Bab 8. Ragu Mia

1008 Kata
Sejak bertunangan, Mia tidak bersemangat saat dihubungi Gilang. Dia juga tidak tergerak ingin bertanya tentang kejadian di malam pertunangan, yakin tunangannya itu pasti berkilah, membela diri dengan kata-kata manisnya. Mia sudah hafal dengan sikap dan sifat Gilang dan sekarang dia sudah sangat muak, karena Gilang yang keterlaluan, masih bertemu dan mengumbar janji ke Rita lalu mengatakan bahwa pertunangannya ini hanya ingin menenangkan perasaannya. Tadinya Mia berharap Gilang berubah setelah bertunangan, tidak lagi berulah atau berselingkuh. Mia masih mengingat janji-janji Gilang, dan janji terindahnya adalah mengajaknya pindah ke Montreal setelah menikah, membangun rumah tangga di sana, Gilang yang bekerja pertambangan dan Mia yang mengurus rumah tangga. Mia sudah terlanjur bahagia membayangkan semua yang dijanjikan, tapi kini dia yang sangat kecewa. “Hai.” Gilang menyapa Mia yang baru muncul di ruang tamu. Mia membalas dengan senyum kecilnya, duduk di depan Gilang. “Kok jauh banget duduknya. Deket sini dong.” Gilang menggoda Mia dengan senyum simpulnya. Menghela napas pendek, Mia duduk di samping Gilang. “Ada apa sih? Ada masalah di kantor?” tanya Gilang pelan, tangannya sudah merembet di pinggang Mia dan mengusap-usapnya. Mia berdecak kecil, membiarkan tangan Gilang mendekap pinggangnya. Selama berpacaran, dia dan Gilang tidak pernah macam-macam, hanya sebatas ciuman bibir dan pelukan. “Ya, seperti yang aku bilang di telepon, lagi ada banyak proyek.” “Tapi nggak ke luar kota, ‘kan?” Mia menggeleng. Gilang meraih tangan Mia dan menggenggamnya, lalu mengecupnya. “Aku kangen kamu, Mi.” Mia diam. “Hei, kenapa?” “Kenapa apa?” “Ada yang jahatin kamu?” Kamu, batin Mia. Mia tidak mengerti dengan dirinya, mulutnya seakan terkunci saat berduaan. Melihat Gilang di dekatnya dan menatapnya dengan tatapan teduhnya, dia dengan mudahnya terenyuh dan terbuai, karena cintanya yang begitu dalam kepada Gilang. Mia pikir sekarang bukan saatnya menyinggung Rita, dia masih khawatir Gilang berubah sikap, berbalik mendiamkannya, dan dia yang belum siap. Masih mengingat pertengkaran hebatnya dengan Gilang saat memergoki Gilang di kediaman Rita, dan Gilang yang meminta maaf, berjanji dengan sungguh-sungguh sampai mencium kakinya. “Aku capek saja,” ucap Mia pelan. Gilang masih dengan senyum hangatnya. Mia tiba-tiba mengingat Ihsan, yang bekerja di gedung kantor tempatnya bekerja. “Kamu dan papamu bagaimana?” tanyanya. “Papa yang mana?” “Om Ihsan.” Gilang tertawa sebentar. “Kamu, ‘kan sudah tahu dari ceritaku tentang dia, dia yang nggak peduli aku sejak cerai dari mama.” Mia tahu mama dan papa Gilang sudah lama bercerai, saat Gilang yang baru saja tamat SD, dan Gilang yang mengaku papa kandungnya tidak bertanggung jawab dan pergi begitu saja ke luar negeri, sehingga hubungan keduanya yang buruk dan tidak begitu dekat. Mendengar kata-kata Gilang, sepertinya Gilang belum tahu di mana papanya bekerja sekarang. “Tapi nggak salah kamu tanya kabar.” Gilang menarik tangannya dari pinggang Mia. “Mia, aku sudah menuruti permintaanmu, menghadirkan papa di acara pertunangan. Lalu sekarang kamu minta aku menanyakan kabarnya. Terus terang saja, aku sebenarnya masih membencinya.” Mia terkesiap. “Gilang?” “Kamu nggak tahu perasaanku selama ini, Mia.” Ini yang Mia tidak suka dari Gilang, cepat emosi jika disinggung tentang papanya. “Kamu punya keluarga bahagia, mama dan papamu rukun dan akur, sedangkan keduaorangtuaku selalu bertengkar siang dan malam. Kamu bayangkan saja, Mia. Ah, sudah berapa kali aku cerita ke kamu tentang perasaanku sebagai korban brokenhome.” “Oke, oke. Baiklah, aku nggak akan menanyakannnya lagi. Bagiku sudah cukup malam itu, kamu yang berhasil mendatangkannya.” Mia berusaha menenangkan Gilang, tidak ingin emosi Gilang meninggi. Dia juga menyadari kekonyolannya yang tiba-tiba saja menanyakan apakah Gilang masih menghubungi papanya atau tidak. Gilang menghela napas pendek, meredam emosinya. “Maaf, Gilang,” ucap Mia, ikut sedih melihat wajah Gilang yang menggeram kecewa. “Kamu jangan lagi singgung dia, Mia. Aku jadi trauma mengingat masa laluku yang berat di rumah dulu saat dia masih tinggal bersama kami.” “Iya, iya, maafkan aku.” Mia mengusap-usap bahu Gilang. Gilang menunduk beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya dan memandang wajah Mia. “Hm, ada yang ingin aku bicarakan,” ujarnya pelan. Mia membalas tatapan Gilang. “Apa itu?” “Aku akan pergi ke Surabaya Jumat ini.” “Oh. Ke Surabaya?” “Ya, menemani mamaku ke sana.” Mia terdiam, “Sama mama kamu?” “Ya, mama mau bertemu pengrajin tas rotan di sana, dia ingin menambah koleksi dagangannya di sini, dan dia butuh aku. Papaku nggak bisa menemani mama karena dia punya jadwal ke Bali.” “Oh, oke. Hm … berapa lama?” “Tiga hari.” Mia mengangguk lemah. Entah kenapa dia sedih membayangkan Gilang pergi jauh ke Surabaya. “Hei, cuma tiga hari, Sayang. Senin pagi aku sudah pulang. Atau … kamu jemput aku di bandara pas pulang,” ujar Gilang dengan nada membujuk. Mia memandang wajah Gilang, lalu mengangguk tersenyum. “Ya, aku akan jemput kamu.” Gilang tersenyum puas, “Aku mencintaimu, Mia.” Mia agak ragu membalas, perasaannya kacau dan penuh ragu. “Hei? Nggak ada balasan?” “Aku juga mencintaimu," balas Mia akhirnya. Barulah Gilang menghela napas lega saat mendengar balasan Mia. Dia mengecup dahi Mia dalam-dalam seraya menatapnya penuh kehangatan. *** Mia heran melihat penampilan Sara hari ini, pakaian yang sedikit menonjolkan lekuk tubuh dan riasan wajah yang lebih berani. Sekilas, dia seperti Sindi, atasan Mia yang dikenal dengan penampilan seksi dan mencolok. Lebih anehnya lagi, Sara yang sama sekali tidak menyapanya seperti biasa. “Mia, temen lu kek kesambar petir, tumben banget norak begitu,” bisik Rudi, rekan kerja Mia yang duduk di sebelah sekat ruang kerja Mia. “Ih, udah deh,” balas Mia jengah, kembali fokus di depan komputernya. Rudi tertawa sambil menutup mulutnya. Tampak Sara menoleh ke arah Mia dan Rudi dari sekat ruangnya, seolah mencurigai keduanya yang menertawakan dirinya, tapi dia tidak peduli dan mulai bekerja di awal pagi itu. Tidak ada interaksi antara Sara dan Mia hari itu, dan keduanya yang sama-sama tidak peduli, fokus pada pekerjaan masing-masing. Namun, sesekali Sara yang tampak mencuri-curi pandang ke arah Mia saat ada rapat kecil. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN