(Empat)

856 Kata
Luna bangun, merapikan rambut panjang terurainya, dari pada memikirkan Jim yang tak mungkin diusirnya dari apartemen dalam waktu dekat ini, karena pria itu sakit, lebih baik Luna membuka laptopnya dan memeriksa laporan penjualan perusahaan kecil miliknya. Dia hanya perlu cara agar untuk membuat Jim pergi, tapi cara itu belum ditemukannya. Luna mengusap wajahnya, mencoba fokus pada laptop di depannya. "Mencari uang memang tak mudah." Luna bergumam lelah, saat ini keuntungan bulan ini hanya berkisar sepuluh persen. Dia perlu cara untuk menggaji karyawannya. Belum lagi biaya operasional yang makin membengkak. ***** Luna sudah siap dengan stelan kantornya. Baju blazer berwarna hitam dipadukan dengan rok bewarna putih dan jilbab putih juga. Entah kenapa, dia sangat menyukai warna putih. Yang jelas dia merasa percaya diri jika memakai warna itu. Ada rasa tenang, jika memakai warna putih, warna putih mampu membangkitkan kepercayaan dirinya. Sepiring nasi goreng serta segelas s**u sudah dihidangkan di atas meja makan. Luna harus mengisi perutnya supaya dia bertenaga mencari jalan keluar untuk perusahaannya. Baru saja Luna menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya, pintu kamar mandi yang berada di dapur itu terbuka. Menampilkan Jim dengan penampilan barunya. Wajah yang dipenuhi bulu liar itu sudah bersih, pria itu terlihat baru saja menyelesaikan ritual mandi dan bercukur. Sekarang dia memakai baju kaos polo bewarna putih dan celana jins selutut. Kenapa harus putih juga? Luna tak habis pikir, atau hanya kebetulan. Seperti biasa, Jim hanya mengatupkan mulutnya walaupun matanya memandang Luna dengan lurus. Luna merasa risih, Jim tak berniat meninggalkan dapur, dia hanya mematung bagaikan manekin di depan pintu kamar mandi. Saat ini seakan Luna adalah tuan rumah yang pelit dengan makanan karena tak menawari pria itu. Sebenarnya bubur semalam masih ada dalam kulkas dan tinggal di panaskan. "Duduklah! Kau harus mengisi perutmu sebelum meminum obat. Kau harus sehat Jim, supaya kita bisa kembali membicarakan pernikahan kita ini." Jim tak menjawab, namun dengan pasti dia menarik salah satu kursi yang berhadapan dengan Luna. Matanya melirik piring nasi goreng Luna. Sepertinya seleranya sedikit tergugah. "Maaf, Jim. Untuk beberapa hari ini kau hanya boleh makan bubur. Begitu dokter berpesan padaku." Luna bangkit dan memanaskan bubur ke dalam microwave. Sementara Jim duduk manis sambil mengamati punggung Luna yang bergerak lincah ke sana kemari di dapur kecil itu. Jim tak ingat, kapan terakhir kali dia memakan masakan rumahan. Dia akrab dengan mie instan dan makanan junk food lainnya. Luna menghidangkan semangkok bubur itu di depan Jim dan dipandang Jim dengan antusias. Tanpa menunggu di persilahkan, Jim menyuap bubur itu ke mulutnya. Jim tersedak, bubur itu sangat panas dan membuat lidahnya terbakar. Luna yang melihat wajah kesakitan Jim langsung menyodorkan air putih ke depan laki-laki itu. "Kau ceroboh!" Luna menggeleng, lalu melanjutkan melahap nasi gorengnya. "Aku harus ke kantor. Kuharap, kau bisa bekerja sama dan tidak merepotkanku. Jika kau selesai makan, aku harap walaupun kau tak mencucinya, setidaknya kumpulkan ke dalam westafel, tapi buang dulu sampahnya ke tong sampah. Jika bajumu kotor, kumpulkan ke dalam keranjang yang sudah tersedia di kamar mandi, dua hari sekali ada orang yang akan datang mencucinya. Kemudian, letakkan sesuatu pada tempatnya kembali. Remote TV letaknya bukan di atas sofa, jendela kamarmu juga harus dibuka supaya sirkulasi udara di dalamnya menjadi sehat. Dan satu lagi, rapikan tempat tidurmu setiap pagi, aku tak mau masuk ke dalam kamar yang sudah kau anggap kamarmu." Luna bangkit, mengambil salah satu sepatunya dari rak sepatu. "Oh ya, Jika kau berniat ke luar, kunci pintunya dan letakkan di bawah vas bunga yang ada di luar." Luna kemudian pergi meninggalkan Jim yang menghela nafas dan tersenyum samar. Sudah lama sekali, entah kapan terakhir kali, dia mendapatkan aturan dan perintah seperti itu. Luna tipe orang yang sangat nyinyir dengan kebersihan. Dia tau itu, gadis itu tak menyukai sesuatu yang terletak tidak pada tempatnya. Jim kemudian meletakkan mangkok kotornya yang sudah kosong ke dalam westafel. Lalu tertarik membuka kulkas milik Luna. Jim sejenak terbelalak, dia sempat menyelundupkan enam buah mie instan kemaren ke dalam kulkas itu. Tapi sekarang sudah di singkirkan Luna dari sana. Jim menggaruk kepalanya. Mungkin mulai saat ini dia harus mengikuti aturan yang di buat istrinya itu. Hati Jim menghangat, dia merasa benar-benar memiliki istri saat ini. Wanita itu memang baik, walaupun kesal dan tidak menyukainya, tapi dia bukanlah orang yang pendendam. ***** Luna memijit kepalanya lelah. Matanya memandang Mike dengan putus asa. Mike adalah teman sekaligus bawahannya, laki-laki itu adalah teman berbicara selama ini dalam soal pekerjaan, tapi Luna jarang membicarakan hal pribadi dengan laki-laki itu. "Aku harus mencari ke mana lagi, bahkan utang perusahaan belum terbayar sampai saat ini, bunga terus berjalan setiap bulannya." Luna mengusap tepi cangkir tehnya. Saat ini mereka tengah duduk di ruangan Luna. Sebenarnya sudah waktunya pulang, tapi mereka terus berfikir keras untuk melanjutkan perusahaan kecil yang dilanda krisis karena buruknya ekonomi di negara saat ini. "Kau adalah orang yang paling tidak bisa dimengerti, kalau aku jadi kau, aku lebih memilih meneruskan perusahaan ayahku yang sudah berkembang sangat pesat." Luna menatap Mike sekilas. "Aku lelah hidup di bawah bayang-bayang nama besar keluargaku. Aku sudah memutuskan untuk mandiri, dan kini saatnya aku membuktikan ucapanku sendiri." Mike tak bisa berkata apa-apa lagi. Jika Luna sudah memutuskan sesuatu, maka dia takkan mengubah pemikirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN