Ch.08 Mendadak Muncul

2043 Kata
Marcella duduk berhadapan dengan Birhen di meja sang CEO dari Amerika. Mereka terlibat dalam obrolan santai seputar pekerjaan. Hingga pada satu waktu di mana Birhen bertanya, “Maaf, tapi saat kita berdekatan tadi, saat selfie bersama teman-temanmu, aku … uhm ….” “Apa? Ada apa?” angguk Marcella menanti kalimat selanjutnya. “Tidak apa-apa, aku hanya tanpa sengaja menghirup aroma wangi segar dari kepalamu dan … uhm … boleh aku bertanya sampo apa yang kamu pakai?” Terkejut, tertegun sesaat, lalu Marcella bertanya sambil tertawa pelan. “Kenapa Tuan mau tahu sampo apa yang saya pakai? Apa Tuan ingin memakainya juga? Itu adalah sampo wanita.” “Sebenarnya, itu adalah sampo adik saya. Beberapa hari lalu dia datang ke apartemen dan membelikannya. Baunya memang enak, segar, kalau tidak salah namanya Orchid Blossom.” Marcella mengambil ponselnya, “Sebentar, akan saya telepon Adik dan bertanya apa benar nama samponya adalah Orchid Blossom.” Suara sambungan berdengung terdengar, lalu seorang wanita yang sepertinya masih berusia muda menjawab. “Halo, Kak? Ada apa?” “Hai, Maddy! Maaf, karena mengganggu waktumu bekerja. Apa benar nama sampo yang kamu belikan untukku kemarin adalah Orchid Blossom?” “Iya, benar,” jawab seorang gadis bernama Maddy di ujung sambungan. “Kamu suka? Mau kubelikan lagi?” Marcella tertawa kecil sambil menggeleng, “Boleh, terima kasih. Tapi, sepertinya bosku sangat suka dengan baunya hingga ia pun ingin memakainya. Oke, bye, Maddy!” Lalu, asisten cantik menutup teleponnya dan menatap kembali pada Birhen. “Nah, benar, namanya Orchid Blossom. Apa Tuan ingin saya belikan?” candanya melempar senyum manis. Birhen cepat menggeleng dan ikut tertawa pelan. “Bukan, aku … uhm, aku tidak mau memakainya. Hanya saja, entahlah … maafkan aku. You see, aku pernah mengenal seseorang yang juga memilik keharuman rambut sama sepertimu.” “Dan … iya, nama samponya memang Orchid Blossom. Selama berbulan-bulan kami tinggal bersama, aku selalu melihat sampo itu di kamar mandiku. Uhm, maafkan aku, entah kenapa aku merasa kalian berdua sungguh mirip.” “But, I guess … yah, rasanya siapa saja bisa mirip, bukan? Apalagi, sampo itu memang sampo yang banyak dipakai wanita baik di Amerika maupun di Eropa,” tandasnya menghela berat. Marcella kembali tertegun sesaat sambil meremas tali tas kulit yang ada di atas pangkuannya. Tatapnya ke arah Birhen adalah tatap sendu. Kemudian, senyum lirihnya terbit bersama sebuah kalimat. “Tuan, saya mengerti Anda mungkin kehilangan sosok tersebut hingga terus mengingatnya. Tapi, saya bukan siapa pun itu yang Anda bayangkan.” “Saya tersanjung disamakan dengan sosok itu, yang mana pasti sangat berarti bagi Tuan. Berarti dia sosok yang baik, dan mungkin … sangat Tuan cintai?” Birhen mengangguk, tertawa sedih, “Yeah, aku dulu sangat mencintainya. Tapi, dia menghilang secara tiba-tiba. Dia meninggalkanku hingga selalu berpikir apa yang salah dalam hubungan kami. Bertanya-tanya apa yang membuat dia pergi begitu saja.” Marcella mengembus lirih, wajahnya terlihat prihatin. “Tidak semua kisah cinta berakhir bahagia. Terkadang, jika memang tidak berjodoh oleh takdir, tak ada yang bisa kita lakukan untuk menentangnya.” “Saya yakin, apa pun yang membuatnya pergi bukanlah kesalahan pada pihak Tuan. Karena Tuan terlalu tampan, baik, perhatian, dan kaya raya untuk ditinggalkan,” canda Marcella menghibur. “Lupakan yang sudah berlalu, bukalah lembaran baru. Kata orang, cara terbaik untuk melupakan masa lalu, adalah dengan mengukir masa depan.” Tuan Muda Liu kembali tertawa dan mengangguk, “Ya, begitulah. Aku minta maaf, ya? Aku tahu kamu pasti risih karena kusamakan dengan dia.” Wajah manis menggeleng, “Tidak apa, asal Tuan kemudian sadar bahwa dia adalah dia, dan saya adalah saya. Dan semoga Tuan tidak terus melihat saya seperti dirinya. Karena jujur, memang itu membuat risih,” senyum Marcella. “Bisakah kita memulai dari awal? Aku benar-benar sadar sekarang kalau kamu bukanlah dia. Bolehkah aku mengenal Marcella Alistair dari awal?” Tawa renyah diberikan oleh Marcella sembari ia menjulurkan tangan. “Hai, selamat malam. Perkenalkan, saya adalah Marcella Alistair. Saya adalah wakil asisten utama CEO di Energica Technology. Senang bertemu dengan Tuan.” Birhen cepat menyambut uluran tangan itu dengan rengkuhan erat dan hangat. Ia tersenyum lirih, mengagumi kecantikan wajah dan juga kecantikan hati Marcella. “Hai, Marcella. Perkenalkan, aku adalah Birhen Anderson Liu. Aku berasal dari BevHills Global Technology yang kini sedang ber-partner dengan Energica Technology. Sungguh senang bisa mengenal wanita sebaik dan secantik dirimu.” Keduanya berjabat dengan tawa kecil, hingga kemudian …. “Kalian berdua sedang merayakan apa hingga berjabat tangan di sini?” Birhen dan Marcella sontak menoleh ke arah datangnya suara berat beraura dingin membekukan tersebut. ‘Ya, ampun! Kenapa ada Tuan Carleon di sini!’ pekik Marcella dalam hati dan segera menarik tangannya dari genggaman Birhen. Kelima jari langsung ia sembunyikan di bawah meja. Tidak hanya Marcella yang terkejut dengan kehadiran sang CEO Dowsntream di café ini. Birhen pun sama terkejutnya hingga ia memandang lekat dengan kening mengerut, “Kenapa kamu ada di sini?” Carleon tak segera menjawab. Ia memandangi Marcella dan melihat ada ruang kosong di sofa sebelah asistennya itu. Maka, ia yang di awal berdiri kini perlahan mendudukkan dirinya di sebelah sang wanita. Setelah duduk berdampingan dengan Marcella, barulah ia menjawab, “Aku sebenarnya akan bertemu dengan pengacara untuk membahas tuntas masalah santunan bagi korban kebakaran alat penghangat ruangan Energica Technology yang memiliki masalah pada circuit elemen pemanas.” Lalu, ia melirik pada asisten utama yang masih setia berdiri di belakang sofanya sambil mengulum bibir kebingungan. “Tapi, Alex tiba-tiba ingin segelas kopi. Dan karena café ini sedang kami lewati, maka kami berhenti di sini.” “Aku pun ingin cegelas kopi untuk menyingkirkan kepenatanku. Eh, ternyata bertemu kalian berdua di sini. Sedang apa berduaan?” senyum Carleon dengan aura kakunya, menatap lekat pada Marcella. Yang ditatap kembali menjerit dalam batin. ‘Tuhan, dia menatapku seperti itu lagi! Sama seperti saat Tuan Birhen kemarin ingin membelikan aku makan siang! Ada apa dengannya? Kenapa seperti mengamuk padaku?’ “Uhm, Tuan, sebetulnya mereka tidak berduaan. Itu di belakang sana ada Alexa dan yang lain,” bisik Alex. Carleontidak menanggapi bisikan itu. Dalam hati ia berucap, ‘Alexa di sana, mereka hanya berdua di sini. Itu sama saja berduaan!’ desisnya kesal tanpa suara. Terdengarlah suara langkah kaki berlari mendekati meja. Arsitek pertemuan Birhen dan Marcella di café ini muncul dengan terengah. “Tuan Carleon? Kenapa Anda ada di café ini?” Alexa menatap kebingungan. Ia yang mengira rencana awal mendekatkan Marcella dan Birhen sudah berjalan sempurna, kini terpaksa menelan pil pahit karena CEO yang sungguh ingin ia dekati ternyata datang juga ke tempat yang sama. Karyawan wanita lain berbondong mengekor di belakang Alexa. Mereka senyum-senyum tidak jelas melihat CEO tampan duduk di sebelah Marcella. Yah, siapa yang tidak senyum-senyum kalau melihat Carleon? Memang, lelaki Mancini tiada tanding tiada banding kalau sudah soal ketampanan dan aura kejantanan! Uh, membuat otak wanita traveling dari pantai hingga laut, dari palung marina hingga antariksa! “Tuan Carleon, boleh selfie?” Karyawan wanita yang tadi juga meminta selfie dengan Birhen mencoba keberuntungannya. Kapan lagi bertemu dua CEO tampan dalam satu malam di satu lokasi yang sama. Akan tetapi, sepertinya keberuntungan sudah habis saat mengambil begitu banyak gambar dengan Birhen tadi. Apa mereka lupa kalau Carleon mendapat julukan Ice Cold CEO karena sesuatu hal? Di mana Tuan Muda Mancini itu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menjawab dengan tatap tajam penuh penekanan kata TIDAK! Cukup satu tatapan setajam pisau Mama Annchi untuk membuat empat karyawan wanitanya berbondong pergi meninggalkan meja Birhen dan tak kembali lagi. “Bisa-bisanya kamu meminta selfie dengan Tuan Carleon! Semoga saja besok kita tidak dipecat!” bisik keempat wanita itu saking merindingnya dengan sorot mata CEO mereka. Namun, Alexa tidak takut dengan sorot tersebut. Ia justru duduk di seberang, berdampingan dengan Birhen. Senyumnya nampak manis, “Tuan Carleon mau saya pesankan apa?” “Kamu pesan apa?” tanya Carleon melirik gelas berisi minuman putih seperti s**u yang ada di depan Marcella. “Va-vanila latte,” jawab sang asisten tergagu saking gugupnya. Carleon tidak berbuat apa-apa, hanya bertanya, tetapi kenapa jadi merasa terintimidasi? “Kesukaan Marcella adalah vanila latte, jadi aku memesankan vanila latte untuknya,” tanggap Birhen tersenyum lebar. “Aku hanya sedang menikmati sore di sini. Kemudian, Alexa dan Marcella datang bersama teman-teman yang lain. Aku hanya mengobrol santai dengan Marcella. Eh, tapi, motormu masih di bengkel, ya, Marcella?” Yang ditanya menjawab dengan anggukan. Suara Marcella seperti ditelan ketegangan tersendiri karena di sebelahnya duduk sang manusia es batu. Itu julukan dari anak buah untuk Tuan Muda Mancini, bukan? “Nah, nanti biar aku mengantarmu pulang ke apartemen, ya? Daripada kamu naik taksi atau angkutan umum. Sepertinya akan hujan juga. Biar aku yang mengantarmu,” ucap Birhen tanpa perasaan bersalah di depan rekan kerja barunya. Lelaki ini juga sepertinya kurang peka. Atau mungkin karena dia belum terlalu dekat dengan Carleon seperti Marcella, Alex, juga Bobby. Dia tidak sadar bahwa dari sorot mata, dinginnya ucapan, serta kakunya bahasa tubuh, semua itu menandakan sang Phoenix Api sedang mengamuk. “Hmm,” sahut Carleon dingin, hanya tersenyum di ujung bibir. “Pesankan aku vanila latte seperti yang diminum Marcella,” pesannya pada Alex. “Baik, Tuan,” angguk sang asisten utama, segera pergi menuju meja pemesanan. “Tuan hendak ke mana?” tanya Alexa menahan kegugupan serta kejengkelan. Ia berkali-kali melirik Marcella yang juga nampak gugup. “Menemui Hank Zhimmerman, mengurusi pembayaran santunan sesuai putusan damai kemarin,” jawab Tuan Muda Mancini singkat. “Oh, begitu. Apa perlu saya temani? Nanti saya bantu mengecek dokumen pengesaha dan lain-lain,” tawar Alexa tersenyum sangat manis, melebihi manisnya caramel yang ada di gelas besar milik Birhen. Carleon menggeleng, “Kamu bagian humas, tidak usah urusi masalah ini. Marcella saja yang akan menemaniku setelah ini menemui Hank. Biar dia yang mengurusi berkas pembayaran santunan.” Lalu, tatapnya menuju pada Birhen. “Tidak usah antar Marcella pulang. Dia akan pergi denganku mengurusi berkas penting.” “Oh, begitu, baiklah. Lain kali saja aku antar kamu pulang, Marcella,” angguk Birhen tersenyum sendu, masih tidak peka. Carleon mengembus kasar saat mendengar akan ada lain waktu di mana lelaki itu akan mengantar asistennya pulang ke apartemen. “Saya kira semua sudah diurus oleh Alex?” tanya Marcella, terucap begitu saja. Mata Carleon kembali menyorot tajam dan dingin. Sudahlah jengkel dengan Birhen, masih pula ditanya hal tidak penting seperti ini. Tatap yang sontak membuat Marcella menelan saliva satu kali dengan susah, lalu menunduk sambil berucap lirih, “Tapi, pasti ada yang belum terurus dengan sempurna karena Alex juga banyak tanggungan pekerjaan.” “Biar saya menemani Tuan dan memastikan semua berkas sudah lengkap untuk disimpan di kantor,” tandas sang asisten cantik tak berani lagi mengadu pandang dengan bosnya. Alexa meremas ujung rok spannya. d**a bergejolak panas. Bibir ia kulum ke dalam karena marah. Lagi-lagi Marcella yang pergi berduaan dengan bos tampan. Lagi-lagi rencananya gagal. Di mana ia hanya bisa mengumpat sambil tersenyum tak ramah, ‘Sialan!’ Carleon melirik jam di tangan, kemudian melihat pada Alex yang sepertinya sudah selesai memesan kopi untuk dibawa pergi. Ia berdiri, lalu pamit kepada Birhen. “Aku pergi dulu, ya. Kopinya sudah selesai.” “Maaf, aku terpaksa membawa Marcella dulu karena urusan pekerjaan. Apa pun yang sedang kalian rayakan tadi, semoga bisa dilanjut lain waktu,” tukasnya tersenyum datar. Tubuh gagahnya berdiri, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Sekali melirik ke belakang, melihat kalau Gisela sudah berdiri pula mengekor langkahnya, maka ia tak lagi menatap pada rekan kerja yang entah kenapa sekarang lebih terasa seperti rival. Alex berbisik sambil membawa dua buah gelas kopi, “Tuan, kenapa bilang kalau kita mau ke Tuan Hank? Saya sudah membatalkan janji temu seperti yang Tuan bilang tadi.” “Hmm ….” Jawaban apa itu hanya gumaman? Ambigu sekali? “Jadi, tetap batal atau bagaimana, Tuan?” “Batal!” Alex mengangguk, tetapi masih bingung. “Lalu, sekarang kita ke mana?” “Mengantarkan Marcella pulang ke apartemennya. Memangnya mau ke mana lagi?” desis Carleon. Dan di meja yang ditinggalkan duduklah Marcella seorang diri dengan tangan terkepal. Hatinya bergejolak seperti tsunami di tengah badai lautan. ‘Aku harus segera memikirkan cara untuk membuat Tuan Carleon tidak suka pada Marcella. Dia harus marah pada wanita itu dan mungkin membuatnya pindah bagian?’ ‘Pokoknya, apa pun caranya harus kulakukan demi membalaskan dendam keluargaku! Marcella harus segera enyah dari tim asistensi Tuan Carleon!’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN