru menarik kedua sudut bibirnya, menampilkan senyum menawannya. "Jangan menantang anak muda macam gue, Mbak. Kalau gue udah terlanjur serius. Mbak nggak akan bisa lari lagi."
"Kita bahas lain kali. Aku harus pulang, nanti Ibu nyariin."
"Oke. Gue antar, Mbak."
"Nggak Kai, aku ...."
"Sebagai laki-laki gentle, gue nggak akan biarin Mbak pulang sendirian setelah dari rumah gue." Kai lagi-lagi bersikeras ingin mengantarku pulang.
"Tapi ...."
"Ayo. Atau masih mau mengulang adegan di sofa ini lagi?"
Mendengar ancamannya, aku segera berlari keluar rumah yang membuatnya tergelak karena telah berhasil mengerjaiku.
...
Kai :
Hati-hati berangkatnya. Semoga suka kirimanku hari ini.
Bunyi pesan dari Kai, pagi ini.
Sudah sebulan semenjak kami bertemu di rumahnya, bocah itu benar-benar tak menampakkan lagi sosoknya di hadapanku. Melainkan perhatian-perhatian kecilnya dengan mengirimiku pesan maupun kue-kue atau bunga membuatku tersenyum b*******h, selalu dia kirimkan untukku.
Selesai sarapan bersama Ibu dan Hendra dengan obrolan kecil layaknya keluarga lainnya, aku berangkat kerja di antar adikku menggunakan motor besarnya.
"Nanti lo Gojek aja ya, Mbak. Gue nggak bisa jemput, ada perlu," katanya begitu kami sampai di depan sekolah tempatku mengajar.
"Mau pacaran kan lo?" celetukku, yang membuat satu-satunya saudara kandungku itu berdecak kesal.
"Mau ketemu orang pajak, Mbak. Nethink mulu deh."
"Iya, iya, percaya gue."
"Ya udah, gue duluan. Bye." Hendra melesat bersama motor besarnya, aku masih mengamatinya dengan tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala melihat keliaran Hendra di jalan raya.
"Morning, Miss Lujeng." Suara yang begitu ku kenal menyapaku. Siapa lagi kalau bukan bocah kecil-Lathif.
Aku membalikkan badan, dan mendapati Lathif tersenyum ramah. Di sampingnya pria yang kuketahui sebagai Ayahnya tersenyum sopan padaku.
"Morning, Lathif. Morning, Pak Adi." Aku mengangguk sopan. Dan dibalas anggukan pula olehnya.
""Ayo, Lathif masuk sama Miss. Ayah kan mau berangkat kerja," ajakku padanya. Lathif medongak, meminta persetujuan sang ayah.
"Go, My Superhero. Ayah akan kesini lagi nanti siang."
"Asshiiap, Ayah."
Aku dan Lathif kemudian berjalan memasuki area sekolah. Setelah Lathif mengecup pipi Ayahnya lebih dulu. Aku mengantarkan Lathif ke kelasnya, lantas aku segera menuju ruanganku. Ruangan seluas 10×6 M2. Ada enam set meja beserta kursi untuk para guru. Sementara untuk ruangan kepala sekolah terpisah di ruangan sebelah.
"Pagi, Bu Nela. Pagi, Bu Warsih." Kusapa rekan kerjaku begitu memasuki ruangan. Mereka menjawab sembari tersenyum.
Aku duduk di mejaku, membuka laptop dan menyiapkan materi untuk pelajaran hari ini. Saat kemudian Pak Yanto-security di sekolah ini datang dengan bunga di tangannya.
"Selamat pagi, Miss Lujeng," sapanya. "Ini seperti biasa ada kiriman dari pacarnya, Miss." Diletakkannya sebuket bunga mawar putih ke mejaku. Dan seketika terdengar koor dari dua guru yang tadi kusapa menggumamkan sosweet secara bersamaan. Aku hanya tersenyum, malu.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama. Saya permisi dulu kalau begitu, Miss."
Begitu Pak Yanto pergi, Bu Nela dan Bu Warsih, dua guru yang telah menjadi Ibu itu menghampiriku.
"Boleh saya pegang, Miss." Bu Nela meminta ijin.
"Silakan, Bu."
"Jangan, dong Bu Nela. Kita jadi penonton aja, takut bunganya rusak." Bu Warsih menghalangi tangan Bu Nela yang akan meraih bunga pemberian Kai.
"Duh Bu, saya kan juga pengin pegang. Seumur-umur belum pernah suami saya ngasih bunga yang kaya gini." Bu Warsih menampilkan wajah kecewanya.
Aku mengambil bunga yang tergeletak di meja, lalu memeluknya dan menghidu harumnya. Lantas menatap Bu Nela dan Bu Warsih bergantian, "Nggak apa-apa, Bu, nggak dikasih bunga beneran, yang penting, bunga bank-nyangalir terus," kataku mencoba membesarkan kedua hati ibu-ibu di depanku ini.
¤¤¤
"Assalammu'alaikum, Ibu." Aku memasuki rumah, berjalan mencari sosok Ibu-wanita tercintaku sambil memeluk bunga pemberian Kai.
"Wa'alaikumsalam, Mbak. Udah pulang?" Ibu muncul dari arah belakang rumah sambil membawa setumpuk baju. Rupanya Ibu baru saja mengangkat jemuran. Aku segera menyalami dan mencium pipinya.
"Barusan aja, Bu." Kuletakkan bunga, lalu duduk di salah satu kursinya. Menuang air dari teko ke gelas, dan meminumnya hingga habis.
Ibu berjalan ke arah kamar tempat menyimpan baju-baju bersih yang belum di setrika, lalu kembali ke tempatku. Beliau duduk di kursi paling ujung. Menatap penuh tanya pada bunga mawar yang ada di depanku.
"Mbak, sudah punya pacar?" tanyanya membuatku hampir tersedak karena sedang mengunyah rainbowcake.
Ibu memberikanku segelas air dan aku segera meminumnya untuk melonggarkan tenggorokanku yang terasa sesak.
"Benar, Mbak sudah menjalin hubungan lagi dengan ...."
Aku menggeleng, dan segera memotong ucapan Ibu. "Enggak Bu, Lujeng lagi nggak dekat sama siapa-siapa kok."
"Terus bunga ini? Dan bunga-bunga yang kemarin Mbak bawa pulang, cokelat dan boneka. Semuanya dari siapa?"
"Itu ...." Aku bingung harus menjawab apa.
"Kaivan?" Ibu menggaungkan nama itu dengan lugas. Tapi aku tahu ada gurat kekecewaan di wajahnya.
"Ibu jangan salah sangka dulu, Lujeng dan Kai nggak pacaran. Kami cuma sebatas teman, dan nggak tahu kenapa akhir-akhir ini Kai sering ngasih Lujeng hadiah," jelasku takut-takut jika Ibu benar mengira aku dan Kai menjalin hubungan.
Air muka Ibu berubah muram. Beliau meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Ibu nggak masalah kalau Mbak sudah mau membuka hati untuk laki-laki lain. Ibu mau Mbak bahagia, tapi ...." Ibu mendesah pelan lalu menatapku lekat. "Tapi tolong pikirkan lagi kalau Mbak mau berhubungan serius dengan Kai. Dia anak baik hanya saja, umurnya masih terlalu muda untuk menjadi pendamping Mbak, nantinya. Dan ... dia bahkan lebih tampan dari mantan suami Mbak dulu. Ibu nggak mau kejadian waktu itu terulang lagi. Ibu nggak mau melihat anak gadis Ibu menangis berhari-hari. Ibu nggak kuat kalau ...." Ibu tak meneruskan perkataannya, karena saat ini yang terdengar hanya isakan pilu darinya.
Aku segera berdiri memeluk Ibu. Aku sudah berjanji tidak akan membuatnya menangis, tapi sekarang akulah yang membuat Ibu mengeluarkan air matanya lagi.
"Kami nggak ada hubungan apa-apa, Bu. Aku dan Kai hanya teman. Sudah ya, Ibu jangan nangis," jelasku sembari menahan bulir bening yang sebentar lagi melesak keluar. Ku usap punggung renta yang dulu bergantian menggendongku dan Hendra.
"Tapi sepertinya Kai suka sama Mbak."
Aku juga berpikir begitu, Bu. Geer banget kamu, Wilujeng.
"Dia masih labil, Bu. Mungkin cuma iseng karena lagi nggak punya pacar," sanggahku.
Ibu mengurai pelukanku. "Seandainya memang benar, dia harus siap diinterogasi sama Ibu dan Hendra."
Bersambung