“Ran, ada sebuah proyek resort di Bali dan Pak Dibyo sudah memutuskan kamu dan tim kamu yang akan memegang proyek ini. Saya sendiri pun lebih percaya kamu dan tim kamu memegang proyek ini dibandingkan Adara dan timnya.”
Alranita menatap Ibu Heryanti dengan wajah serius, “Kenapa harus saya, bu? Memangnya ada apa dengan proyek resort ini, Bu?”
“Proyek ini adalah proyek besar, Alranita. Pak Dibyo pun menunjukan hasil kerja kamu dan tim kamu pada klien kita dan mereka menyukai hasil kerja kamu. Selain itu kita cukup beruntung bisa terpilih untung mengerjakan proyek ini jadi kita tidak boleh gagal apa lagi melewatkannya karena ini bisa memberikan keuntungan besar bagi perusahaan kita.”
Alranita menghela nafas panjang sambil menatap atasannya dengan wajah bimbang. Alranita bersyukur ia diterima bekerja menjadi seorang desain interior yang memiliki kemampuan yang diakui oleh atasannya, Ibu Heryanti dan tidak jarang Alranita menangani beberapa proyek besar.
Alranita bersyukur karena ia masih sempat menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah. Alranita bersyukur karena ia memiliki Moshaira dan Alranita bersyukur karena pilihannya mempertahankan Erga dan Arga nyatanya membawa kebahagiaan dan memberi semangat hidup yang baru untuknya.
Alranita bersyukur karena ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan ijazah yang ia miliki ditengah-tengah persaingan dunia kerja di kota besar yang Alranita tau tidaklah mudah. Alranita bersyukur karena mungkin jalannya sedikit dipermudah untuk menjadi obat penawar atas kejadian menyakitkan yang ia alami.
Alranita perlu waktu yang cukup panjang untuk belajar mensyukuri apa yang ada dalam hidupnya setelah banyak hal pahit yang ia terima namun seiring berjalannya waktu dan seiring bertambahnya usia, Alranita akhirnya sadar bahwa dibalik hal pahit yang ia rasakan masih ada hal-hal baik yang luput dari pandangannya dan bisa ia syukuri.
“Tapi, Bu. Lokasi resortnya di Bali… Saya memiliki Erga dan Arga dan dengan kondisi saya-“
“Kamu tidak perlu stay disana. Saya sangat paham dengan kondisi kamu, Ranita. Kamu ini single parent maka dari itu saya sudah memutuskan kalau saya yang akan mengutus Giandra ke Bali dan Giandra yang akan stay di Bali. Kamu tetap menjadi penanggungjawab dan kamu bisa memantau proyek itu dari Jakarta tapi sesekali kamu harus tetap kesana langsung. Kamu bisa menggunakan penerbangan paling pagi dan pulang dengan penerbangan sore, Ran.”
Alranita meringis, “Apa tidak besar biaya overheadnya kalau begitu, Bu?”
Bu Heryanti tertawa, “Saya tidak akan menawarkannya pada kamu kalau biayanya diluar kemampuan perusahaan, Ran.”
Alranita menghela nafas panjang dan akhirnya mengangguk. Alranita tidak memiliki alasan untuk menolak terlebih ini adalah bagian dari pekerjaannya. Sebagai seorang karyawan, Alranita sama seperti karyawan pada umumnya yang hanya bisa pasrah menerima pekerjaan yang memang sudah tertulis dalam list yang harus ia kerjakan sebagai tanggung jawabnya.
Bu Heryanti jelas tersenyum lebar melihat anggukan persetujuan Alranita. Wanita paruh baya itu langsung mengangkat gagang teleponnya dan meminta sekretarisnya mengaturkan jadwal meeting pertama dengan pemilik resort.
Alranita keluar dari ruangan atasannya dan duduk di meja kerjanya. Wanita itu memandangi layar laptop miliknya yang kini sedang menampilan desain interior proyek lain yang sedang ia kerjakan bersama dengan anggota timnya. Giandra, Isna dan Lusia adalah anak buah Alranita dan mereka bekerja sama menjadi satu tim dalam mengerjakan proyek-proyek yang diberikan oleh Bu Heryanti.
Alranita pun mengambil ponselnya dan memberi kabar pada ketiga anggota timnya bahwa mereka mendapatkan sebuah proyek baru di Bali yang menjadi tanggungjawab mereka. Alranita pun menyampaikan bahwa Ibu Heryanti sedang mengatur pertemuan dengan pemilik agar mereka bisa bertemu dan baru selesai mengirimkan pesan, interkom di meja kerja Alranita berbunyi.
“Alranita, kita akan bertemu dengan pemilik resort yang saya bicarakan sama kamu tadi. Mereka bisa bertemu siang ini dan kamu pergi dengan saya dan Pak Dibyo.”
Alranita menarik nafas panjang, “Baik, Bu.”
Panggilan diputus dari Bu Heryanti dan Alranita pun meletakan gagang interkomnya. Alranita yakin ini adalah proyek besar karena Pak Sudibyo sampai turun tangan ikut bersama dengannya dan Ibu Heryanti untuk bertemu dengan pemilik resort. Selama ini tidak ada klien yang tidak puas dengan hasil kerja Alranita dan timnya karena mereka bekerja bersungguh-sungguh menggunakan segala kemampuan mereka dan terus memperbaharui kemampuan mereka sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun menyadari bahwa ini bukan sekedar proyek biasa, Alranita pun sedikit gugup. Alranita berusaha mengalihkan perhatiannya dengan mempersiapkan barang-barang yang harus ia bawa dan saat Ibu Heryanti keluar dari ruangannya, Alranita pun spontan berdiri membawa barangnya dan mengikuti atasannya itu.
Alranita pergi bersama dengan Ibu Heryanti dan Bapak Sudibyo menggunakan mobil pribadi sang pemilik perusahaan. Supir pribadi Bapak Sudibyo membawa mereka memasuki satu kawasan hotel di area pusat kota.
“Hotel ini juga milik klien kita. Klien kita ini pengusaha yang berasal dari Semarang. Perusahaan mereka cukup besar karena mereka memiliki berbagai lini usaha dan kita beruntung bisa menjadi rekan kerja mereka. Salah satu lini usaha mereka bergerak dibidang perhotelan dan pariwisata dan mereka ingin membuka resort baru di Bali. Resort itu yang akan kamu dan tim kamu kerjakan, Alranita.” Pak Sudibyo menjelaskan disaat mobil yang mereka tumpangi memasuki area hotel.
Alranita jelas memperhatikan setiap sudut kawasan hotel tempatnya berada saat ini dan merekam nama hotel tempatnya berada saat ini dalam ingatannya. Alranita turun dari dalam mobil ketika Pak Sudibyo dan Ibu Heryanti turun dari mobil yang mereka tumpangi. Pak Sudibyo dan Ibu Heryanti berjalan bersisian sementara Alranita seperti biasanya berjalan di belakang kedua petinggi itu.
“Sudah siap?”
Pertanyaan itu spontan membuat Alranita menoleh ke arah Ibu Heryanti yang sudah berdiri di sebelahnya saat ini. Alranita dengan tegas menangguk. Alranita mengikuti atasannya memasuki ruangan meeting yang cukup megah dan di dalamnya sudah terdapat beberapa orang dan sebuat setting meja meeting berbentuk u-shape mengarah ke sebuah layar besar.
“Pak Ardhi dan Pak Angga akan segera datang.”
Pak Sudibyo bersalaman dengan orang yang tidak Alranita kenal dan mengangguki ucapan pria yang menyambut mereka itu. Alranita pun bursalaman dengan orang yang sama lalu duduk tepat di sebelah Ibu Heryanti. Alranita mulai mengeluarkan laptopnya dan mengeluarkan presentasi yang biasa ia gunakan saat bertemu dengan klien baru.
Alranita fokus mempersiapkan materi yang akan dia bawakan dengan melakukan pengecekan ulang ketika pintu ruangan terbuka dan terdengar langkah kaki memasuki ruangan membuat Alranita secara spontan berdiri ketika ujung matanya melihat Ibu Heryanti berdiri dari posisi duduknya.
“Selamat siang.”
Alranita mengangkat kepalanya dan saat itulah matanya terpaku pada sepasang mata kelam yang juga sedang menatapnya. Tubuh Alranita seakan kehilangan kekuatan. Tulang-tulangnya seakan tidak mampu menopang tubuhnya saat ini dan ia hampir saja terjatuh kalau ia tidak berpegangan pada meja yang ada di depannya.
Perlahan tapi pasti kepala Alranita berdenyut. Pertemuan ini tidak pernah terpikirkan oleh wanita itu dan di antara ribuan orang di dunia ini, kenapa ia harus kembali bertemu dengan orang ini.