Chapter 7

1148 Kata
            Terik matahari terasa menusuk-nusuk kulit. Jalanan beraspal menambah panas suhu di jalanan. Membuat beberapa tukang becak mengibas-ngibaskan topinya, berharap ada angin sejuk yang meredakan panas. Sesekali pula keringat yang bercucuran diseka menggunakan handuk kumal yang tersampir di leher. Kemudian mengayuh pedal becak dengan sisa-sisa tenaga yang ada karena sejak pagi tadi perutnya belum terisi makanan. Sepi penumpang. Orang-orang lebih suka memakai kendaraan pribadi atau ojek dan taksi online.            Tukang becak itu melirik orang-orang yang berada di dalam mobil pribadi. Satu mobil hanya diisi satu sampai dua orang. Pantas saja lah jalanan ini selalu ramai. Ia menoleh pada sebuah mobil warna hitam metalik yang berderum di sebelahnya. Menatap lamat-lamat pengemudi di dalamnya. Membayangkan pasti menyenangkan duduk di sana. Tidak panas, malah sejuk karena ada AC. Saat lampu merah begini tidak perlu mengernyit karena panas, justru mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari audio player.            Persimpangan jalan itu ramai sekali setiap kali lampu lalu lintas berubah merah. Mobil-mobil berjajar, motor-motor berjejalan, sementara becak-becak mengalah menunggu di pojokan.            Mobil hitam metalik yang tadi berhenti di samping tukang becak itu berbelok. Masuk ke jalanan yang lebih sepi dan sempit. Di perempatan pertama belok kanan. Lalu berhenti di rumah keempat dengan pagar besi tinggi. Laki-laki berkemeja biru keluar dari mobil, membuka gerbang dan kembali ke dalam mobil. Mobil itu melesat memasuki halaman rumah. Pelan menuju garasi besar di samping rumah.            Bip!            Ryan memencet tombol bergambar gembok terkunci di remote mobilnya. Kemudian bergegas masuk rumah. Pintu berdecit begitu didorong.            “Udah pulang, Yan?” Ayu menyambut putranya. Ia sedang sibuk menonton televisi di ruang tengah.            “Eh, Mama. Iya. Ryan mandi dulu, Ma.”            “Habis mandi langsung turun, ya? Ada yang mau Mama obrolin.”            “Oke!”            Ryan bergegas menaiki anak tangga. Menuju kamarnya di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar Hanna. Kamarnya memiliki kamar mandi di dalam. Ini permintaannya dulu. Ia lebih suka tidak berbagi kamar mandi dengan orang lain. Dan kelak permintaannya ini akan sangat bermanfaat. ***            “Kamu beneran setuju?” Ayu bertanya tanpa basa basi. Matanya menatap penuh selidik.            “Iya.” Jawab Ryan mantap.            Ayu menghela nafas. Punggungnya disandarkan ke sofa. Matanya menerawang. “Pernikahan itu memang bukan soal cinta, Yan. Karena cinta bisa tumbuh setelah menikah. Tapi pernikahan itu nilainya bahkan setara dengan separuh agama. Bahkan, pernikahan itu diibaratkan sebagai perjanjian agung. Seperti perjanjian Allah dengan para Rosul. Kamu paham maksud Mama?” Kini Ayu menoleh. Menatap putra sulungnya.            Ryan menelan ludah. Mamanya mengucapkan setiap kalimat barusan dengan wajah sangat serius. Ini artinya tidak main-main. Maka Ryan memilih untuk diam sejenak. Menyelami hatinya yang luka.            “Yan?” Wanita paruh baya itu menyentuh tangan putra sulungnya. Matanya menatap hangat laki-laki yang dilahirkannya puluhan tahun silam.            “Kalau kamu menolak, Mama ngerti kok. Kamu masih mencintai Elvina ‘kan?”            “Ma…” Ryan mengeluh pendek. Sudut hatinya terasa nyeri.            “Pikirkan lagi baik-baik.” Ayu menepuk-nepuk tangan putranya. Memberi isyarat bahwa ia mengerti kondisinya.            Ryan tak menjawab. Membiarkan suara televisi mengambang di langit-langit rumah. Ia melirik Mamanya sesaat. Wanita yang selalu ia anggap paling cerewet di rumah itu menatap layar televisi. Entah benar-benar menikmati acara reality show yang sedang tayang, atau pikirannya sedang berkecamuk seperti dirinya.            Ryan menghela nafas. Tubuhnya melorot di sofa ruangt tengah. Kepalanya menengadah. Kedua matanya lekat menatap langit-langit. Sekelebat bayangan wajah Elvina melintas. Wanita itu tetap memesonakan hatinya meski ia tahu Elvina telah bersuami. Dadanya berdebar-debar hanya karena mata mereka bersirobok.            Ryan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak! Ia tak mungkin menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk menyirami rasa yang bahkan tak bersambut.            “Ma…” Suara Ryan lemah. Ia menyentuh lengan Mamanya lembut.            “Kenapa, Yan?”            “Ryan yakin dengan keputusan Ryan.”            “Maksudmu?”            “Ryan mau menikah dengan Riani.” Ujar Ryan mantap. ***            “Kamu mantap dengan keputusanmu, Yan?” Setya, Papa Ryan bertanya. Meski tangannya tampak sibuk menyendok nasi tapi suaranya tetap tegas dan lantang.            “Iya, Pa.” Jawab Ryan tanpa ragu.            Mereka sedang duduk melingkari meja makan. Menyantap makan malam seperti hari biasanya.    Menjelang maghrib, Setya dan Hanna baru datang. Maka jika tak ada kesibukan berarti atau keperluan mendesak, mereka selalu makan malam bersama. Ini kebiasaan yang diterapkan puluhan tahun di keluarga Ryan, atas usul dari Ayu. Katanya, supaya kehangatan keluarga tetap terjaga.    Benar saja, momen makan malam biasanya mereka jadikan sebagai waktu untuk mendiskusikan sesuatu. Mulai dari hal penting sampai hal yang remeh seperti gas yang tiba-tiba habis saat sedang memasak. Dari momen makan malam ini semua orang berhak berbicara, berpendapat dan tidak boleh emosi. Karena perasaan yang tidak nyaman akan membuat rasa makanan tidak nyaman. Tapi siapa yang bisa mengontrol perasaan orang lain? Kadang-kadang meja makan menjadi saksi bisu pemberontakan dalam diam yang dilakukan Ryan atau Hanna. Seperti saat dulu Hanna hendak merantau keluar kota. Keputusan dari Setya adalah tidak boleh. Maka Hanna hanya bisa diam dan mengangguk padahal hatinya menjerit.    Setya meletakkan sendoknya. Menatap lekat putra sulungnya. Ryan balas menatap.    “Kamu masih ragu.” Katanya kemudian.    “Eh? Enggak! Ryan nggak ragu.” Ucap Ryan membela diri.    “Ya. Kamu masih ragu. Papa ini mengenalmu seumur kamu hidup. Kamu bahkan nggak bisa berbohong ke Papa.” Suara Setya datar tanpa emosi tapi telak menusuk. “Apa yang membuatmu ragu?”    Ryan diam. Meja makan hening. Hanya suara denting sendok yang terdengar. Seolah semua orang memberi waktu untuk Ryan berpikir.    Sesaat ia memang ragu. Kemantapan hatinya ingin menikahi Riani seolah sirna begitu mendengar suara berat milik Setya. Tapi di salah satu sudut hatinya, ia juga ingin memberi kesempatan padanya untuk sekali lagi, mungkin, mencintai seorang wanita. Dan kesempatan itu datang, kesempatan yang ditawarkan Mamanya untuk menikah dengan Riani.    Ryan paham betul soal beratnya ucapan akad nikah. Ia juga sama sekali tak berharap pernikahannya main-main. Seperti perjodohan pada umumnya yang berujung pada pernikahan kontrak. Ia sama sekali tak berniat menceraikan Riani pada batas waktu tertentu. Ia ingin menikahi wanita itu karena mungkin saja ia bisa mencintai Riani demi mengubur perasaan tak berbalasnya pada Elvina.    Ryan menarik nafas dalam. Meraih gelas di hadapannya. Menenggaknya beberapa tegukan.    “Ryan mantap akan menikahi Riani, Pa.” Suara Ryan memecah sunyi. Tegas dan mantap. Semua orang menghentikan makan. Menatap lurus padanya.    Mendengar jawaban putra sulungnya, Setya menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya. Menatap lamat-lamat anak laki-lakinya.    Hening beberapa saat. Bahkan Ayu yang biasanya tak pernah kehabisan bahan obrolan, kini lebih memilih diam. Memberi waktu pada suaminya untuk menilai keadaan dan mengambil keputusan.    “Ma, besok pagi beritahu Surya soal keputusan Ryan.” Pungkas Setya akhirnya.    Keputusan sudah diambil. Makan malam dilanjutkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN