“Kenapa diam saja? Masuk,” ucap Carleon menatap Marcella ketika kendaraannya sudah ada di depan lobi café.
“Saya duduk di depan atau belakang?” tanya asistennya sambil menunduk, tak berani menatap.
“Menurutmu?”
Alxe menjejeri Marcella, kemudian berbisik, “Duduklah di belakang, jangan banyak tanya! Mood-nya sedang tidak bagus.”
Terperangah, Marcella menatap atasannya dengan mata terbuka lebar. Ada garis kekhawatiran serta ketakutan di sana. Akan tetapi, karena sudah dibilang jangan banyak bertanya. Jadi, ia cepat menaiki kendaraan dari pintu yang berbeda.
Duduk di jok belakang bersama Carleon, sama sekali Marcella tak mengeluarkan suara. Dia tidak sendiri. Bahkan, Bobby dan Alex pun sama, tidak berani berkata apa-apa.
“Enak juga,” gumam sang CEO mendadak, sambil melirik asistennya.
Yang dilirik menoleh, “I-iya, Tuan? Ada apa?”
“Ini, enak juga,” jawab Carleonmenunjukkan gelas kopi di tangannya. “Kesukaanmu ternyata enak juga.”
Marcella cepat membuat bibirnya jadi tersenyum walau masih diliputi kegugupan besar. “Oh, i-iya … iya, va-vanilla latte memang e-enak … iya, enak!” angguknya.
Namun, meski mengatakan enak, masih tidak ada senyuman di bibir Tuan Muda Mancini. Dari balik kacamata, ia memandang lekat dan dalam. “Kenapa bisa berduaan dengan Birhen di café? Sudah janjian sebelumnya?”
Cepat menggeleng, jawabam Marcella meluncur sama cepatnya dengan kendaraan yang sedang dikemudikan oleh Bobby. “Ti-tidak, Tuan! Saya tidak janjian sebelumnya dengan Tuan Birhen! Saya sama sekali tidak tahu kalau beliau ada di café itu!”
“Iyakah? Kalau memang janjian bilang saja,” ujar Carleon masih belum mau sepenuhnya percaya.
Namun, Marcella kembali menggeleng. Wajahnya berusaha meyakinkan dengan sepenuh hati, “Sungguh, Tuan. Saya tidak janjian. Saya ke café itu juga karena diajak oleh Alexa. Saya benar-benar tidak menyangka ada beliau di sana.”
Keduanya terdiam, saling menatap. Di mana kemudian Marcella menunduk lebih dulu karena tidak kuat ditatap sedemikian tajam.
‘Gila, kenapa tatapannya seperti ingin memakanku hidup-hidup?’ pikir sang wanita dalam hati, sambil meremas jemarinya sendiri di atas pangkuan. ‘Tuan Carleon yang bad mood adalah Tuan Carleonyang mengerikan. Kenapa juga dia bad mood?’
Setelah kelebatan yang terlihat menunjukkan Carleon kembali menatap ke depan, ke arah jalan raya, barulah ia berani mengangkat wajah. Sekilas memandangi betapa dingin sekaligus tampan paras bosnya tersebut.
“Proposal kerja sama yang diminta oleh Paman Mao sudah selesai sampai mana?” tanya Carleon, menoleh dan menatap dengan sorot yang sedikit lebih bersahabat.
“Dari tim bisnis sudah selesai, Tuan. Kini sedang diperiksa oleh tim legal. Dalam tiga atau empat hari ke depan katanya sudah selesai,” jawab Alex.
“Memangnya aku bertanya padamu?” sahut Carleon melotot pada asisten utamanya yang sedang menoleh ke belakang untuk menjawab.
Alex meyeringai salah tingkah. “Tentu saja tidak! Tuan bertanya pada Marcella! Anggap saja saya sedang mengigau! Saya tidak akan berbicara lagi!” engahnya, cepat kembali menatap jalan raya di hadapan dengan keringat dingin muncul beberapa tetes.
Marcella menahan engah kegugupan, lalu menjawab, “Alex benar. Saat ini sedang diperiksa oleh tim legal. Kalau sudah selesai akan langsung saya berikan pada Tuan.”
Mendadak, kendaraan di depan mengerem secara tiba-tiba! Bobby terpaksa menginjak pedal rem sangat dalam dan kendaraan mereka pun berhenti detik itu juga.
Tubuh Marcella terhempas ke arah depan dalam gerakan yang sangat cepat karena ia tidak memakai sabuk pengaman. Kepala nyaris menghantam sandaran kepala kursi sopir jika tidak ada yang ….
“Kamu baik-baik saja?” engah Carleon tertahan, memegangi Marcella dalam dekapannya.
“Ha?” Wanita itu pun terengah, bingung kenapa ia mendadak bisa ada dalam pelukan bosnya seperti ini. Sudah mana harum parfum Carleon begitu menggelora saat masuk ke penciumannya.
Bobby memaki sendiri, “f**k! Mobil-mobil depan itu berhenti mendadak, Tuan! Tidak tahu ada apa! Untung saja kita tidak menabrak!”
“Ya, kita beruntung tidak mena—” Alex berucap sambil menoleh ke belakang, untuk memastikan bosnya baik-baik saja.
Akan tetapi, kalimatnya tidak terselesaikan dengan baik saat melihat apa yang terjadi di jok belakang. Pemandangan yang cukup membuat grogi sang asisten. Pun dengan Bobby yang ikut menoleh karena heran kenapa kalimat temannya itu tidak diteruskan.
Sang asisten dan bodyguard terbelalak ketika melihat Carleon memeluk Marcella dengan dua wajah mereka yang saling berdekatan. Tak mau mengganggu adegan yang terlihat menggemaskan itu, keduanya segera kembali menghadap ke depan, pada jalan raya.
Carleon tak peduli dengan kejadian barusan, di mana Alex dan Bobby terkejut dengan Marcella dalam dekapannya. “Kamu baik-baik saja?”
“I-iya …,” engah Marcella merasa sekujur tubuhnya lemas karena berada di dalam dekapan CEO tampannya. “Saya … saya baik-baik saja.”
Ia tak berusaha melepaskan diri dari pelukan tersebut, dan Carleon pun tak terlihat ingin melepasnya. Membiarkan jarak meniadakan diri di antara dua hidung mancung, mereka hanya saling menatap dan menyelami sorot masing-masing.
Siapa pun yang melihatnya pasti berpikir kedua anak manusia itu akan berciuman. Akankah … ? Bisa saja, karena Carleon tak kunjung melepas pelukannya dan Marcella tak kunjung bergerak.
Waktu seperti membeku di detik itu, menyisakan mereka berdua dalam dunianya sendiri.
Hingga sebuah suara terngiang di batin Carleon. Suara yang menyertai adegan seperti ini dulu sekali, bertahun-tahun lalu. Di mana ada wanita yang dulu juga sering ia dekap seperti ini, ia lindungi dengan segenap jiwa.
Wajah yang teramat mirip, rindu yang teramat menggebu. Kemesraan yang teramat gersang selama beberapa tahun terakhir. Ranjang yang tak lagi hangat … gelora hasrat yang tak lagi memendar terang.
“I love you, Carleon,” ucap suara kenangan itu.
Barulah setelah mendengar suara mendiang Miley di dalam benaknya, ia melepas pelukannya dari tubuh Marcella. Keduanya bernapas cepat, memburu, lalu kembali menghadap ke depan dengan kegelisahan dan keresahan masing-masing.
‘f**k!’ jerit Carleon dalam hati. Segenap gejolak dalam jiwa ia kurung agar tidak keluar membabi buta.
Sesaat tadi, ia benar-benar melihat Miley dalam diri Marcella. Dan sesaat tadi, betapa rindu menggebu ingin dituntaskan.
Akan tetapi, rindu itu untuk siapa? Bahkan, kalau ditarik mundur sedikit, cemburunya di café tadi untuk siapa? Rasa posesifnya hingga bersikap sedemikian sinis kepada Birhen itu untuk siapa?
Untuk Marcella atau ….
Carleon mengusap gelang rantai emas putih di pergelangan tangan. Ada remasan erat di antara usapan tersebut. Dilakukan bersama satu desau kehilangan, perih menyayat batin.
Sedemikian sulitkah meninggalkan kenangan Miley di belakang dan melangkah maju?
‘Apa yang baru saja terjadi? Dia memelukku, memandangiku sedemikian sendu, lalu semua berakhir? Aku berani bersumpah dia menatapku seperti sedang menatap seorang kekasih!’ pekik Marcella dalam hati.
‘Apa dia menyukaiku? Apa dia menginginkanku? Kalau iya, kenapa dia tidak menunjukkan secara jelas bahwa dia menginginkanku? Apa yang dia inginkan dariku? My God! Aku harus bersikap bagaimana?’
Tatapnya melihat gerakan tangan Carleon yang sedang mengusap gelang di pergelangan tangan. ‘Setiap ia menyentuh gelang itu, wajahnya selalu terlihat muram seperti sekarang. Apa ada sebuah cerita khusus mengenai gelang tersebut? Masa lalu apa yang dia miliki hingga menjadi seperti ini?’
‘Aku harus bersikap bagaimana? Aku … tak akan kutolak kalau memang dia menginginkanku! Tapi, kenapa semua terasa abu-abu?’
Asisten itu sungguh bingung karena ia tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam pikiran bosnya.
Lebih bingung lagi karena kendaraan tidak berjalan ke arah yang dia kira. “Kantor Tuan Hank Zhimmerman ada di belokan itu. Kenapa kita tidak berbelok?”
Carleonmenggeleng, menjawab dengan datar. “Kita tidak ke sana.”
“Lalu, kita ke mana?” bingung Marcella.
“Mengantarmu pulang,” jawab Carleon, lalu menoleh, dan sekali lagi menatap sendu berbalut kegamangan.
Memaksa diri untuk tersenyum dan menutupi kebingungannya, Marcella mengangguk. “Baik, Tuan. Terima kasih sudah mengantar saya pulang.”
Kemudian, sisa perjalanan sekitar 20 menit selanjutnya dilalui dengan kesunyian. Tak ada satu pun dari keempat orang itu yang berbicara. Kalau Alex dan Bobby saling lirik, tidak demikian halnya dengan Carleondan Marcella.
Well, sang asisten yang bingung sesekali melirik pada bosnya. Sesekali pula berharap kendaraan kembali mengerem mendadak supaya peristiwa tadi bisa berulang dan ia mendapat jawaban atas kebingungan yang terjadi.
Akan tetapi, harapan tinggalah harapan. Sampai Maybach Carleon mendekati apartemennya, lalu lintas sedemikian lancar meski dibasahi dengan rintik hujan.
Di mana sang CEO sama sekali tidak melirik apalagi menatap pada asistennya seperti di awal tadi. Pandang Carleon membeku ke arah luar, kepada tetes hujan yang menemani kenangnya akan mendiang istri.
Mobil berhenti di lobi sebuah apartemen sederhana yang sudah terlihat tidak baru. Mungkin bangunan ini didirikan sekitar 15 atau 20 tahun lalu.
“Saya turun dulu, Tuan. Terima kasih sudah mengantar saya pulang.”
Barulah Carleon menoleh, kemudian mengangguk. “Hmm,” jawabnya bahkan tidak mengeluarkan kata apa pun selain gumaman singkat.
“Sampai jumpa besok di kantor, permisi,” ucap Marcella, lalu melangkah turun dari kendaraan bosnya.
Tak ada jawaban lagi dari Carleon. Hanya tatap lekat terkurung pilu yang mengiringi kepergian Marcella.
Di saat seseorang tidak tahu isi hatinya sendiri, apa yang bisa dilakukan?
Melangkah menaiki tangga untuk sampai ke lantai tiga apartemennya, Marcella meremas cardigan yang ada di dekapannya. “Apakah dia sungguh memiliki rasa kepadaku atau tidak?”
“Kalau iya … mungkinkah ia menyatakannya? Karena aku tidak mungkin seperti Alexa yang terang-terangan menarik perhatian dan menyukainya, aku bukan wanita seperti itu.”
Ah, ternyata Marcella juga sudah berpikir rekan sekantornya menyukai Carleon, tetapi selama ini diam saja.
Sementara sang CEO, ia terus memandangi hujan di luar jendela dan berharap tetes air itu bisa menghanyutkan bayang Miley yang kini menari lincah di kenang.
***
Berdiri di depan sebuah lemari, memandangi berbagai barang bertumpuk di sana, ada segelas Hennessy di tangan Carleon. Ia tersenyum pada sebuah foto. Di dalam pigura itu ada seorang lelaki dan seorang wanita yang sama-sama memakai baju putih.
Yang wanita terlihat sangat segar dan cantik, sementara yang pria nampak begitu bahagia tak terhingga.
Ada yang tahu itu foto apa?
Ya, benar. Itu adalah foto pernikahannya dengan Miley. Foto yang diambil sekitar lima atau enam jam sebelum pernikahan tersebut berakhir dengan hilangnya embusan napas sang istri.
“Kenapa setiap hari aku merasa sinar fajar bersinar semakin jauh? Bayangan gelap mengekor langkahku hingga aku terus merasa dalam kegelapan dan bertanya apakah aku terperangkap di sini selamanya?”
Ia meneguk satu kali dari gelas kaca, lalu tertawa pedih. Matanya menatap sebuah test pack bergaris dua. Demi apa ternyata barang itu masih disimpan di dalam lemari yang berisi barang-barang peninggalan mendiang Miley.
“Kalau saja tragedi itu tidak terjadi, anak kita pasti sekarang sedang lucu-lucunya. Dia akan berusia sekitar tiga tahun, bukan? Kalau dia putra, dia akan mewarisi kharisma seorang Mancini. Dan kalau dia wanita, dia akan menjadi secantik kamu.”
“Tiap malam aku melihatmu bermain di mimpiku. Dan setiap itu terjadi, aku berakhir dengan tetesan air mata. Kenapa semua sesakit ini?” tawanya lirih, frustasi, menggeleng jengah.
Satu kali tegukan lagi, kemudian bertanya, “Kalau aku menemukan wanita lain untuk menggantikan dirimu, apakah kamu akan marah, Baby? Jika lelakimu ini menjadi milik wanita lain, apakah kamu akan cemburu?”
Akan tetapi, di ujung tawa getir itu, kembali terselip isak pilu. “Seunik itu dirimu, seistimewa itu dirimu. Dan secepat itu Tuhan mengambilmu dariku ….”
“Tapi, sejak pertama Marcella hadir dua tahun lalu, aku terus berpikir apakah Tuhan mengirim dia untuk menjadi penggantimu?” tanyanya pada foto mendiang istri yang sedang tersenyum manis, di dalam lemari, berjejer dengan foto pernikahan mereka.
Tawa Carleon begitu menyuarakan kesedihan di batinnya. “Kamu harus melihatnya, Miley. Dia sungguh mirip denganmu! Mata bulatnya, senyum manisnya, ikal rambut hitamnya, semua dari fisiknya terus mengingatkan aku padamu!”
“Hanya saja, Marcella tidak seramai dirimu. Dia begitu penurut, begitu pemalu, dan begitu takut padaku,” kekehnya, lalu mengusap mata yang basah. “Tidak sepertimu yang begitu membuatku kesal, jengkel, dan pusing di awal.”
“Tapi, hanya kamu yang berhasil membuatku segila itu sekaligus membuatku jatuh cinta teramat dalam dan merasa tak bisa melanjutkan hidup karena kehilanganmu.”
“Bahkan, tadi di mobil aku sempat hilang akal dan melihatnya sebagai dirimu. Nyaris saja aku menciumnya karena aku sungguh merindukanmu! Sepertinya, aku sudah mulai gila?” tawa sang CEO menggeleng, lalu kembali meneguk Hennessy yang sudah hampir tak bersisa di gelas.
Ia menghela sangat berat, “Kalau aku melanjutkan hidup dengan Marcella, siapa yang sebenarnya aku cintai? Apakah Marcella Alistair atau Miley Cang? Bagaimana kalau aku tidak bisa melihatnya sebagai Marcella? Bagaimana kalau aku terus melihatnya sebagai dirimu?”
“Dan bagaimana kalau aku tidak bisa menjaganya lagi seperti aku menjagamu? f*****g Croag entah mati entah hidup! Aku meledakkan helikopternya, tetapi tidak ada yang menemukan jasad manusia sialan itu!” tawa CEO tampan yang sudah mulai mabuk, terengah sakit dalam d**a.
Carleon menutup lemari yang berisi barang-barang peninggalan Miley, kemudian menekan tombol angka untuk menguncinya. Sedemikian berharga barang-barang itu sampai ia letakkan di lemari besi agar terjaga keberadaannya.
Duduk di tepi ranjang, bibir kemudian menyesap Hennessy hingga habis tak bersisa. Pandangnya menerawang pada angkasa malam mendung berhias rintik hujan. Suara merintih pelan terdengar, “Tapi, aku sungguh lelah berada dalam kesakitan ini, Miley.”
“Jika kamu ada di luar sana sedang memandangiku, beritahu apa yang harus kulakukan? Sembuhkan rasa sakit di jiwaku seperti dulu kamu menyembuhkan semua luka di tubuhku.”
“Hanya kamu, iya … hanya kamu yang bisa mengobati semua lukaku, Baby. Just you … just you ….”
Ia merebahkan diri, mata sudah terasa berat, lelap.
***
Sekian hari kemudian, terlepas dari apa yang terjadi kemarin di antara Carleon dan Marcella, mereka memiliki pekerjaan untuk diselesaikan. Sebuah rapat sedang akan dimulai.
“Sudah buat jadwal kegiatanku selama satu bulan ke depan? Agenda peluncuran produk baru dan keberangkatan ke Dubai sudah dimasukkan?” tanya Carleonpada Marcella.
Wanita yang sedang berdiri di tengah ruangan dan mengutak-atik laptopnya mengangguk. Rapat ini dimulai dengan ia sebagai karyawan pertama yang memberikan presentasi pekerjaannya.
“Sudah, Tuan. Tapi, sebentar, saya cari dahulu. Sudah selesai sejak satu hari lalu, tetapi mendadak tidak ada di sistem?” gumma Marcella nampak bingung.
Alexa yang duduk tak berjauhan dari Carleonhanya diam dan tersenyum datar melihat rekan kerjanya sedang nampak bingung serta kesulitan.
“Coba cek di folder lain, atau di-search saja nama file-nya biar cepat muncul,” ucap Alex memberi saran.
Marcella menjawab dengan nada suara lirih kebingungan, “Sudah, aku sudah mencobanya, tetapi tetap tidak ada. Kenapa bisa hilang?” engahnya menatap takut-takut pada Carleon.
Kening san CEO mengerut. “Akhir bulan adalah besok dan kamu tidak memiliki jadwal kegiatan yang sudah tersusun rapi untukku? Kenapa kamu bisa seceroboh ini?” tanyanya menghela panjang.
“Maafkan saya, Tuan. Sungguh, selama ini saya tidak pernah mengalami data hilang seperti sekarang. Baru kali ini data yang sudah saya kerjakan mendadak hilang dari sistem.” Kepala Marcella tertunduk, suaranya terdengar sungguh menyesal.
“Kamu tidak ada back up file?” tanya Carleon.
“Ada, tapi hilang juga. Saya tidak tahu, apa mungkin server-nya eror dan corrupt?” hela Marcella memandangi Alex. “Selama ini tidak pernah ada file hilang, benar, ‘kan, Alex?”
Alex mengangguk, “Ya, itu benar. Akan kuminta bagian IT untuk mengeceknya setelah ini. Jangan sampai file lain yang penting ikut hilang. Tapi, kamu ada catatan khusus mengenai jadwal Tuan Carleon atau tidak?”
“Semua janji temu yang sudah disepakati sejak sekian hari lalu? Semua ketentuan publikasi produk dan lain-lain? Linier timeline dengan divisi lain? Kamu masih menyimpannya, bukan?”
Menanggapi pertanyaan atasannya, Marcella menggeleng lesu. “Semua ada di file yang hilang. Aku tidak membuat file khusus mengenai janji temu dan lain-lain. Hanya ada satu back up file berisi jadwal secara keseluruhan dan itu pun hilang.”
Alexa mendadak berdiri dan tersenyum lebar. Matanya berbinar menatap Carleon sambil berucap, “Uhm, sebenarnya, saya juga sudah membuat pengaturan jadwal untuk Tuan Carleon. Saya padu padankan dengan jadwal peluncuran produk baru kita sebentar lagi, juga dengan timeline keberangkatan ke Dubai.”
“Saya membuatnya hanya sebagai cadangan jika Tuan misal kurang cocok dengan jadwal yang dibuat oleh Marcella. Apa mungkin Tuan ingin melihatnya? Toh, jadwal dari Marcella juga sudah hilang secara misterius?” kekehnya sedikit menertawakan rekan kerjanya yang masih berdiri di depan.
Carleon menatap lekat, “Kamu membuat rencana kegiatan untukku juga?”
“Ya, tentu saja. Karena saya harus mencocokkan dengan begitu banyak jadwal publikasi yang sudah saya serahkan kepada Marcella kapan hari. Untung saya membuatnya, kalau tidak sekarang kita sudah kebingungan karena harus menelusuri ulang jadwal selama satu bulan ke depan,” angguk Alexa sumringah.
Sang CEO mengangguk, “Ya, baguslah, kalau kamu sudah membuatnya. Kita lihat saja jadwalmu. Kalau aku cocok, biar jadwalmu yang kita pakai.”
“Dan Marcella, sebaiknya kamu mulai sekarang membuat salinan ke beberapa file lain agar keteledoran seperti ini tidak terjadi lagi. Better safe than sorry, mengerti?” tegur Carleon pada Nona Alistair.
Mengangguk, Marcella menjawab dengan lirih sambil kemudian kembali ke tempat duduknya. “Baik, Tuan. Akan saya ingat selalu, terima kasih dan mohon maaf.”
“Alexa, perlihatkan hasil pekerjaanmu. Sepertinya, kamu akan jadi penyelamat kita siang ini,” utas Carleon tersenyum kecil pada asisten humasnya tersebut.
Alexa berjalan dengan penuh percaya diri menuju bagian depan ruangan. Ia melihat bagaimana Marcella tertunduk lesu dengan wajah memerah karena malu dan khawatir.
‘Maafkan aku yang sudah membuatmu ditegur, Marcella! Tapi, kamu harus tahu bahwa aku memiliki misi khusus untuk membalaskan dendam keluargaku! Kami sudah dipermalukan, dan saatnya menuntut balas!’ ucap Alexa membatin di balik senyum sumringahnya.
‘Seandainya Tuan Carleon tidak memperlihatkan ketertarikan padamu, semua ini tak akan terjadi.’
‘Biarkan aku yang jadi penyelamat sehingga namaku semakin berkibar di depan Tuan Carleon. Terus begini dan kamu akan segera dipindah menjadi resepsionis! Sekali lagi, maafkan aku, ya?’ kekehnya dalam hati.