Langit kota Semarang pagi ini begitu cerah namun berbanding terbalik dengan suasana hati seorang wanita yang kini berdiri di depan pintu keberangkatan dengan memegang erat koper miliknya. Alranita Aryadwipa dengan langkah perlahan tapi pasti akhirnya memasuki di pintu keberangkatan bandara. Wanita berusia dua puluh dua tahun itu berwajah pucat dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai itu, masuk dengan membawa satu koper berisi barang-barang pribadinya mengabaikan kebisingan bandara saat itu.
Alranita pun masuk ke dalam bandara menuju ruang tunggu keberangkatan. Ia duduk sambil memandangi tiket pesawat dan kartu identitas yang sudah ada ditangannya saat ini dengan tatapan kosong.
Isi kepala Alranita tidak kalah berisik dengan suara di sekelilingnya hingga suara panggilan pesawat tujuannya mengalihkan perhatian Alranita dari tiket yang berada digenggamannya menuju antrian orang yang memiliki tujuan yang sama dengannya. Antrian semakin panjang dan semakin memperjelas bahwa sudah saatnya ia pun ikut mengantri dan meninggalkan tempat duduknya saat ini.
Alranita berusaha menanamkan dalam otaknya ketika ia berdiri dari kursi tempatnya duduk saat ini dan melangkah masuk ke dalam pesawat yang akan membawanya pergi, Memasuki pesawat nanti, namanya bukan Alranita Aryadwipa melainkan Alranita Sasmita. Ia bukan lagi si gadis bodoh yang mudah ditipu lagi dan ia tidak ada hubungannya dengan siapapun dari kota ini termasuk keluarganya sendiri. Alranita akan pergi menjauh dari orang-orang yang hanya memberi rasa sakit padanya.
Kalau orang bilang cinta pertama biasanya akan menjadi sebuah kisah manis yang banyak dikenang mungkin pada kasus Alranita ini tidak berlaku. Kisah cinta pertamanya kandas karena kenaifan dan kebodohannya. Alranita tidak mau lagi mempercayai cinta karena ia pernah mempercayai cinta dan cinta membawa Alranita pada sebuah kekecewaan.
Alranita tau kalau seharusnya ia tidak boleh menyerah secepat ini. Alranita tidak boleh menutup hati karena disakiti oleh seseorang karena belum tentu orang lain akan melakukan hal yang sama namun Alranita disakiti begitu hebat dengan orang-orang yang sangat ia percaya. Dunia Alranita hancur luluh lantak dan pergi menjauh adalah satu-satunya jalan.
Pergi bukan berarti kalah. Alranita hanya sedang menjaga dirinya sendiri. Ia tidak mau hancur lebih banyak lagi karena ulah setan-setan yang dengan senang hati menari diatas keterpurukannya. Alranita bukan pengecut dan dia sedang berusaha menyelamatkan dirinya. Atas dasar pemikiran ini Alranita berdiri dari kursi tempatnya duduk dan dengan langkah berani wanita itu maju menuju antrian masuk ke dalam pesawat.
Pesawat ini yang akan membawa Alranita meninggalkan rasa sakitnya dan pesawat ini juga yang akan membawanya menuju kota baru yang akan membawa kebahagiaan baru untuknya. Alranita perlahan melangkah satu per satu semakin dekat dan langkahnya perlahan tapi pasti memasuki pesawat dan duduk di kursi yang memang akan ia tempati.
Cinta pertama memang tidak selalu indah dan berhasil dan kini Alranita paham akan ungkapan itu. Alranita akhirnya melepaskan semuanya. Alranita merelakannya. Alranita sadar bahwa perasaan tidak bisa dipaksakan dan Alranita sadar bahwa hidupnya harus tetap terus berjalan dan jika wanita itu ingin jalannya maju maka ia harus pergi menjauh dari kota ini.
Satu jam lebih sepuluh menit ditempuh Alranita dari kota Semarang menuju kota Jakarta. Jakarta menjadi tempat tujuan Alranita karena ia memiliki Moshaira di Jakarta. Teman dekatnya semasa sekolah hingga saat ini dan dengan kondisinya saat ini, wanita itu mendatangi Moshaira dan meminta bantuan teman dekatnya itu.
Ran, gue tunggu di Solaria ya. Lokasinya dekat pintu keluar kedatangan. Gue laper banget belum sarapan jadi gue mampir kesini dulu.
Alranita membaca pesan yang masuk dari Moshaira sambil menunggu kopernya. Alranita melangkahkan kakinya menjauh dari conveyor bagasi ketika Alranita sudah mendapatkan koper miliknya. Alranita terus melangkah maju ke depan dengan langkah pasti mencari keberadaan Moshaira.
Moshaira melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar saat menyadari kehadiran sosok Alranita. Alranita duduk dihadapan temannya yang kini sedang menikmati nasi goreng yang ada dihadapannya saat ini. Tidak ada pembicaraan basa-basi yang terjadi. Alranita hanya diam dan Moshaira pun memilih tetap diam. Keduanya diselimuti keheningan hingga akhirnya Moshaira tiba-tiba menghentikan kegiatannya, "Gue mendadak kenyang. Kita pulang aja sekarang."
Alranita hanya mengangguk dan keduanya berdiri.
"Gue bawain koper lo sini. Gue abis makan dan gue perlu melakukan sesuatu."
Alranita tidak menolak keinginan Moshaira dan keduanya berjalan menuju mobil milik Moshaira. Moshaira dan Alranita sama-sama seorang anak tunggal dengan nasib berbeda. Alranita sudah kehilangan Mamanya karena sebuah kecelakaan saat mamanya mengemudi menjemput Kilara ke sekolah dan Papa Alranita sudah menikah lagi dengan wanita lain yang sudah memiliki dua orang anak perempuan yang usianya lebih tua dari Alranita. Sementara Moshaira masih memiliki orang tua namun ia tidak tinggal bersama dengan orang tuanya karena kedua orang tuanya bercerai, memiliki keluarga baru dan sibuk dengan keluarga baru mereka masing-masing.
Moshaira membuka mobilnya, memasukan koper sahabatnya ke dalam mobil dan masuk ke dalam mobil sementara Alranita langsung duduk di kursi penumpang bagian depan. Moshaira menyalakan mesin mobilnya namun alih-alih mengemudikan mobilnya Moshaira malah merubah posisi tubuhnya dan menarik Alranita masuk ke dalam pelukannya. Moshaira mengerti kalau sedari tadi sahabatnya berusaha keras untuk tidak menangis saat bertemu dengannya. Moshaira pun akhirnya ikut menangis mendengar tangisan pilu Alranita.
Dalam pelukan sahabatnya Alranita menumpahkan segala hal yang ia rasakan dalam bentuk tangisan. Tangisan yang bagi Moshaira begitu pilu dan menyayat hati. Moshaira ikut menangis dalam diam sambil menepuk perlahan punggung Alranita yang bergetar.
"Elo enggak sendirian, Ran... Elo punya gue... Lo boleh nangis sepuasnya sekarang tapi inget setelah ini elo enggak boleh nangis lagi. Elo enggak sendiri karena elo punya gue…"
Alranita mengerti kalau Moshaira berusaha menenangkannya. Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar dari matanya. Namun air matanya tidak mau berhenti keluar ketika ingatan hal menyakitkan yang ia alami terus berputar dalam kepalanya dan jelas sungguh terasa menyakitkan. Alranita tidak pernah berpikir bahwa ia akan mengalami hal seperti ini dan tersakiti sedalam ini.
Alranita adalah manusia yang jelas memiliki hati dan perasaan namun dengan teganya mereka memperlakukan Alranita seperti manusia bodoh dan melukai perasaan wanita itu. Alranita jelas hancur ketika rahasia terbongkar dan kini kebodohan Alranita bahkan berbuah. Ada janin yang tumbuh di dalam rahiim wanita malang itu dan jelas janin itu tidak bersalah. Alranita berusaha menghentikan tangisannya dan melepaskan diri dari pelukan Moshaira. Alranita mengusap air mata yang membasahi pipinya dan menatap sahabatnya dengan tatapan putus asa. Alranita ingin jujur mengenai kondisinya.
"Mo... Gue… Gue hamil... Gue mesti gimana, Mo…"