(Tiga)

906 Kata
Luna baru saja membuka jilbabnya saat pintu kamarnya digedor tak sabaran. Mau tak mau Luna meraih jilbab itu kembali dan memasang asal di atas kepalanya. Luna membuka pintu sambil berdecak kesal, namun kekesalan tidak berlangsung lama saat Luna mendapati kondisi Jim yang memprihatinkan. Keringat sebesar biji jagung ke keluar dari pori-porinya, nafasnya sesak dan berdiri sempoyongan. Jim berusaha menopang tubuhnya dengan bersandar ke daun pintu kamar milik Luna. "Tolong! Tolong antarkan aku ke rumah sakit." Jim kesusahan menata nafas, tangannya masih berada di bagian perutnya. "Tunggu sebentar!" Ujar Luna cukup kaget, dia berlari menuju meja kerjanya dan meraih kunci mobil dari sana. Luna membantu Jim untuk berjalan menuju lift, laki-laki itu hanya menurut, sesekali terdengar erangan sakit yang dirasakan olehnya. ***** Jim baru saja mendapat penanganan dokter ketika Luna melarikannya ke UGD. Jim tak lagi mengerang sakit, setelah mendapatkan suntikan dari dokter melalui infus yang dipasang kepadanya. Laki-laki itu masih tergolek lemah, namun dia menyimak semua keterangan dokter dengan baik. "Suami anda menderita mag kronis dilihat dari gejala yang sudah di paparkan. Tekanan darahnya pun rendah dan dapat saya pastikan pak Jim kebanyakan begadang." Luna hanya mengangguk, dia melirik Jim yang tampak biasa saja dengan keterangan dokter itu. "Untuk beberapa hari ini jangan makan makanan keras, nasi diganti dengan bubur dan jangan membiarkan perut dalam keadaan kosong. Hindari stress dan banyak istirahat." Sang dokter menuliskan resep obat dan menyerahkannya pada Luna. "Baik, Dok." "Sudah bolehkah saya pulang, Dok?" "Boleh setelah cairan infusnya habis." Dokter wanita itu kemudian beranjak meninggalkan mereka. Luna melirik jam dinding. Sudah pukul 8 malam. Bahkan dia belum sempat mandi sore ini. Luna menarik kursi yang berada tak jauh dari bangkar yang di huni Jim. Luna menghela nafas kembali, menatap Jim dengan pandangan lelah. "Kita akan berada di sini sampai tengah malam." "Maaf merepotkanmu." Jim mengalihkan perhatiannya menghindari kontak mata dengan Luna. "Sebenarnya aku tak ingin ikut campur dengan hidupmu. Seperti kau tak mempedulikanku selama ini. Tapi ini sifatnya kemanusiaan, jangan anggap ada maksud atas apa yang terjadi." "Aku tau, jangan khawatir!" "Jim," sapa Luna. Wajah dipenuhi brewok itu memandangnya datar, kaca mata minus telah terlepas dari matanya, atau mungkin tak sempat di pasang laki-laki itu sebelum ke rumah sakit. "Seharusnya kau lebih memperhatikan dirimu. Maksudku, kau terlalu berantakan." Luna geli dengan bulu-bulu liar yang memenuhi sisi wajah laki-laki itu. Kemudian Luna bangkit meninggalkan Jim sendiri. Jim hanya termangu, memandang punggung Luna yang menjauh darinya. Bahkan, dia lupa, kapan terakhir dia mandi dan membersihkan diri. ***** Mereka sampai di apartemen jam satu dini hari. Luna sempat memasak bubur untuk laki-laki itu sebelum dia tidur. Jim tak mengucapkan apa-apa selain melahap habis bubur di depannya seperti orang yang tak pernah makan. Sepeninggal Luna, Jim berjalan gontai ke arah kamarnya. Melirik tempat tidur dan menahan kantuknya. Jim ingin tidur dengan lelap, sangat ingin. Tapi dia tak pernah mendapatkannya, tidur adalah sesuatu yang ditakutinya. Malam hari bagaikan teror yang tak kunjung selesai, membuatnya nyaris gila dan ingin bunuh diri. Jim lelah, mata beratnya tak bisa berkompromi. Tanpa disadarinya dia sudah merebahkan diri di tempat tidur. Lama, cukup lama. Satu jam, dua jam, tiga jam. Dan seperti biasa, suara ledakan kembali membangunkannya, Jim terjaga sambil menutup telinganya, menetralkan nafasnya yang berubah sesak. Ledakan itu sangat kuat, menyebabkan telinganya berdenging sakit. Tak ada apa-apa, tak ada bom, tak ada tembakan. Tapi ledakan itu terdengar nyata dan menghantuinya. Exploding head sindrom, sebuah penyakit langka yang dideritanya selama ini, penyakit yang tak bisa diobati dan tak ada obatnya. Penyakit yang membuat Jim menutup diri dan menjauh dari orang lain. Penyakit yang membuatnya rendah diri. Serta Penyakit yang membuatnya bertekad meninggalkan Luna, wanita yang mengenalkan arti cinta pertama kepadanya. Jim merangkak turun dari tempat tidur lalu membuka laptopnya, dia perlu game online untuk mengalihkan rasa kantuk. Sampai kapan dia harus begini, andaikan boleh memilih hidup atau mati, dia lebih memilih mati. *** Luna bergerak gelisah di atas ranjang berseprai putih miliknya. Sungguh, matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Dia mencoba merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya selama dua puluh empat jam ini. Mendatangi Jim dengan tujuan mengakhiri pernikahan mereka tapi malah membuat laki-laki itu tinggal bersamanya. Rasanya semua ini tak masuk akal baginya. Selama ini mereka hidup dalam sandiwara, tiba saatnya episodenya dengan Jim harus berakhir, tapi kenapa semua malah dimulai dari awal lagi? Membawa Jim ke apartemen hanya akan membuat semuanya kembali rumit bagi mereka. Luna tau, Jim dan dirinya bernasib sama. Ingin terlepas dari kekangan keluarga yang selalu memiliki aturan yang tidak masuk akal. Luna bahkan jarang pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika dia bertemu orang tuanya, temanya tak jauh-jauh dari kata 'mami ingin cucu', mendengar itu rasanya Luna mau tertawa dan menangis bersamaan. Siapa yang tak ingin memiliki anak. Wanita semurnya rata-rata sudah memiliki anak dua atau tiga. Namun dia sendiri masih tersegel dengan rapi. Belum ada secuil pun kulitnya disentuh oleh lawan jenis. Luna juga ingin seperti orang lain, menikah secara normal dan memiliki anak, apa lagi anak tunggal sepertinya sangat diharapkan untuk memberi keturunan, perusahaan ayahnya butuh penerus. Tapi dia tak ingin mendapatkan itu semua dari Jim, demi apa pun, membayangkan laki-laki misterius itu saja Luna langsung kehilangan semangat. Jim tak jauh berbeda, anak kedua dari dua bersaudara itu terlahir dari keluarga yang sangat kaya di negri ini. Tapi Jim lebih memilih mengasingkan diri bekerja di ruangan pengap dan tak masuk cahaya matahari. Selain editor entah editor apa, kemudian Jim mengidap mag kronis, dia tak tau lagi informasi lain yang berkaitan dengan laki-laki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN