11. Hati yang terluka

1120 Kata
Alranita duduk bersandar di kursi dan kepalanya mengadah menatap langit-langit ruangan tempatnya dan Mahardhika berada saat ini. Duduk berdua dengan Mahardhika setelah sekian lama membahas masa lalu nyatanya membuat dadaanya terasa sesak. Wanita itu tertawa getir berusaha menahan rasa sakit. "Bukankah membahas masa lalu hanya akan mengorek luka?" Mahardhika menatap Alranita, "Aku bersalah dan aku ingin minta maaf sama kamu, La. Selain itu aku ingin kamu tau alasan aku melakukan itu semua. Aku dibohongi Cassy dan Cassy sudah meninggal dua tahun yang lalu." Ucapan Mahardhika spontan membuat Alranita terdiam kaget menatap pria di hadapannya selama beberapa saat sebelum wanita itu malah membeo, "Kak... Cassy... Me...ninggal?" Mahardhika menganggukkan kepalanya perlahan dan pria itu menghela nafas panjang. "Cassy meninggal karena penyakit kanker. Cassy mengidap kanker paru-paru dan Cassy meninggal saat menjalani pengobatan kemoterapi."Mahardhika menghela nafas panjang, "Cassy sudah lama mengidap kanker paru dan aku mengetahuinya saat aku tidak sengaja melihat Cassy pingsan di kampus. Aku membawa Cassy ke rumah sakit dan disitu aku baru tau kalau Cassy mengidap kanker. Sejak itu aku dan Cassy dekat dan Cassy bercerita kalau kamu mengetahui penyakitnya dan selalu bersikap jahat padanya. Cassy mendapatkan lebam ditubuhnya karena ulah kamu dan ucapan Cassy dibenarkan oleh Cilla..." Alranita kaget dengan informasi yang baru ia dengar saat ini dari mulut Mahardhika. Alranita tidak mengetahui perihal penyakit yang Cassy derita namun Alranita memang melihat keluarganya begitu perhatian pada Cassy dan memang ada masa-masanya Cassy sakit. Alranita pikir kakak tirinya hanya sakit biasa bukannya memiliki sebuah penyakit kanker. Namun berita meninggalnya Cassy sendiri diluar dugaannya. Alranita memang memutus semua komunikasinya dengan masa lalunya termasuk keluarganya sendiri. Namun mengetahui berita itu pun tidak ada gunanya bagi Alranita. Alranita mendengarkan ucapan Mahardhika sambil berpikir. "Dan anda lebih percaya mereka dari pada saya? Begitu kelanjutan ceritanya kan?" Alranita memotong cerita Mahardhika dengan nada sinis namun mata Alranita sudah berkaca-kaca berbanding terbalik dengan mulutnya yang masih bisa mengeluarkan kata-kata sinis, hati Alranita saat ini sudah tersayat-sayat oleh belati tak kasat mata. Luka yang belum mengering itu kembali mendapatkan sebuah luka baru. "Apa yang anda lakukan membuat saya sadar kalau saya tidak bisa mempercayai orang lain. Orang yang saya percayai kalau dia mengenal diri saya dengan baik karena lama saling mengenal satu sama lain nyatanya dengan mudah percaya dengan orang lain yang baru datang dan masuk ke dalam cerita." Mahardhika pun menundukkan kepalanya, "Aku tau kalau aku salah makannya mas mencari kamu untuk menjelaskan semuanya dan minta maaf, La... Bertahun-tahun aku mencari kamu, La... Aku mencari kamu di Semarang, aku tanya sama temen-temen kamu tapi enggak ada yang tau keberadaan kamu. Aku hampir putus asa dan akhirnya aku terima keputusan papa untuk kelola hotel di Jakarta dan ternyata di Jakarta malah aku ketemu sama kamu. Saat Cassy meninggal aku membaca chat di ponsel Cassy disana aku akhirnya tau semuanya. Cassy berbohong soal kamu." Alranita tertawa miris, "Bahkan anda percaya karena isi chat. Anda mengenal saya sejak saya kecil lalu anda dengan mudahnya percaya pada orang lain tanpa bertanya pada saya mengenai kebenaran informasi yang anda dapatkan dan dengan seenaknya anda menyakiti saya?" Mahardhika pun menundukkan kepalanya, "Mas minta maaf, La... Mas-" "Apa permintaan maaf anda akan merubah kenyataan yang sudah terjadi?" Alranita kembali memotong ucapan Mahardhika sambil menatap pria itu. Alranita tersenyum getir. "Saya tidak tau harus merespon apa karena memaafkan jelas bukan hal yang bisa saya lakukan. Anda sudah menyebutkan sendiri kesalahan anda di masa lalu dan efeknya sangat luar biasa dalam hidup saya. Setelah kekacauan yang anda buat lalu sekarang anda datang pada saya untuk meminta maaf. Anda melakukan ini karena anda ingin hidup tenang tanpa bayang-bayang rasa bersalah, kan?" "La, Mas pengen kita-" "Enggak ada kita..." Alranita menjeda kalimatnya dan memejamkan matanya beberapa saat karena rasa sakit yang luar biasa menghantam dirinya. "Ternyata membahas masa lalu memang enggak ada gunanya selain rasa sakit. Saya harap ini terakhir kalinya kita membahas soal masa lalu dan setelah ini mari bersikap seperti orang asing." Alranita hendak berdiri dari tempat duduknya namun Mahardhika menahannya dengan mengenggam tangannya dan membuat tubuh Alranita membeku. "Duduk, Mas belum selesai." "Lepas." Alranita sedari tadi berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis. Alranita tidak ingin terlihat lemah walau rasa sakit sudah menggulung dirinya. Alranita menatap Mahardhika dengan tatapan kebenciannya, "Semua sudah selesai. Tidak ada lagi pembahasan mengenai masa lalu dan bersikaplah seperti orang asing." Mahardhika melepaskan tangannya dari tangan Alranita sambil menggelengkan kepalanya dengan tegas, "Mas enggak bisa." Mahardhika kini berubah, "Mas mencari kamu dengan tujuan jelas dan tujuan Mas bukan hanya ingin meminta maaf sama kamu dan menjelaskan semuanya sama kamu tapi Mas pengen kita balik seperti dulu." Alranita mengerutkan alisnya mendengar ucapan terakhir Mahardhika. "Hari dimana kamu melihat Mas dan Cassy di apartemen-" Alranita mengangkat kedua tangannya memberi isyarat untuk berhenti. Kepala Alranita mendadak berdengung. Kilasan masa lalu kembali masuk ke dalam kepala Alranita dan perutnya mendadak bergejolak. Alranita berdiri dari kursinya dan wanita itu pergi mencari toilet sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Alranita muntah-muntah di dalam toilet dan Mahardhika yang berlari mengikuti Alranita pun berdiri di depan toilet dengan wajah pucat. Pria itu sadar apa alasan Alranita seperti ini. Tubuh pria itu yang biasanya berdiri tegap kini terkulai lesu. Tubuh pria itu bersender pada tembok yang ada di belakangnya dan memandangi pintu toilet tempat Alranita berada dengan tatapan sendu. Sedalam apa luka yang sudah ia berikan pada wanita itu hingga membahas perbuatannya di masa lalu saja bisa menimbulkan efek sehebat ini? Mahardika menunggu dan ketika Alranita keluar dari dalam toilet dengan wajah yang pucat, rasa bersalah yang Mahardhika rasakan semakin berlipat-lipat. Alranita berjalan kembali ke arah ruangan tempatnya dan Mahardhika tadi duduk untuk mengambil tasnya. Alranita memutuskan untuk pulang. Ia sudah tidak sanggup membahas masa lalu. Alranita memasuki ruangan, mengambil tasnya dan ketika memutar tubuhnya hendak pergi, Tubuh Alranita mematung. Mahardhika berlutut tidak jauh darinya dengan wajah bersalah. Mata pria itu sudah berkaca-kaca. "Ampuni, Mas Dhika, La. Mas Dhika bersalah. Mas Dhika udah sadar kalau Mas menyakiti orang yang salah. Mas Dhika cintanya sama kamu. Mas Dhika cuma kasihan sama Cassy. Tolong kasih kesempatan dan kepercayaan kamu sama Mas Dhika sekali lagi. Mas Dhika mohon, La. Kembali jadi Alanya Mas Dhika yang dulu." Alranita terdiam beberapa saat mendengar ucapan pria itu,"Masa lalu mengajarkan saya untuk tidak mudah percaya dengan orang lain karena di masa lalu saya mempercayai satu orang. Orang yang saya percaya itu malah menghancurkan saya dengan kejam. Jadi apa yang anda minta barusan jelas tidak bisa saya berikan karena saya tidak mudah mempercayai orang lain." Alranita mengeraskan hatinya, "Tidak ada gunanya juga meminta maaf karena saya tidak bisa memberikan maaf karena maaf tidak akan bisa merubah apa yang sudah terjadi di masa lalu." Alranita melangkah dari tempatnya berdiri berniat meninggalkan Mahardika yang masih berlutut namun baru dua langkah, Alranita kembali menghentikan langkahnya. "Mas enggak akan menyerah, La..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN