Sebuah kamar dengan luas dua belas meter persegi itu tampak kosong. Bukan karena tak berpenghuni, tapi karena sedikitnya barang yang dimiliki penghuni barunya. Riani belum sempat mengisi kamarnya. Ia hanya membawa barang-barang yang diperlukan saja. Beruntung, kamar ini disewakan lengkap dengan lemari dan kasur busa. Pakaiannya sudah masuk ke dalam lemari seluruhnya. Sedangkan barang-barang pelengkap lainnya belum sempat ia beli.
Sepulang kerja ia berencana belanja keperluan, tapi sayangnya kalimat Ryan siang tadi sangat menyita pikirannya. Ia memilih untuk pulang dan berdiam diri di kamar. Membuka kembali buku-buku tebal semasa kuliah dulu. Membaca teori-teori kasus kebidanan patologis yang hampir saja ia lupakan karena sangat jarang sekali menemukan kasusnya. Tapi kasus persalinan sungsang dengan presentasi (bagian terendah janin) kaki tadi membuatnya sadar, bahwa ia sudah melupakan banyak hal. Maka sisa malam itu ia habiskan untuk belajar.
Pukul sepuluh malam, Riani beranjak tidur. Membiarkan buku-buku berserakan di lantai. Melupakan sejenak soal rencana perjodohan dirinya dan Ryan. Esok, hari baru dan awal kehidupan yang baru menyambutnya dengan penuh suka cita.
***
“Hati-hati, itu pasien B20.” Bisik Lia. Sedetik lalu ia memerintahkan Riani untuk melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien yang baru masuk.
“Hah?” Alis Riani terangkat.
“H.I.V.” Lia menekan kalimatnya. Ia menyodorkan status pasien yang di sudut atasnya diberi stiker berwarna merah dengan tulisan besar-besar ‘B20’.
Riani mengangguk. Ia mengenakan masker dan sarung tangan lateks. Menghampiri wanita awal tiga puluhan tahun yang terduduk lesu di atas brankar. Tak ada tanda-tanda kegawatdaruratan.
“Selamat pagi, Bu.” Riani menyapa. Ia tersenyum di balik masker.
“Pagi, Dok.” Jawab wanita itu lesu. Bahkan wajahnya sama sekali tak terangkat.
“Namanya siapa, Bu?” Riani bertanya sembari mencocokkan dengan gelang identitas pasien. Prosedur pertama sebelum melakukan tindakan apapun pada pasien.
“Mirna Septiasari.”
“Tanggal lahirnya, Bu?” Prosedur kedua untuk mengkonfirmasi identitas pasien ada tanggal lahir.
Mirna menyebutkan hari kelahirannya. Sama persis dengan yang tertera di gelang identitas pasien. Sebenarnya ada satu lagi prosedur untuk mengkonfirmasi identitas pasien. Yaitu nomor rekam medis. Tapi pasien mana yang bisa menghafal nomor rekam medisnya? Nomor ponselnya saja kadang tidak ingat.
Riani mulai melakukan pemeriksaan. Mulai dari kondisi fisik ibu hingga kesejahteraan janin. Semuanya baik. Hanya saja Mirna sudah menunjukkan tanda-tanda persalinan. Yaitu kontraksi rahim dan pembukaan jalan lahir. Ya, meski baru pembukaan dua. Belum bisa diprediksi akan bersalin dalam waktu dekat atau bisa jadi tertunda berhari-hari.
“Bu Mirna kenapa sedih?” Selama pemeriksaan Riani memperhatikan dengan seksama kondisi Mirna. Ia tak banyak melihat perubahan, wajahnya datar dan lesu. Ini sedikit mengusik hatinya. Hingga akhirnya ia memberanikan diri bertanya.
Wanita itu menggeleng.
“Sebentar lagi ibu ‘kan mau ketemu anak ibu yang sudah dikandung selama sembilan bulan, kenapa wajahnya sedih?”
Sekali lagi Mirna menggeleng. Tapi ia tampak menyusut hidungnya.
“Kalau ada yang mengganjal di hati, ibu boleh cerita.” Riani menggenggam jemari Mirna. “Sebentar lagi saya pasang infusnya, saya siapkan dulu alatnya, ya, Bu?”
Riani berlalu. Meninggalkan Mirna yang mulai terisak.
***
Seminggu yang lalu. Hari Selasa yang cerah. Mirna menenteng tasnya sumringah. Meski tubuhnya tampak kewalahan membawa perutnya yang membuncit, tapi rupanya tak ia rasakan sama sekali. Mirna sangat bahagia selama kehamilannya ini. Sudah lama ia tak merasakan indahnya hamil. Sudah sepuluh tahun lalu.
“Adek pergi dulu, ya, Bang.” Mirna mencium punggung tangan suaminya. Suami kedua tepatnya. Suami pertamanya meninggal secara mendadak. Entah karena penyakit apa. Ia tidak tahu persis. Katanya tipes, katanya diare, entahlah.
“Beneran nggak perlu Mas antar?” Laki-laki 35 tahun itu menawarkan.
“Nggak perlu, Mas. Mas ‘kan mau berangkat kerja. Biar adek berangkat sendiri. Lagipula deket, bisa naik becak langganan adek.” Mirna masih tersenyum. Ia bahagia sekali. Beberapa minggu lagi akan segera bertemu buah cinta mereka.
“Ya sudah, hati-hati.”
Mereka berpisah di depan pagar. Mirna melambaikan tangan melepas kepergian sang suami mencari nafkah. Mereka menikah setahun yang lalu. Satu tahun selepas kepergian suami pertamanya.
Mirna menumpang becak menuju Puskesmas setempat. Biasanya ia memeriksakan kehamilannya di bidan terdekat, tapi kali ini ia disarankan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas. Alasannya karena ia belum melakukan pemeriksaan laboratorium apapun sejak kehamilan pertama. Ini penting untuk menentukan rencana persalinannya yang sudah tinggal menghitung minggu.
Hari Selasa, Puskesmas cukup ramai. Banyak ibu hamil yang juga memeriksakan kehamilannya. Macam-macam. Ada yang hamil muda, hamil tua, hamil anak pertama, hamil anak keempat, ada yang manja ditemani suami dan ibunya, ada pula yang seorang diri seperti Mirna. Meski sendiri, sama sekali tak mengendurkan senyum di wajah Mirna yang mulai tampak keriput-keriput halus di ujung mata dan bibirnya.
Satu jam menunggu, nama Mirna dipanggil. Benar kata bidan dekat rumahnya, kunjungannya hari ini terutama untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Banyak sekali yang diperiksa, ada tujuh item. Ia diminta menunggul lagi selama satu jam.
Menjelang tengah hari, hasil pemeriksaan laboratorium Mirna keluar. Seorang bidan berusia akhir tiga puluhan memanggil namanya dengan lantang.
“Silakan duduk, Bu Mirna.” Bidan itu tersenyum dengan wajah menyimpan gurat kecanggungan. Bahkan ia tampak berdehem beberapa kali.
“Hasil pemeriksaanya sudah keluar. Tapi, sepertinya setelah ini ibu harus melakukan pemeriksaan kehamilan di Rumah Sakit. Puskesmas tidak bisa menangani.” Ia melanjutkan.
Deg!
Perasaan Mirna tak nyaman. Ia mulai khawatir.
“Apa anak saya bermasalah, Bu?”
“Bukan. Bukan bayinya.”
“Lalu?” Mirna mengernyitkan dahinya.
“Ibu. Bu Mirna yang memerlukan pengobatan supaya tidak menular ke bayinya.”
Hati Mirna mencelos. Wajahnya berubah mendung. “A-apapun…” Suaranya bergetar menahan tangis. “Apapun akan saya lakukan asal bayi saya sehat, Bu.”
“Syukurlah kalau begitu.” Bidan itu tampak tersenyum samar. Ia mengeluarkan buku berwarna merah jambu milik Mirna. Ia membuka sebuah halaman dan menunjukkannya pada Mirna. “Hasil pemeriksaan laboratorium Bu Mirna bagus semua. Golongan darah Bu Mirna A dengan rhesus positif. Kadar hemoglobin dalam batas normal, protein dan albumin urin negatif, HbsAg nonreaktif, sifilis nonreaktif.” Ia menunjuk baris terbawah hasil pemeriksaan laboratorium. Mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di sana. “Tapi, tes laboratorium untuk pemeriksaan HIV, hasilnya reaktif.” Suaranya merendah.
“A-artinya apa, Bu?” Wajah Mirna pias.
“Artinya, Bu Mirna harus menjalani pengobatan di Rumah Sakit agar virus ini tidak menular ke bayi ibu.”
Maka siang itu juga, Mirna menuju Rumah Sakit yang dimaksud bidan di Puskesmas tadi untuk melanjutkan pemeriksaan. Di sana ia bertemu beberapa dokter spesialis kandungan. Ditanya banyak hal, dilakukan pemeriksaan bermacam-macam. Mirna hanya mengikuti perintah saja, ia benar-benar kehilangan semangat. Satu hal yang membuatnya tersadar adalah ia harus memberitahu suami dan anak pertamanya agar dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah mereka tertular atau tidak. Bagaimana mungkin ia mampu mengatakannya pada sang suami? Jika pada anak pertamanya bisa saja ia berbohong tapi tak mungkin ia mampu menutupinya pada suaminya. Bagaimana ini?
Pukul tiga sore, semua pemeriksaannya sudah selesai. Mirna keluar dari ruang pemeriksaan poli kandungan, jatuh terduduk di depan pintu. Ia menangis sesenggukan di sana.
***
“Tau begini aku nggak akan nikah sama kamu!” Laki-laki yang setahun lalu resmi menjadi suami Mirna itu mengamuk. Sebuah gelas kaca pecah berkeping-keping di lantai.
“A-adek juga nggak tahu kenapa bisa begini, Mas.” Mirna terduduk di lantai. Wajahnya bersimbah air mata.
“Dasar perempuan jalang!”
Plak!
Pipi Mirna memar oleh tamparan keras suaminya. Tidak, itu tidak sakit. Masih lebih sakit luka di hatinya.
“Mas, Mas hanya perlu periksa ke Puskesmas.” Mirna mencoba membujuk di sela tangisnya.
“Persetan soal periksa!”
Prang!!!
Sebuah asbak rokok menghantam lantai. Menimbulkan bunyi pecah yang memekakkan telinga. Lantai rumah Mirna dipenuhi pecahan kaca. Bahkan sebagiannya mengenai tangan dan kakinya.
Tidak, sekali lagi ini tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan luka di hatinya.
Mirna bukan perempuan penggoda, bukan perempuan yang suka bermain pria. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang sebagian besar 24 jam hidupnya dalam sehari, ia habiskan di rumah. Yang bahkan mendengar nama penyakit AIDS hanya dari obrolan-obrolan tetangga dan iklan di televisi. Ia hanya tahu, bahwa penyakit ini mempunyai stigma buruk di masyarakat. Bahwa orang mengidap HIV/AIDS adalah aib di masyarakat.