“Salah saya apa, Mbak?” Suara Mirna serak.
Riani yang tengah menyiapkan peralatan untuk memasang infus di sebelah bed pasien mendadak terdiam. Mirna sudah sempurna menangis.
“Hm, maksudnya, Bu?” Riani memiringkan kepalanya. Mencoba mengamati ekspresi pasiennya.
“SaBimaya nggak pernah aneh-aneh, saya selalu setia sama suami saya!” Tumpah ruah sudah air mata Mirna. Suaranya serak dan gemetar. Tubuhnya berguncang hebat.
Riani mendekat. Ia menyentuh pundak pasiennya pelan. “Bu, ibu yang tenang, ya?” Ia memindahkan tangannya ke perut Mirna. Mengelusnya lembut. “Supaya bayi yang ibu kandung juga tenang. Dia sedih kalau tahu ibunya sedih.”
Isakan Mirna tiba-tiba berhenti. Ia mencengkram lengan Riani. Membuat RIani terkejut. “Bayi saya, bayi saya apa juga bisa tertular, Mbak?”
Riani menghela nafas. “Karena itu ibu dirujuk ke sini. diberi pengobatan. Semua proses persalinan sampai nifasnya diawasi di sini. Supaya bayi ibu nggak tertular.” Ia menjelaskan dengan tersenyum. Meski senyumnya tentu tertutup masker medis.
Mirna meletakkan punggungnya ke sandaran bed. Kepalanya menengadah. Matanya menerawang. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Isak tangisnya masih tersisa.
“Saya mulai pasang infusnya ya, Bu?” Riani memulai pemasangan infus. Mencari vena yang paling mungkin untuk dilalui abocath (jarum infus) ukuran 18.
“Saya mohon, Mbak. Bayi saya jangan sampai tertular.” Suara Mirna hampir tak terdengar. Serak kemudian hilang ditelan isak tangis yang semakin menjadi.
Riani menghentikan jemarinya yang sudah bersiap menusukkan abocath. Ia memandang Mirna yang tengah menangis tersedu. Wajahnya tertutup oleh sebelah tangannya. Dalam hati, Riani sungguh ingin mengatakan bahwa bayinya akan selamat dan sehat. Tapi tenaga medis tak boleh memberi harapan berlebihan. Tidak boleh memastikan masa depan. Karena tugas tenaga medis hanyalah berusaha semaksimal mungkin sesuai keilmuan, takdir hanyalah milik Allah Sang Pencipta.
***
Pukul 11.30. Riani berpamitan pada teman satu shift-nya, hendak menunaikan sholat dhuhur. Persis saat ia selesai mencuci tangannya di wastafel, ponsel di sakunya bergetar.
“Assalamu’alaikum.” Riani tersenyum begitu mengetahui siapa yang menelponnya.
“Wa’alaikumsalam, putriku sayang. Gimana kerja di sana?” Suara Surya terdengar bahagia.
“Seru, Yah.” Riani masih tersenyum. “Ayah apa kabar di sana? Kedengerannya lagi seneng, nih?”
“Hahaha, putri Ayah ini memang yang paling ngerti Ayah.” Suara tawa Surya membahana.
“Ada kabar baik apa, Yah?” Riani sudah sampai di mushollah. Ia melepaskan kaos kakinya. Ponselnya dijepit menggunakan sebelah bahu dan telinganya.
“Riani, anak Ayah yang paaaaling membanggakan.” Suara Surya mendadak penuh haru, membuat Riani menelan ludah. Menebak-nebak apa kalimat selanjutnya. Namun, beberapa detik menunggu hanya suara kesiur angina yang terdengar.
“Semoga Riani selalu bisa membanggakan Ayah.” Mendadak matanya berair. Ikut terharu.
“Ri, kau tahu Ayah nggak akan hidup lama. Seperti ibumu, siapa yang tahu dia justru yang mendahului kita?”
Riani menelan ludah. Menghentikan tangannya yang hendak melepas kerudung, bersiap untuk berwudhu.
“Ayah tak mungkin bisa selalu menjagamu, Ri.”
“Ayaaah…” Suara Riani cukup rendah untuk bisa didengar. “Jangan bicara begitu.”
“Hahaha, apa-apaan lah ini. Jangan sedih, Ri. Ayah mau memberitahu kabar bahagia.”
“Ah, iya.” Ia hampir lupa bahwa di awal telepon tadi suara Ayahnya bahkan terdengar sangat gembira. “Jadi ada kabar gembira apa nih, Yah?”
“Kau akan segera menikah, Nak. Hahaha.” Tawa Surya kembali menggelegar.
“Hah? Maksud Ayah gimana?”
“Ryan dan keluarganya setuju mau melamarmu, Ri. Hahaha, Ayah nggak sangka bakal berbesan dengan Bima.” Surya terdengar benar-benar bahagia. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan Riani. Putri tunggalnya itu kini justru mematung. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya merona merah.
“Ri?”
“Eh, iya, Yah. Riani masih di sini.”
“Kau, tak suka kah?” Surya berkata hati-hati. “Bukankah sudah sejak lama kau menyukai anak pertama Setya itu?”
Riani menghela nafas. Sebelah tangannya memijit pelipis.
Benar. Tadinya ia hanya merasa nyaman saat bersama Ryan, tapi semakin beranjak dewasa ia menyadari bahwa perasaannya lebih besar daripada sekedar merasa nyaman. Semakin lama, ia juga tahu bahwa perasaannya tak pernah bersambut.
“Riani bukan nggak suka, Yah. Tapi, apa Ayah yakin Mas Ryan benar-benar mau menikah dengan Riani?”
“Hei, laki-laki mana yang tak mau menikahimu, Nak? Kau cantik, cerdas seperti ibumu, baik hati, penyayang, apa lagi? Tentu saja mereka menerima. Kau calon istri idaman, Ri. Hahaha.”
“Ayah ada-ada aja.” Riani ikut terkekeh. Ayahnya ini memang suka sekali tertawa. Karenanya jadi terasa asing jika laki-laki lebih paruh baya itu berbicara dengan nada sendu.
“Dalam waktu dekat mungkin keluarga Om Bima akan ke rumah. Membicarakan lebih lanjut soal lamaran kau. Karena kalian satu kota, ikutlah berangkat dengan mereka, ya?”
“Iya, Yah.” Riani tak berani membantah. Meski di hatinya terasa sedikit kejanggalan.
“Ya sudah, Ayah tutup. Selamat bekerja, Anakku.”
“Ayah juga. Jaga kesehatan, ya, Yah. Assalamu’alaikum.”
Suara sambungan telepon terputus setelah Surya membalas salam. Riani beranjak ke kamar mandi. Berwudhu dan bergegas sholat dhuhur.
***
“Mau makan juga, Ri?” Lia membawa nampan berisi semangkok mie ayam dan segelas air mineral saat bertemu Riani di kantin khusus pegawai.
“Eh, iya, Mbak. Mbak Lia sendirian?”
“Iya. Cepet pesen makan, sini makan bareng.” Wanita yang usianya terpaut beberapa tahun lebih tua dari Riani itu tersenyum manis.
Riani mengangguk. Bergegas memesan menu yang sama dengan Lia. Selera makannya mendadak meningkat melihat semangkok mie ayam milik Lia tadi.
Lima menit menunggu, mie ayam Riani sudah siap. Ia segera menuju meja tempat Lia duduk.
“Kirain Mbak Lia kalau makan siang di ruangan, ternyata di sini juga.” Riani menjepit sumpit sekali pakai yang diberi oleh penjual mie ayam tadi.
“Kadang-kadang di ruangan. Tapi mie ayam di sini enak banget, jadi kadang-kadang juga makan di sini.”
Mereka saling melempar senyum. Lalu sibuk dengan mie ayam masing-masing selama beberapa saat.
“Mbak Lia sudah nikah?” Riani melempar pertanyaan setelah kepalanya dipenuhi soal rencana perjodohannya dengan Ryan. Ia merasa butuh mengetahui sudut pandang dari orang lain.
“Sudah, kamu?” Lia menjawab santai.
“Belum.”
“Dulu, Mbak Lia ketemu suami gimana? Hm, maksudnya menikah atas keinginan berdua atau, ehem, dijodohin?”
Lia tak menjawab. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Riani. “Kamu, lagi dijodohin?” Alisnya terangkat. Suaranya berbisik.
“Eh, ah, enggak. Tanya aja, kok. Hehehe.” Riani salah tingkah. Ia menyuapkan mie ayam ke mulutnya.
Lia kembali meletakkan punggungnya ke sandaran kursi. Menghabiskan suapan terakhir mie ayamnya. Kemudian menenggak air mineral hingga tersisa separuh.
“Jodoh itu bisa bertemu lewat berbagai cara, Ri.” Lia bersuara. Matanya menatap lurus ke depan. Tampak sedikit menerawang. “Cara yang indah seperti di drama korea atau novel romantis, atau bisa juga cara yang menyebalkan seperti perjodohan. Tapi, setiap pasang manusia yang berjodoh tetap akan bertemu. Bagaimanapun caranya. Terpaksa atau sukarela.”
Hening sesaat.
“Begitu juga dengan mereka yang tak berjodoh. Sekuat apapun mereka berusaha untuk bersama, suatu saat takdir akan tetap memisahkan mereka. Dengan caranya sendiri. Baik itu cara yang menyakitkan atau yang menyenangkan.” Ia menutup kalimatnya dengan tersenyum. Kemudian menepuk punggung tangan Riani lembut.