Bara seharusnya mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak menjanjikan sesuatu kepada Rayn jika pada akhirnya lelaki itu tidak bisa memberikannya. Bara terkadang lupa jika anak kecil masih memiliki ingatan yang sangat kuat. Janji sekecil apapun pasti akan ditagihnya sampai ia dapat. Lebih aman untuk Bara mengatakan tidak jika memang tidak bisa memberikannya dibanding berkata nanti. Karena perkataan nanti itu sendiri lah yang akan menjadi hutang untuk sang anak.
Seperti pagi ini, ketika Bara sedang menyiapkan Rayn untuk dibawa ke tempat penitipan anak karena seharian ini Bara harus pergi untuk urusan pekerjaan dan jadwalnya cukup penuh, Rayn menagihnya ice cream.
“Daddy janji semalem, buat kasih es krim ke Kakak Alin.”
Bara menepuk jidat. Anak laki-lakinya itu menatapnya dengan polos. Jelas putranya tidak bisa disalahkan, Bara lah yang sudah sembarangan berjanji dan kini lelaki itu harus menerima bayarannya.
“Uh, tapi kan ini masih pagi, Rayn. Nanti kakak Alinnya sakit perut kalau makan es krim pagi-pagi.” Bara sendiri tidak tahu apakah makan ice cream pagi-pagi benar-benar bisa membuat sakit perut atau tidak. Bara tahu seharusnya ia tidak membohongi anaknya seperti itu. Karena apa yang diucapkannya bisa saja terserap oleh Rayn dan menjadi misleading informasi untuknya hingga dewasa nanti.
Rayn merengut. “Tapi Daddy udah janji,” ucapnya merajuk.
Bara mengacak rambutnya. Melirik pada jam di dinding yang detik dan menitnya terus bergerak, kalau urusan ice cream ini tidak segera dituntaskan, Bara bisa-bisa terlambat.
“Yaudah iya kita anterin ice cream ke rumah Kak Alin dulu sebelum pergi.” Bara mengalah, lebih tepatnya sih memenuhi janjinya sendiri kepada anak semata wayangnya tersebut. Janji yang ia sebutkan secara asal dan tidak terpikir harus ia lakukan sungguhan. “Tapi Rayn janji nanti harus jadi anak baik di daycare sama Miss Mentari sampai Daddy jemput lagi. Ok?”
Mendengar kata daycare, biasanya Rayn sedikit rewel. Sejak berusia dua tahun, Bara terpaksa harus beberapa kali membawa Rayn ke tempat penitipan anak untuk dititipkan. Sebelumnya, Bara sudah pernah menggunakan jasa baby sitter yang memungkinkan ikut bersamanya ke kantor. Hal itu membuat Bara sempat sedikit lengah dan mempercayakan sepenuhnya pada baby sitter tersebut. Tapi sayangnya baby sitter yang membantunya merawat Rayn tidak bekerja dengan baik dan profesional.
Kelamin bocah kecil itu nyaris terkena infeksi karena tidak dibersihkan secara benar setelah buang air kecil atau besar di dalam popoknya. Dan beberapa kali juga, Rayn dibiarkan menangis sendirian berjam-jam dan baby sitternya justru asyik membawa kekasihnya masuk ke rumah Bara yang kosong saat itu. Untungnya Bara memasang CCTV di seluruh rumah terutama di kamar Rayn sehingga akhirnya hal tersebut dapat ditangani sebelum menjadi lebih buruk.
Meski Bara tahu tidak semua baby sitter berperilaku buruk seperti itu, Bara terlanjur memiliki trauma sendiri. Terlebih ini menyangkut buah hatinya dan Bara jelas tidak akan mudah percaya lagi. Alhasil Bara pun memutuskan untuk merawat Rayn sendirian dan membawanya ikut ke manapun ia pergi.
Namun di saat kondisinya benar-benar tidak memungkinkan untuk membawa Rayn, Bara akan menitipkan Rayn di rumah Eyang Widya yang merupakan Nenek dari Ares, artis di perusahaannya sekaligus sahabat yang sudah dianggap adik sendiri yang bertetangga dengannya. Tetapi Bara sadar kalau usia Eyang Widya tidak lagi muda, untuk merawat seorang balita di usia yang sedang aktif-aktifnya jelas sesuatu yang sungguh merepotkan sehingga akhirnya Bara menemukan daycare sebagai solusi lain.
Meski Bara juga masih memiliki trust issues menitipkan Rayn pada ‘orang asing’, setidaknya tempat penitipan anak memiliki standar khusus dan juga lebih terjamin. Terlebih, daycare yang Bara pilih sendiri merupakan daycare dengan standar tinggi dan fasilitas yang lengkap. Para nanny atau keeper di tempat tersebut juga jelas berlisensi dan berlatar belakang dari ilmu pendidikan anak usia dini sehingga tempat tersebut jelas jauh lebih ‘aman’ dibanding meninggalkan Rayn di rumah bersama seorang baby sitter. Nilai plusnya, Rayn bukan hanya sekadar dititipkan tetapi juga bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang mengasah motorik dan kognitifnya serta dapat bersosialisasi dengan anak lain.
Sayangnya, Rayn tidak pernah betah untuk berlama-lama di daycare. Bahkan ketika berusia tiga tahun, Rayn sudah bisa melakukan hal yang membuatnya dikembalikan pada Bara lebih cepat dari jam pulang seharusnya. Entah itu berpura-pura sakit atau jatuh atau bahkan menangis seharian.
Hari ini, setelah lumayan lama tidak pernah kembali ke daycare itu lagi karena akhir-akhir ini Bara bisa melakukan pekerjaannya dari rumah atau tempat yang ditujunya memungkinkan Bara membawa Rayn, akhirnya Bara harus kembali membawa Rayn ke sana.
Eyang Widya sudah berpulang beberapa bulan yang lalu, dan Bara juga tidak bisa menitipkan Rayn pada Jani, istri Ares, karena kondisinya yang sedang hamil anak kembar. Bara tidak ingin merepotkan.
Hal ini juga terjadi beberapa hari yang lalu. Bara kebingungan karena Rayn yang menolak dibawa ke daycare hingga menangis dan berguling di halaman rumah mereka. Hal itu sampai menarik perhatian Bu Dewi yang merupakan tetangga di sebrang rumahnya. Yang tidak lain tidak bukan adalah Ibu dari Alinka.
Bu Dewi yang sepertinya tidak tega kepada ayah dan anak tersebut akhirnya menawarkan diri untuk menjaga Rayn dan luar biasanya, bocah berusia tiga tahun itu mengangguk dan berhenti dari tangisnya ketika wanita paruh baya tersebut membujuknya untuk ikut ke rumah mereka.
Bara sendiri sudah mengenal Bu Dewi sejak beberapa tahun lalu ketika keluarga mereka pindah ke komplek perumahannya. Bu Dewi dan suaminya Pak Rudi adalah pasangan yang ramah dan suka bersosialisasi sehingga mungkin hampir semua orang di area tempat tinggal mereka mengenal keduanya. Bahkan Bu Dewi sempat berteman dengan mendiang Ibu Bara saat masa hidupnya sehingga Bara tidak terlalu khawatir untuk menitipkan Rayn di sana.
Yang Bara baru ketahui adalah sosok Alinka, putri dari Bu Dewi yang selama ini hanya sesekali dilihatnya. Perempuan muda itu—entah berapa usianya—yang jelas jauh lebih muda dari Bara. Mungkin masih kuliah, entahlah. Bara pernah beberapa kali mendengar Bu Dewi membicarakan soal Alinka saat dulu mengobrol dengan mendiang ibunya. Bara sendiri tidak pernah bertatap muka secara langsung selain tidak sengaja berpapasan ketika hendak membuka pagar rumahnya dan kebetulan perempuan itu juga sedang di luar rumah. Tetapi hanya sebatas itu dan juga tanpa saling menyapa.
Semalam adalah interaksi pertama Bara dan perempuan itu setelah bertahun-tahun hidup sebagai tetangga. Well, meski terdengar agak aneh. hal ini sebetulnya hal yang cukup normal terjadi di kawasan perumahan elite yang penghuninya biasanya tertutup.
Kembali ke masa kini. Bara tidak tahu kalau janji asalnya semalam akan benar-benar membawanya pagi ini ke rumah tetangga di sebrang rumahnya dengan sekotak haagen-dasz rasa coklat belgia di tangan yang masih tersegel.
Bara memejamkan mata, mencoba memikirkan alasan apa yang paling masuk akal dari tindakannya pagi-pagi berkunjung ke rumah tetangga membawakan ice cream tanpa harus ditatap dengan aneh.
Pintu pagar dibuka oleh seorang perempuan yang Bara terka adalah asisten rumah tangga di kediaman keluarga Rusnandi tersebut. “Eh, Mas Bara, ya? Cari siapa, Mas?”
Entah dari mana asisten rumah tangga ini tahu nama Bara, mungkin dari gosip antar ART komplek? Entahlah. Yang pasti Bara memilih mengulas senyum ramah sebelum kemudian mulai kebingungan sendiri untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Siapa yang seharusnya dia cari? Alinka? Tetapi mereka bahkan sama sekali tidak saling kenal sebelumnya, pasti aneh sekali. Tapi masa iya Bara bilang mencari Bu Dewi? Kan ice cream di tangannya saat ini untuk Alinka.
“Kakak Alin!”