"Paman ..." Ada ludah yang Nara telan susah. Dia duduk mengerut menyudut pada jendela mobil, sedang di depannya Benedic nampak kian menipis jarak. "Lihat, Nara." Lelaki itu bertutur syahdu. "Lihat wajahku." Kerjapan mata Naya menuntunnya pada apa yang Benedic kata. Dia menatap lelaki itu, bermata sipit dan berkantung akibat waktu tidur yang irit, hidung mancung menggantung berdekatan dengan bibir merah tipis, kalau senyum manis, kalau bicara seringnya buat meringis. "Apa yang kau dapatkan?" tanya Ben lagi, membuat kening Nara berkerut tak paham. Ben mengimbuhi, "Dari wajahku ini ... apa yang kau dapatkan?" "Ti-tidak ada." Nara menggeleng pelan, sedang mata masih fokus menelisik maksud Paman Ben melalui tatapan. "Aku tidak tahu ... Paman bicara soal apa?" Benedic mendengkus. Dia pun