Ch.07 Cemburu Buta

2125 Kata
Alexa dan kelima temanya –termasuk Marcella— mendatangi sebuah café baru yang tak jauh dari kantor mereka, Energica Technology. Memasuki dengan ceria, keenam wanita tersebut segera mencari tempat duduk untuk bersantai. Setelah mendapat kursi di pojok ruangan. Alexa pamit hendak ke kamar mandi sebentar. Saat ia melangkah menuju restroom, mata melihat seorang lelaki duduk seorang diri di pojokan. Keduanya saling melihat, dan Alexa menunjuk ke arah belakang dengan hati-hati agar tidak terlihat temannya yang lain. Ia memberi tahu pada Birhen yang sudah lebih dulu ada di café tersebut, di mana Marcella duduk dengan teman-teman lain. Tak menunggu lama, Birhen pun berdiri, kemudian berjalan ke arah yang tadi ditunjuk oleh Alexa. Dari kejauhan, meski dengan cahaya temaram yang tidak seberapa terang, sosok Marcella terlihat sangat jelas dan begitu menawan baginya. Kian detik berlalu, kian langkahnya menjadi lebih dekat. Dan pada saat itu Marcella mulai melihat sosok Birhen mendekat, membuatnya tertegun terus menatap. Salah satu karyawan wanita yang duduk di sebelah Marcella menyadari perubahan pada temannya. Bagaimana wajah cantik asisten CEO tersebut mengarah lurus ke depan, mata bundar indah menatap tak berkedip, dan bibir tersenyum kecil dalam keterkejutan. Ia mengikuti arah pandang Marcella, kemudian memekik kecil saat melihat siapa yang sedang mendekat. “Ya, Tuhan! Ada Tuan Birhen Liu di sini!” engahnya hingga membuat yang lain ikut terperangah dan menoleh. “My God! Mimpi apa kita bertemu Tuan Muda Liu di sini!” seru para karyawan wanita. Ada yang langsung merapikan pakaian kantor, ada yang sontak memastikan rambut tergerai sempurna, ada yang mengeluarkan kaca dan memastikan bedak serta lipstik masih menunjang penampilan di penghujung senja. “Selamat sore semuanya,” sapa Birhen ramah. Mengatakan semuanya, tetapi mata tertuju hanya pada Marcella saja, tak bisa melihat ke arah lain. “Tuan Birhen! Sungguh kebetulan sekali kita bertemu di sini!” sambut para karyawan wanita segera berdiri dari kursi sofa mereka, lalu menunduk hormat. Birhen mengangguk, tetap menyorot Marcella, kemudian kembali bersuara. “Ya, aku juga tidak menyangka bertemu kalian semua di sini. Sedang bersantai?” Tentu karyawan wanita lain segera menyadari ke mana arah mata konglomerat muda tersebut mengarah, dan tidak pernah berpaling meski satu deti. Marcella menahan engah, merasa berkewajiban untuk menjawab pertanyaan rekan kerja bosnya yang baru. “I-iya, kami … uhm, ka-kami sedang … uhm … Tuan Birhen sedang apa di sini?” Sambil tersenyum, pemuda tampan menjawab dengan kalimat satir, “Aku ingin mengetahui lebih banyak tempat yang nyaman di Energica Technology. Beberapa hari lalu aku ingin mengajak seseorang, tetapi sepertinya dia belum ada waktu untukku.” Tahu kalau sedang disindir secara halus, debar jantung Marcella berdegup kencang. Sebagai wanita normal, ia juga tahu lelaki ini memiliki kharisma kehangatan tersendiri yang membuat banyak wanita tergila-gila hingga terus bergosip setiap Birhen datang ke kantor. Bahkan, tak jarang ada saja yang berusaha menarik perhatian dengan berseliweran di lobi ketika taipan konstruksi asal Amerika ini datang. Di antara dua tatap yang saling beradu dengan perasaan masing-masing, mendadak ada karyawan wanita memanfaatkan keadaan untuk menaikkan eksistensi dirinya. “Tuan Birhen, boleh selfie?” kekehnya sudah mengeluarkan ponsel, siap untuk mengambil gambar dari peristiwa yang mungkin tidak akan terjadi lagi setelah ini. “Teman-teman saya akan menjerit iri kalau tahu saya bertemu Tuan di café ini dan bisa berfoto bersama.” Birhen tertawa kecil, “Aku bukan artis. Kenapa harus iri kalau kamu bertemu aku?” Karyawan lain ikut mengeluarkan ponsel mereka sambil berseru dan tertawa riang. “Tuan Birhen adalah artis di Energica Technology! Saya juga mau selfie!” Lalu, pemilik perusahaan teknologi terkenal dari Amerika tersebut menoleh pada Marcella. “Tidak mau menemaniku selfie bersama teman-temanmu?” Karyawan yang pertama meminta selfie cepat menarik lengan Marcella agar mendekat hingga kini asistennya Carleon tersebut sudah berdiri berjejer dengan Birhen dengan lengan mereka saling bersentuhan. Napas Marcella serasa berhenti mendadak saat ia merasakan ada jemari kokoh merayap di pinggang. Menarik lembut, membuat jarak mereka semakin dekat. Dan saat telapak tangan lelaki itu merengkuh garis liuk pinggangnya, rasa sesak bercampur debar menjalari relung batin Marcella tanpa bisa ia jelaskan. Ketika karyawan silih berganti mengambil foto selfie keberadaan mereka, mendadak Birhen mendekatkan bibirnya ke telinga Marcella dan berbisik, “Bisa kita mengobrol berdua setelah ini?” Apa yang harus dijawab oleh Marcella kalau sudah begini? Ia membeku, lidah terasa kelu. Hanya terus tersenyum kaku menghadap kamera kawan-kawannya. Ketika Birhen berbisik, ia pun merasakan debar jantung menggila, memburu tak bisa kendalikan. Ada sebuah fakta yang kembali menyeruak batin, menghadirkan rasa gundah luar biasa. ‘Kenapa bau harum rambutnya pun sama dengan mantanku? Setelah selera minuman yang sama, kini ia pun memakai sampo yang sama dengannya? Mungkinkah semua ini terjadi?’ pekik lelaki itu menahan rasa penasaran yang sangat menggebu. Sekian banyak kenang mesra bersama sang mantan yang mendadak hilang itu datang begitu saja hingga Birhen larut di dalamnya dan ia tanpa sadar merengkuh pinggang Marcella lebih erat lagi. Namun, suara tawa karyawan wanita yang sudah berkali-kali mengambil gambar dan akhirnya berhenti juga membuat momen mendebarkan di antara Birhen dan Marcella berakhir. Keduanya saling tatap selama satu atau dua detik. ‘Mata itu, tatap itu … apakah dirimu adalah dia? Wajah kalian tidak sama, hanya mirip. Akan tetapi, kenapa aku melihatmu sungguh seperti dia?’ lirih Birhen ketika mereka saling mengadu netra. Tepat di saat momen selfie sudah selesai dan mereka hendak kembali duduk, Birhen terus menatap sendu, berharap wanita itu mau duduk bersamanya seperti yang diminta. Ia tersenyum kecil, memberi kode dengan lirikan mata agar ikut dengannya ke tempat di mana ia duduk sebelum ini. Belum ada jawaban apa pun, tetapi kemudian terdengar langkah kaki dari arah belakang. Alexa sudah kembali dari kamar mandi. Semua menoleh ke wanita itu. “Wah, ada Tuan Birhen di sini? Kenapa kebetulan sekali kita bertemu di sini!” seru sang asisten dengan ceria seakan bukan dia yang menyebabkan semua ini terjadi. “Kamu telat, Alexa! Kami baru saja selesai selfie dengan Tuan Birhen!” kikik karyawan wanita memperlihatkan foto-foto selfie mereka barusan. Ada satu yang berbisik, “Sejak tadi kita berfoto, Tuan Birhen tidak mau bergerak dari samping Marcella. Apa ada sesuatu di antara mereka, ya?” “Lihatlah foto ini! Tuan Birhen berbisik apa kira-kira kepada Marcella?” tanya yang lain sambil terus berbisik dan terkikik. Alexa memang memiliki otak cerdas. Dia sudah tahu apa yang diinginkan Birhen. Maka, ia pun memberi ide yang cemerlang. “Uhm, Tuan Birhen datang di sini dengan siapa?” “Sendiri,” jawab Birhen, lalu menunjuk mejanya di sisi café yang berseberangan dengan posisi mereka saat ini. “Aku duduk di sana seorang diri. Kenapa?” “Sepertinya sofa kita tidak cukup dibuat duduk bertujuh? Duduk berenam saja sudah sempit, bukankah begitu?” lanjut Alexa melirik penuh makna pada sang lelaki. “Itu karena Jodie terlalu gendut!” canda teman-teman pada salah satu karyawan wanita yang memang memiliki tubuh tambun, berukuran dua kali tubuh mungil Marcella. Alexa lanjut memberi usul, melakukannya sambil mengambil tas serta cardigan Marcella dan memberikannya pada teman asistennya tersebut. “Supaya Tuan Birhen tidak sendirian di sana, bagaimana kalau kamu menemaninya saja?” “Lagipula, kita tidak muat bertujuh di sini. Dan aku rasa akan tidak sopan kalau membiarkan rekan kerja bos kita seorang diri di café ini, bukan?” Marcella terbelalak dan gelagepan sendiri. Ia memandangi Birhen dan Alexa bergantian, bingung. “Eh … tapi, aku … uhm … apakah Tuan tidak terganggu jika saya di sana?” “Bukankah aku sudah memintamu barusan agar menemaniku? Aku tidak merasa terganggu, aku senang kalau kamu mau menemaniku mengobrol.” Jawaban Birhen membuat para karyawan manita saling pandang dan terkikik salah tingkah sendiri. Mereka antara penasaran tingkat dewa dan gemas luar biasa dengan adegan barusan. Alexa mendorong-dorong pinggang Marcella sambil berbisik, “Temani saja! Dia rekan bos kita! Jangan sampai menyinggung perasaannya, kecuali kamu ingin kehilangan pekerjaan!” Marcella mendelik pada Alexa, tetapi menganggap ucapan temannya itu ada benarnya juga. Meski masih enggan untuk duduk bersama Birhen karena satu dan lain hal, tetapi ia akhirnya mengangguk. “Baik, kalau memang Tuan ingin ditemani mengobrol, maka saya akan ikut duduk bersama Tuan.” Birhen tersenyum lega, “Oke, terima kasih. Kalian pesanlah apa saja yang kalian mau. Aku yang akan membayar semuanya!” Seruan riang terdengar dari para karyawan setelah tahu mereka tidak akan mengeluarkan uang sama sekali sore ini. Marcella berjalan bersama Birhen menuju meja sang lelaki. Di mana kemudian Alexa mengawasi dari belakang, membuat ekspresi puas sedikit culas di wajah cantiknya. ‘Siapa sangka rencanaku semudah ini berhasil? Hihi!’ kekehnya getir. ‘Dekati terus Marcella sampai dia mau menjadi kekasih Anda, Tuan Birhen yang terhormat. Dengan demikian, aku bisa lebih mudah mendekati Tuan Carleon karena tidak ada lagi saingan!’ *** Tanpa bisa dicegah, tentu saja karyawan wanita yang ikut ke café itu sungguh ingin membuat iri teman-temannya. Mereka sontak memasang foto selfie bersama Birhen di akun chat dan mendia sosial masing-masing. Bahkan, ada yang terang-terangan mengunggah foto tersebut di grup chat kantor dan membuat kehebohan. “Astaga!” kekeh Alex melihat betapa ramainya grup chat diisi seruan karyawan wanita yang iri ingin bisa berfoto sedekat itu dengan Birhen. “Dasar, wanita, selalu saja heboh kalau melihat yang tampan dan beruang!” “Siapa sangka ada Tuan Birhen juga di café?” gumamnya memandangi foto di mana terlihat rekan kerja baru bosnya sedang berbisik entah apa di telinga Marcella. Carleonduduk di kursi belakang Mercedes Benz-nya. Ia dan Alex sebenarnya malam ini hendak pergi menemui Hank sebentar dan membahas pembayaran penyelesaian kompensasi bagi korban kebakaran akibat rusaknya mesin penghangat ruangan milik Energica Technology. “Ada Birhen di café?” gumam Carleonberhenti melihat layar lebar di tablet pintar. “Apa kamu sedang bergosip dengan karyawan lain, hmm? Kenapa tertawa sendiri dari tadi?” Alex langsung berhenti tertawa dan ia berdehem. Menelan saliva satu kali, bersiap menatap wajah dingin dan tatap tajam bosnya, barulah ia menoleh ke belakang. “Maaf, Tuan. Hanya menertawakan teman-teman yang begitu heboh karena bertemu dengan Tuan Birhen di café dan bisa berfoto bersama.” “Teman-teman siapa? Karyawan kantor?” “Iya, teman-teman yang tadi saya bilang akan hangout di café. Ternyata, mereka bertemu Tuan Birhen di sana dan asyik mengambil selfie, lalu dipamerkan di grup chat kantor,” jelas Alex tersenyum kaku. Kening Carleon mengernyit, bertanya dengan suara berat dan dalam, “Bukankah tadi katamu Marcella dan Alexa yang sedang hangout di café? Apa mereka bertemu dengan Birhen?” Alex mengangguk, “Iya, betul. Alexa tidak ada di foto, entah dia di mana saat mereka berfoto. Hanya ada Marcella yang ikut foto, berdampingan dengan Tuan Birhen.” Kemudian, saat lampu merah dan kendaraan berhenti, Bobby pun penasaran. Ia yang berada di balik kemudi ingin ikut mengetahui kehebohan apa yang sedang dibicarakan. Dengan polosnya, bodyguard tersebut bergumam sambil terkekeh sendiri, “Eh, kenapa Tuan Birhen nampak berbisik sesuatu pada Marcella? Mereka terlihat sungguh akrab bu—” Belum selesai berbicara dan tuntas melihat foto-foto di layar ponsel Alex, mendadak benda pipih itu sudah tak lagi di hadapan. “Ke mana ponselku?” bingung sang asisten karena mendadak telepon genggamnya tak lagi ada di genggaman. Mengira jatuh, tetapi tidak ada di bawah sana. “Hmm,” desis Carleon mendadak, tidak terdengar ramah dan bersahabat. Satu asisten utama dan satu bodyguard menoleh perlahan ke belakang. Yes! Benar dugaan mereka! Ponsel itu sudah ada di genggaman Tuan Muda Mancini. Berpindah secepat kilat, siapa lagi yang bisa melakukannya kalau bukan sang Phoenix Api? “Di mana ini?” tanya Carleonmengembalikan ponsel tersebut pada Alex. Bibirnya cemberut, mata pun menyorot tajam seolah sedang menyampaikan pesan kematian. Melihat Birhen sedemikian dekat dengan Marcella di foto menjadikan hati lelaki itu bergejolak bak air mendidih, panas! “D-di … di … apa itu … uhm … apa namanya, ya? Bobby, apa nama café-nya?” gagap Alex mendadak lupa nama café yang didatangi rekan-rekan wanitanya. Bobby mendelik, lalu mengendikkan bahu. “Kenapa jadi tanya kepadaku!” engahnya tidak mau terkena imbas amukan sang Tuan Muda. Ia sudah cukup lama menjadi bagian Klan Naga Langit untuk tahu saat ini sang Phoenix Api sedang geram dan gusar. “Cepat jawab, di mana café itu!” bentak Carleon dari kursi belakang dengan engah tertahan. "Uhm … uh, ehm … orange? Bukan! Apple? No!” Alex makin gugup berusaha mengingat nama café yang diawali dengan nama buah. “Oh, saya tahu! Saya ingat sekarang! Nama café-nya Peaches Red!” Bukan hanya bibir Birhen yang sedemikian dekat dengan telinga Marcella, tetapi Carleon juga melihat tangan rekan kerja barunya itu melingkar rapat di pinggang sang asisten. Ini yang membuat dia marah. Kenapa harus marah? Marcella bukan siapa-siapanya! Akan tetapi, kenapa ia merasa sangat marah? Teramat marah hingga haluan berubah mendadak. “Beri tahu Hank kalau pertemuan malam ini batal.” Alex saling pandang dengan Bobby seiring kedaraan kembali melaju. “Batal kenapa, Tuan?” “Karena mendadak aku ingin minum kopi di café yang bernama Peaches Red itu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN