Bab 1. Bertunangan
"Kamu yakin akan bertunangan dengan Gilang?” Sara bertanya ke Mia dengan nada sinis. Dia tidak setuju dengan keputusan sahabatnya yang berencana akan bertunangan dengan kekasihnya.
“Ya.” Mia menjawab mantap sambil memperbaiki lipstik di bibirnya di depan kaca cermin di toilet.
Sara mendekap kedua tangan di d**a, bersender di sisi meja wastafel, memandang wajah cantik Mia.
“Aku tau kamu nggak setuju karena perselingkuhannya dengan Rita. Gilang sudah meminta maaf kepadaku, dan aku yang sudah memaafkannya,” ujar Mia sambil merapikan peralatan rias wajahnya ke dalam tas kecil dan dia lalu memastikan penampilannya di depan cermin, bersiap-siap kembali bekerja.
“Selingkuh itu penyakit yang sulit disembuhkan, Mia,” ujar Sara menasihati.
Mia menghembuskan napas pendek. “Aku … mencintainya, Sara.”
“Aku tau, dan aku pun nggak meragukan itu. Tapi … ck, kamu sebaiknya berpikir ulang … menikah dengannya—"
“Aku dan dia sudah lama pacaran, dan aku nggak mau berlama-lama lagi. Dia sudah meminta maaf.”
“Kamu itu cantik dan pintar, Mia. Ada banyak pria yang menginginkanmu dan mereka yang lebih baik daripada Gilang.”
“Yang lebih baik memang sangat banyak, tapi Gilang yang membuatku jatuh cinta.”
“Ah.” Sara menyerah, tidak mau lagi berdebat. Mia dan Gilang sudah hampir empat tahun menjalin hubungan asmara, dan tidak ada drama besar di antara mereka selama itu. Hanya saja, satu bulan lalu, Mia mendapatkan Gilang yang berbohong, mengaku sedang berada di rumahnya, ternyata kekasihnya itu sedang berada di rumah sahabatnya yang lain, Rita. Mia pergi ke rumah Rita karena ingin mengambil barang titipan berupa pakaian baru, dan dia tiba-tiba saja bertemu Gilang di sana, yang baru saja ke luar dari kamar mandi kamar Rita.
Pertengkaran pun tidak terelakkan, dan Gilang yang akhirnya meminta maaf, berjanji untuk tidak mengulang perbuatannya dan dia yang mengaku khilaf. Menunjukkan kesungguhannya, Gilang berniat bertunangan dengan Mia, dan menikah tahun depan. Dia akan pergi ke Canada dan bekerja di pertambangan di sana, dan dia yang mengajak Mia serta.
“Dia sudah menghubungi papanya, dan papanya yang bersedia ikut hadir di acara pertunangan kami,” ujar Mia dengan senyum hangatnya. Dia masih mengingat wajah penyesalan Gilang saat meminta maaf, dan dia yang memaafkan.
“Bukankah papa dan mamanya sudah lama bercerai?” tanya Sara.
“Memang, tapi dia ingin acara pertunangan kami spesial, dengan menghadirkan papanya.”
“Oh, begitu.” Sara manggut-manggut, berpikir bahwa mungkin saja Gilang yang memang sungguh-sungguh ingin menikah dengan Mia dan dia yang tidak akan berulah lagi. “Tapi … kamu pernah bercerita kepadaku mengenai hubungan Gilang dan papanya yang kurang baik—”
“Ya, memang. Mereka yang tidak saling bertegur sapa sampai sekarang. Aku memberinya persyaratan, jika dia ingin bertunangan dan menikah denganku, dia yang harus lebih dulu memperbaiki hubungan dengan papanya.”
Sara manggut-manggut, kagum dengan sikap Mia.
“Awal yang tidak mudah, tapi akhirnya Gilang setuju, lagi pula dia cerita bahwa papanya sudah pindah dari Singapore dan sekarang bekerja di Jakarta.”
“Papanya sudah menikah lagi?” tanya Sara sebelum berpisah, dan dia yang bersiap-siap membuka pintu ruang kerjanya.
“Setahuku belum, dan aku pun tidak bertanya.”
Sara tersenyum dengan bibir miring.
“Ada apa, Sara?” tanya Mia, heran melihat ekspresi wajah Sara.
“Konon cerita, papa Gilang dikenal ganteng dan hot.” Sara memainkan mata genitnya, menggigit bibir dengan ekspresi wajah menggoda.
“Astaga, aku pikir apa. Aku saja belum pernah bertemu.”
“Aku juga hanya mendengar isu-isu dari teman teman perempuan Gilang, dan Rita yang juga bercerita kepadaku.”
Mia tertawa menggeleng, lalu mereka masuk ke dalam sekat ruang kerja masing-masing.
***
Sebagai putri satu-satunya dari pasangan pengusaha kaya raya di bidang bahan bangunan, Mia melangsungkan acara pertunangannya di aula hotel berbintang. Papanya mengundang banyak relasi bisnisnya, begitu pula dengan mamanya yang mengundang teman-temannya yang terdiri dari sosialita ternama. Pun Gilang, mamanya merupakan pengusaha wanita sukses di bidang fashion, papa sambungnya adalah pengusaha properti. Mia dan Gilang adalah pasangan yang sangat serasi, dengan latar belakang keluarga yang setara.
Mia sudah berdandan cantik, dan wajahnya yang tidak berhenti tersenyum.
“Duh, yang mau tunangan. Ah, nggak kerasa keponakan Tante sudah besar dan cantik,” puji Daria, kakak kandung mama Mia.
“Ah, Tante bisa saja deh.”
“Iya, kamu itu adalah keponakan Tante yang paling cantik di keluarga besar. Sepupu-sepupumu yang laki-laki mengincarmu, tapi kamu telah memiliki tambatan hati. Nggak mengapa, berpasangan dengan orang yang kita cinta itu memberikan kebahagiaan yang tak ternilai.”
Perasaan Mia membuncah bahagia mendengar ucapan tantenya, dia yang tidak sabar lagi mengarungi rumah tangga bersama pria yang sangat dia cinta.
“Acara sebentar lagi dimulai,” ujar seorang perempuan dari luar ruangan.
Mia terkesiap, jantungnya seketika berdebar. “Tante Daria, aku … aku mau ke toilet dulu.”
Sayangnya, Mia yang tetap harus ke luar ruangan, karena tidak ada toilet di dalam ruang hias. Mia ke luar seorang diri, berjalan terburu-buru menuju toilet di ujung koridor.
“Aaah.” Mia menghela lega saat sudah buang air kecil. Dia berdecak kecil, karena masih merasakan gugup, membayangkan semua mata tertuju ke arahnya tentu membuatnya gugup dan gelisah.
Mia sudah ke luar dari toilet.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melewati sebuah jendela besar di dinding yang terbuka, mendengar sayup-sayup suara laki-laki dan perempuan yang sedang beradu argumen.
Penasaran karena suara laki-laki adalah suara yang tidak asing di telinga, Mia mengulurkan kepalanya ke luar jendela, dan dia melihat Gilang yang berpakaian rapi tengah bertengkar dengan seorang perempuan yang berpakaian biasa, dan dia pun mengenalnya.
“Kamu jahat, Gilang. Kamu jahat. Ini alasan kamu menyuruhku menggugurkan kandungan, ha? Kamu janji akan menikahiku dan bukan menikahinya. Aku sudah berkorban untukmu!”
“Rita, dengarkan aku dulu. Aku dan dia hanya bertunangan, tenanglah.”
Gilang lalu memeluk perempuan itu erat-erat, dan perempuan itu menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya.
Mia terdiam membisu.
“Mia! Ayo, cepet. Buruan, aula sudah ramai,” seru Daria dan beberapa kerabat yang berpakaian rapi dan mewah juga sedang menunggunya.
Mia menggeleng sebentar sambil menahan kesedihan yang mendalam. Dan dia yang tetap meneruskan acara pertunangannya.
***
Sementara itu di aula, para tamu undangan sudah duduk rapi, menunggu pasangan yang akan bertunangan malam ini.
Tiba-tiba saja ada keriuhan kecil, saat Gilang dan keluarganya berjalan memasuki aula. Semua mata terkagum-kagum melihat pria empat puluhan tinggi yang berjalan di sisi Gilang.
“Papanya Gilang, Ra,” ujar Bertha, teman Sara, yang juga teman akrab Mia. Mereka duduk di bagian tengah sehingga bisa melihat seluruh rombongan keluarga yang terlibat.
"Oh, hmmm. Ya ampun, norak banget cewek-cewek di sana." Sara tersenyum sinis melihat gadis muda yang berbisik-bisik dengan mata yang tidak lepas dari tubuh tinggi atletis papa Gilang, ditambah rambut tergulung di belakang kepala, dan wajah dengan bulu-bulu halus tapi tampak sangat terawat.
"Haha, gile, ganteng ya. Betul kata Rita, haha, tapi dia kok malah kepincut sama Gilang," ujar Bertha, dia sendiri yang juga terkagum-kagum melihat papa Gilang.
"Ih, gimana sih?" decak Sara.
"Rita itu awalnya ngincar om Ihsan, tapi dia kesal nggak ada tanggapan, eh ... malah jadiin Gilang pelarian."
"Ha? Bisa begitu?" Sara terkesiap mendengar cerita Bertha tentang skandal Rita, dan dia yang semakin tidak mengerti.
Bersambung