12. Tekad yang bulat

1305 Kata
Mahardhika berdiri dan duduk di kursi tempatnya duduk tadi dengan wajah putus asa. Pria itu paham dengan apa yang Alranita rasakan tapi ia sendiri tidak mau menyerah karena Mahardhika tidak bisa menahan diri untuk berlari ke arah Alranita setelah pria itu kembali menemukan wanita yang ia cintai. Ya, Mahardhika mencintai Alranita dan pria itu menyadari perasaannya setelah ia kehilangan Alranita namun Mahardhika terjebak oleh situasi dan kondisinya di masa lalu sehingga ketika Cassy meninggal, Mahardhika baru mendapatkan kebebasannya. Mahardhika tau ia pria yang egois. Ia ingin mendapatkan kembali Alranitanya. Kehilangan membuat Mahardhika sadar kalau ia sudah melakukan sebuah kesalahan dan kepergian Alranita membuat separuh jiwanya seakan mati. Mahardhika mengakui bahwa ia melakukan kesalahan besar namun Mahardhika berharap Alranita mau mendengarkan penjelasannya dan memaklumi kesalahannya. Mahardhika dibohongi dan sebenarnya ia tidak bermaksud menyakiti Alranita. Mahardhika mengikuti keinginan Cassy agar Alranita bisa berubah kembali menjadi Alranita yang ia kenal sejak kecil namun apa yang ia dapati diluar dugaannya. Mahardhika kecewa dan pria itu tenggelam dalam rencana Cassy dan akhirnya Mahardhika ikut menghancurkan Cassy. Kini mata Mahardhika sudah terbuka lebar. Ponsel Cassy yang ada ditangannya adalah sebuah bukti yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Mama dan adik Cassy berpikir ponsel Cassy hilang saat Cassy jatuh pingsan sebelum wanita itu menjalani rawat inap intensif namun sesungguhnya ponsel Cassy berada ditangan Mahardhika dan dari situ semua terkuak. Mahardhika bertekad untuk mencari Alranita dan memperbaiki semuanya. Ia harus menjelaskan semuanya dan meminta maaf serta meminta satu kesempatan. Mahardhika mencintai Alranita bukan hanya karena permintaan Cassy tapi karena Mahardhika memang memiliki perasaan itu untuk Alranita sejak lama maka dari itu Mahardhika tidak menolak saat Cassy memintanya untuk menjadi kekasih Alranita. Mahardhika sudah tau kalau jalannya tidak mudah untuk mendapatkan maaf dari Alranita namun baru beberapa hari mendapat penolakan Alranita, Mahardhika merasa dunianya begitu gelap. Pria itu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Otaknya memutar kejadian beberapa tahun silam saat Alranita menyaksikan apa yang ia dan Cassy lakukan di apartemen. Mata penuh luka itu tidak bisa hilang dari ingatan Mahardhika dan semakin diingat, Mahardhika semakin merasa sesak. "Maaf, Pak Ardhi. Ibu Alranita tidak mau saya antar. Beliau mengabaikan saya dan pergi menggunakan taksi tapi saya sudah mencatat nomer taksinya sehingga kita bisa mengecek tujuan akhir Ibu Alranita nanti." Mahardhika hanya mengangguk pelan dan memberi isyarat pada Azka untuk pergi meninggalkannya. Mahardhika menatap makanan yang ia pesan. Makanan itu sampai tidak lama setelah Alranita meninggalkan ruangan tempat mereka berbicara. Mahardhika padahal memesan ramen. Alranita dan dirinya memiliki satu makanan favorite yang sama. Mereka berdua suka ramen dan Mahardhika tadinya ingin mengulang kembali kebiasaan mereka makan ramen bersama namun niatnya itu belum bisa terlaksana karena Alranita sudah pergi lebih dulu sebelum makanan yang ia pesan tiba. *** Alranita baru sampai di kantornya. Alranita pulang menaiki taksi yang kebetulan berhenti di depan restoran dan menurunkan penumpang yang hendak ke restoran tempatnya berada tadi. Alranita memilih mengabaikan ucapan Mahardhika dan wanita itu melangkah meninggalkan ruangan begitu saja dan mengabaikan pria berpakaian formal yang mengemudikan mobil yang ia tumpangi bersama dengan Mahardhika tadi padahal pria itu menawarkan tumpangan padanya. Alranita berusaha bekerja seperti biasa dan pulang ke apartemen dengan segera untuk bertemu dengan kedua buah hatinya. Sama seperti orang tua kebanyakan, Bagi Alranita kedua buah hatinya adalah segalanya. Dalam kondisi dan situasi apapun Alranita akan selalu merasa semua baik-baik saja saat Alranita berada di pelukan kedua tangan kecil yang selalu memeluknya erat. Senyum Erga dan Arga seakan memberi semangat dan keyakinan bahwa semua akan berlalu dengan baik. "Mama, Aunty Mo, besok habis bagi raport kita jadi pergi ke Dufan, kan?" Arga bertanya dengan wajah penuh harap menatap kedua wanita dewasa yang duduk bersama dengannya di meja makan malam ini. Alranita dan Moshaira pun bertukar pandang dan keduanya mengangguk tegas dengan senyum mengembang pada Arga. "Jadi dong. Mama sama Aunty Mo sudah cuti jadi besok kita berempat bisa seharian main di Dufan." Sorak-sorai kebahagiaan Erga dan Arga terdengar nyaring. Keduanya bahkan tidak ingin tidur terlambat malam ini agar besok mereka tidak bangun kesiangan sehingga mereka bisa datang ke sekolah pagi-pagi dan setelah urusan di sekolah selesai mereka bisa pergi ke Dufan dengan segera. Alranita pun masuk ke kamar Moshaira setelah wanita itu selesai memastikan Erga dan Arga sudah tertidur lelap. Seperti biasa Alranita akan ke kamar sahabatnya dan keduanya akan bercerita mengenai kehidupan mereka berdua dan kali ini Alranita yang lebih banyak bercerita karena kemunculan Mahardhika dalam hidup Alranita. "Gue sesungguhnya bingung mau komentar apa. Apa yang Cassy alami mungkin memang sudah takdirnya tapi gue sungguh menyangkan pilihan hidupnya dengan kondisinya itu." Moshaira berkomentar setelah mendengar cerita sahabatnya tentang pertemuannya dengan Mahardhika tadi. Alranita menceritakan semuanya tanpa ada yang ia kurangi atau ia lebihkan. Alranita sendiri menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan sahabatnya karena jika ia berada di posisi Cassy pilihannya jelas berbeda dengan Cassy. Kalau Alranita tau hidupnya tidak akan lama lagi maka Alranita akan memilih berbuat baik agar ia bisa memiliki tabungan perbuatan baik yang bisa membawanya ke surga nanti. Namun tidak dipungkiri ada orang-orang yang memang memilih memaksimalkan hidupnya mendapatkan apapun yang ia inginkan baik dengan cara yang benar atau pun cara yang salah karena tau hidupnya tidak akan lama lagi dan ia ingin menikmati kebahagiaan dengan mendapatkan apapun yang ia inginkan dan Alranita sadar kalau ia tidak bisa memaksa orang memiliki pemikiran yang sama dengannya. "Jadi apa yang mau lo lakuin sekarang, Ran?" Pertanyaan Moshaira membuat Alranita tersadar dari lamunannya dan wanita itu menggendikkan bahunya. "Gue sendiri bingung tapi yang pasti gue mesti menghindari Mahardhika. Dia enggak boleh tau soal Erga dan Arga. Dia bilang dia mau minta maaf tapi gue sama sekali enggak bisa percaya dia, Mo. Di masa lalu aja dia dengan mudahnya bohongin gue dan elo tau sendiri akhirnya gimana dan siapa yang bisa jamin dia enggak melakukan hal yang sama? Jadi gue bertekad untuk menyembunyikan Erga dan Arga dari dia." Alranita menyenderkan punggungnya ke kepala tempat tidur Moshaira dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang, "Erga dan Arga dari dulu taunya papanya sudah meninggal jadi gue akan membiarkan semua seperti itu adanya. Kalau nanti Mahardhika kembali melakukan sesuatu yang bikin gue terluka, gue yakin kali ini gue bisa lewatin dengan baik selama ada Erga, Arga dan elo tapi kalau sampai Mahardhika menyakiti Erga dan Arga, gue rasa dunia gue bisa hancur, Mo." Moshaira mengangguk paham. Tidak ada orang tua normal yang akan baik-baik saja saat anaknya disakiti orang lain dan walau Moshaira belum memiliki seorang anak namun Moshaira turut membesarkan Erga dan Arga sedari keduanya baru lahir. Bagi Moshaira Erga dan Arga pun anaknya walau tidak lahir dari kandungannya sendiri dan Moshaira mengerti maksud ucapan Alranita. "Ran... Setelah gue pikir-pikir, apa enggak lebih baik elo dengerin cerita dia dulu?" Moshaira berucap dengan nada ragu namun detik berikutnya Moshaira memasang wajah serius, "Gue tau dengerin cerita dia seperti ngorek luka elo yang masih basa itu tapi banyak hal yang sudah terjadi selama beberapa tahun belakangan dan elo sama sekali enggak tau karena elo memutus semua bentuk komunikasi elo sama bokap lo. Bahkan elo pake nama gue buat rekening elo supaya enggak ada yang bisa cek elo dari aktivitas keuangan elo-" "Tapi, Mo-" "Gue tau. Omongan Mahardhika pun belum tentu bisa dipercaya karena dia pernah bohongin elo. Gue yakin elo mau ngomong itu tapi enggak ada salahnya dengerin dia ngomong sampe selesai kan, Ran? Pasti udah ada banyak hal yang terjadi di Semarang dan elo bisa tau dari cerita dia." Alranita menggelengkan kepalanya tegas, "Menurut gue, saran elo bikin gue malah akan sering berinteraksi sama dia karena itu akan jadi alasan dia untuk sering-sering berinteraksi sama gue sedangkan gue bertekad untuk menjauhi dia. Gue pengen dia jauh dari Erga, Arga dan gue." Moshaira menghela nafas pendek dan mengangguk pelan, "Ya, sudah. Kalo elo udah mutusin begitu, go ahead. Gue kasih saran kayak tadi karena gue penasaran apa lagi yang sudah terjadi sama orang-orang yang udah ngejahatin elo di sana. Well, karma does exist, Sist."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN