"Jadi elo ketemu Mahardhika?"
Alranita mengangguk menatap Moshaira. Keduanya duduk di kamar Moshaira padahal jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Erga dan Arga sudah terlelap di kamar mereka dan seharusnya keduanya pun tidur namun Alranita sama sekali tidak bisa memejamkan matanya begitu pun Moshaira yang mendengar ucapan sahabatnya di telepon tadi siang.
Alranita pun menceritakan apa yang sudah terjadi dengan tangan gemetar. Ingatan akan masa lalu pun menyeruak dalam kepala Alranita dan tanpa sadar rasa takut, benci, marah dan segala emosi yang wanita itu berusaha pendam selama ini mendadak meluap seakan menunjukan eksistensi diri mereka masing-masing dan Moshaira memperhatikan Alranita dengan seksama mendengarkan sekaligus memperhatikan ekspresi sahabatnya itu saat bercerita terlebih saat Alranita menceritakan ketakutannya kalau sampai Mahardhika tau tentang rahasia yang ia bawa pergi dari Semarang. Bagaimana kalau Mahardhika sampai tau kalau ia memiliki Erga dan Arga.
"Besok elo coba datangi Ibu Heryanti dan ajak bicara. Elo bilang aja elo mau mundur karena proyek ini terlalu besar. Elo bisa beralasan elo enggak mampu menangani proyek sebesar itu. Masa bodo dengan yang lainnya yang penting elo bisa menjauh dari Mahardhika dulu."
Alranita mengangguk dan wanita itu pun berencana melakukannya apa yang Moshaira katakan besok. Selesai berbicara dengan Moshaira, Alranita sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Jika biasanya ia memerlukan bantuan kopi untuk tetap terjaga kini Alranita tidak membutuhkannya lagi karena kehadiran Mahardhika Wiradhana berhasil mengacaukan dunianya yang mulai terasa tenang. Alranita terus memikirkan cara bagaimana mundur dari proyek antara perusahaan Pak Sudibyo dan Wiradhana.
"Saya merasa tidak yakin dengan proyek ini, Bu. Proyek ini sangat besar dan saya rasa tidak mampu. Ibu bisa mengalihkan proyek ini ke tim lain? Tim Carlo sepertinya bisa menangani ini."
Ibu Heryanti mengerutkan alisnya, "Apa sudah terjadi sesuatu? Kenapa kamu mau mundur dari proyek ini?"
Alranita menundukkan kepalanya menatap tangannya yang saling bertaut di atas pangkuannya, "Tidak terjadi apapun, Bu. Saya hanya berpikir ulang mengenai proyek ini. Proyek ini terlalu besar dan saya takut mengecewakan Ibu dan Pak Dibyo, Bu. Kemampuan saya tidak sehebat itu hingga Ibu dan Pak Dibyo membiarkan saya memegang proyek ini."
Terdengar helaan nafas Ibu Heryanti dan Alranita pun memejamkan matanya beberapa saat. Wanita itu berdoa dalam hati agar Ibu Heryanti mengabulkan permintaannya. "Kalau kamu tidak mau mengecewakan saya dan Pak Dibyo maka kerjakan proyek ini dengan baik. Kami percaya akan kemampuan kamu, Ran. Kamu sendiri harus percaya pada kemampuan kamu karena selama ini tidak ada klien yang tidak puas dengan hasil kerja kamu. Selain itu, ini proyek dengan Wiradhana, Ranita. Ini proyek besar dan keuntungaannya pun tidak main-main. Saya dan Pak Dibyo percaya dengan kemampuan kamu dan yang perlu kamu lakukan adalah melakukaan pekerjaan kamu seperti biasa."
Alranita mengangkat kepalanya spontan menatap Ibu Heryanti, "Tapi, Bu-"
"Lima puluh lima milyar adalah penalti yang harus Pak Dibyo tanggung kalau kamu mundur dari proyek ini Alranita." Ibu Heryanti menatap Alranita dengan wajah sangat-sangat serius, "Wiradhana dan Grafika Desain sudah sepakat dan menandatangani kontrak perjanjian kerja dan ada nama kamu di dalam kontrak perjanjian kerja itu. Kamu sebagai penanggung jawab proyek dari pihak Grafika Desain, Pak Ardhi dan Pak Angga sebagai penanggung jawab dari pihak Wiradhana."
Tubuh Alranita mendadak lemas. Punggung Alranita spontan menyender pada sandaran kursi tempatnya duduk. Jalannya buntu. Pandangan wanita itu mendadak kosong menatap kedua tangannya yang saling bertaut lesu diatas pangkuannya. Alranita sibuk dengan isi kepalanya sendiri saat Ibu Heryanti menerima panggilan telepon dari interkom diatas meja kerjanya.
"Saya paham kamu merasa terbebani dengan nilai proyek yang fantastis ini tapi percaya sama saya, kamu bisa melakukannya, Ran. Kamu pun tidak sendiri, saya dan Pak Dibyo tidak akan meninggalkan kamu mengerjakan proyek ini tanpa pengawasan. Kami akan tetap mengawasi kamu dan diluar dari pada itu kamu harus percaya dengan kemampuan kamu sendiri, Alranita." Ibu Heryanti menatap Alranita lekat-lekat berbarengan dengan Alranita yang mengangkat pandangannya menatap wanita paruh baya dihadapannya. "Kamu memiliki kemampuan yang bisa kamu banggakan dan kamu harus percaya pada kemampuan kamu sendiri."
Alranita menghela nafas panjang. Rencananya mundur gagal. Wanita itu harus memikirkan cara lain.
"Tadi saya diberi kabar kalau pihak Wiradhana ingin kembali bertemu siang ini. Lebih baik kamu bersiap dan ajak seluruh tim kamu untuk kita perkenalkan pada Pak Ardhi dan Pak Angga. Mungkin ada yang ingin mereka sampaikan lagi terkait proyek kerja sama kita ini."
Alranita menghela nafas pendek dan mengangguk, "Baik, Bu."
Ibu Heryanti dari kursinya menatap Alranita lekat-lekat, "Ini pertama kalinya kamu tidak percaya diri dalam mengerjakan sebuah proyek. Saya yakin ada sesuatu sudah terjadi tapi saya harap kamu bisa profesional, Ran."
Alranita kembali mengangguk dan meninggalkan ruang kerja atasannya. Dalam hati Alranita, ia mengutuki Mahardhika. Alranita yakin Mahardhika sudah mempersiapkan semuanya dengan baik sehingga ia tidak bisa kabur dari pria itu. Entah apa lagi permainan yang sedang dimainkan pria itu kali ini namun ia tidak mungkin menempatkan perusahaan tempatnya bekerja selama ini berada di posisi yang sulit karena lima puluh lima milyar bukanlah jumlah yang sedikit. Alranita berusaha kabur namun Mahardhika sepertinya tidak akan membiarkan semua menjadi mudah baginya. Mereka baru saja meeting kemarin dan untuk apa lagi meeting hari ini? Jelas ini hanya akal-akalan pria itu dan entah apa tujuan pria itu kali ini.
Alranita pun melakukan apa yang diperintahkan Ibu Heryanti dan wanita itu berangkat pergi bersama dengan anggota timnya sementara Ibu Heryanti pergi bersama dengan Pak Sudibyo. Mereka sepakat bertemu langsung di hotel kemarin tempat meeting bersama pihak Wiradhana dan meeting pun kembali dimulai sesuai dengan jadwal yang sudah disampaikan.
Dalam satu ruangan besar Alranita duduk berjejer dengan Giandra, Lusi dan Isna. lalu di sisi lain Alranita ada Ibu Heryanti yang bersebelahan dengan Pak Sudibyo dan di seberang mereka ada pihak Wiradhana yang duduk berjejer. Alranita duduk berhadapan dengan Mahardhika dan seperti kemarin Alranita menghindari menatap pria itu dan lebih fokus mencatat hal penting yang perlu ia catat.
"Saya tidak kerberatan tapi Ibu Alranita juga harus melakukan pengecekan berkala bersama dengan Saya. Saya akan meminta sekretaris saya menyamakan jadwal kami agar kami bisa melakukan pengecekan bersama sehingga kalau saya ada catatan bisa segera diketahui oleh Ibu Alranita sebagai penanggung jawab dari Grafika Desain." Mahardika menjeda kalimatnya sambil menatap satu per satu lawan bicaranya yang duduk berseberangan dengannya. "Untuk efektifitas waktu saya rasa Ibu Alranita nantinya bisa pergi ke Bali berbarengan dengan saya saja. Saya akan menggunakan pesawat pribadi milik Wiradhana. Kami akan berangkat pagi dan langsung pulang begitu urusan disana sudah selesai."
Pak Sudibyo menanggapi ucapan Mahardhika dan Alranita menahan diri untuk tidak memberikan respon apapun dengan meneratkan pegangannya pada pulpen yang ada di tangannya saat ini. Alranita sadar ini adalah bagian akal-akalan Mahardhika. Namun menolak pun ia tidak mampu karena wanita itu teringat pada penalti lima puluh lima milyar yang harus dihadapi Grafika Desain.
Alranita masuk ke dalam pembahasan seperlunya. Wanita itu hanya angkat bicara jika ia memang diperlukan menjawab dan selebihnya Alranita akan diam. Hingga meeting selesai Alranita memilih lebih banyak diam dan wanita itu jelas menolak saat Mahardhika mengajak untuk makan siang bersama. Alranita memberi alasan bahwa ia sudah memiliki janji walau tidak ada janji apapun yang ia miliki saat ini.
Alranita memilih pulang menaiki taksi online dan wanita itu berhenti di sebuah mini market dekat kantornya. Alranita memilih masuk ke dalam mini market itu dan membeli satu cup eskrim rasa coklat untuk memperbaiki moodnya yang hancur berantakan karena ulah satu orang yang Alranita pikir tidak akan pernah ia temui lagi.
Di sisi lain, Mahardhika duduk di dalam kursi penumpang bagian belakan mobilnya yang dikemudikan oleh Aksa. Mahardhika dengan mudah membaca rencana Alranita sehingga Mahardhika sudah lebih dulu meminta Aksa mengambil mobilnya dan mengikuti kepergian Alranita.
Rupanya wanita itu masih Alranita yang sama dengan Alranita yang ia ingat dalam ingatannya. Alranita yang memilih menenangkan diri dengan satu cup eskrim coklat untuk memperbaiki perasaannya. Ya, Mahardhika sadar kalau mood Alranita sedang kacau dan itu karena dirinya. Mahardhika pun mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan ke nomer ponsel Alranita yang ia dapat dari Ibu Heryanti.
Bisa kita bicara sebentar? Masih ada masa lalu yang perlu kita bicarakan?