Chapter 6

1168 Kata
           “Uhuk…uhuk!!!” Riani tersedak. Bagaimana bisa Ryan masih mengingat soal rencana iseng para tetua itu semalam?            “Eh, pelan-pelan, Ri. Minum dulu.” Ryan menyodorkan botol minumnya, tapi ditolak. Riani membuka botol minumnya sendiri.            “Gimana, Mas?” Riani menutup botol minumnya. Membersihkan sudut bibirnya dari sisa-sisa air minum. Irama jantungnya mulai teratur.            “Gimana tanggapanmu soal usulan Mamaku?” Ryan memasukkan sesendok penuh nasi padang ke mulutnya. Perutnya sangat lapar.            “Hmm, soal… kita yang dijodohin?” Tanya Riani hati-hati.            “He’em.” Jawab Ryan santai. Bahkan terkesan tak peduli.            Riani berdehem pelan. “Hm, Tante Ayu suka iseng banget, ya? Haha. Nggak mungkin lah. Orang tua kita ‘kan sahabatan sejak kita belum lahir, Mas. Masa mau naik level jadi besanan?” Pipi Riani merona, wajahnya terasa panas.            “Loh, kenapa? Malah bagus, dong.”            “Hm?”            “Kalo udah sahabatan lalu naik level jadi besanan ‘kan justru bagus.”            “Maksud Mas Ryan gimana?” Riani mengernyitkan dahi. Bingung dengan maksud kalimat Ryan.            “Kamu nggak setuju dengan usulan perjodohan kita?” Ryan menatap gadis berkerudung di hadapannya tepat di manik mata.            “Eh? Hm, gimana ya?” Riani salah tingkah. Tatapan Ryan seolah mampu menembus hatinya.            “Aku setuju, kok.”            “Hah?!” Riani sempurna mengang. “Ehem!” Riani menutup mulutnya. Berdehem pelan, mengatur irama jantungnya.            Beberapa menit berlalu. Keduanya sibuk menghabiskan makan siang.            Makan siang Riani sudah hampir habis. Ia melirik bungkusan makan siang Ryan. Bersih. Laki-laki itu sedang menenggak habis air mineralnya.            “Kenapa, Mas?” Riani bersuara.            “Hm?” Ryan mengernyit sembari mengusap mulutnya dengan tisu yang disediakan di meja kantin. Menutup botol air mineral yang sudah kosong.            “Kenapa Mas Ryan setuju?”            “Kenapa harus nggak setuju?” Ryan justru balik bertanya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Menunggu jawaban Riani. Tapi tampaknya perempuan itu takkan menjawab dalam waktu dekat. Ia sibuk menghabiskan makan siangnya.            “Nggak ada alasan buatku untuk nggak setuju, Ri.” Ucap Ryan begitu melihat Riani selesai makan.            Gerakan Riani terhenti. Ia menatap laki-laki bergaris wajah tegas di hadapannya. Mencari kesungguhan di kedua mata tajamnya.            Riani menghembuskan nafas pelan. Ia tak menemukan apa-apa. Tak ada kesungguhan, tak ada kasih sayang. Laki-laki itu seolah bicara tanpa perasaan. Kosong.            “Menikah itu bukan perkara satu dua tahun, Mas.” Riani berkata pelan. Matanya menatap lantai kantin.            “Iya. Karena itu aku setuju. Aku mengenalmu dari kita masih kecil, Ri. Aku nggak menemukan satu alasan untuk menolak perjodohan denganmu.”            “Kecuali?”            “Kecuali apa? Nggak ada. Aku setuju, kok. Sudah kubilang dari tadi ‘kan kalau aku setuju menikah sama kamu?” Kali ini nada suara Ryan sedikit meninggi. Agak kesal karena Riani terkesan berputar-putar.            “Mas Ryan berpikir bahwa pernikahan sama sekali tidak butuh cinta?” Kalimat Riani tajam menghunjam.            Ryan terpaku. Bibirnya terkatup rapat. Ia tak tahu harus menjawab apa.            Sekian detik hening. Riani berdiri, membawa botol air mineral yang tersisa seperempat.            “Aku kembali ke ruangan, ya, Mas.” Riani berlalu tanpa menunggu jawaban Ryan. Hatinya sesak. Ia bisa menebak bahwa Ryan tanpa pikir panjang menyetujui niat perjodohan itu. Entah apa alasannya, yang pasti ia tahu bahwa Ryan sama sekali tak menaruh hati padanya. Kenapa Ryan menyetujui perjodohan dengannya jika ia sama sekali tak mencintai? Karena usia kah? Atau karena hal lain?            Riani menghela nafas berat. Mengibas-ngibaskan tangannya, berusaha menghalau pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ini baru hari pertamanya bekerja. Jangan sampai hal-hal yang tidak penting mengganggu konsentrasinya. ***            Langkah Ryan lebar-lebar. Ia baru saja keluar dari kantin khusus pegawai begitu ditelepon oleh perawat NICU bahwa ada bayi baru masuk. Ia bahkan baru tersadar bahwa Riani sudah meninggalkannya. Ryan menggenggam handle pintu ruang NICU. Menghembuskan nafas panjang kemudian masuk. Menghalau pertanyaan Riani yang tiba-tiba terus terngiang di telinganya. Kenapa? Kenapa ia menyetujui perjodohan itu?            “Yan, ada bayi ikterus baru masuk. Gue masih sibuk sama bayi sepsis neonatorum yang masuk tadi pagi. Belum sempat gue liat. Lo aja yang megang, ya? Udah ada residen yang nanganin di sana.” Elvina terburu-buru menjelaskan. Ia sibuk dengan bayi berusia satu minggu yang tadi pagi dirujuk dari rumah sakit tipe C.    Kondisi bayi itu cukup mengkhawatirkan. Datang dengan kondisi demam tinggi, gangguan pernafasan, premature 35 minggu dengan berat badan hanya 1700 gram, dan tentu ketidak mampuan menghisap sehingga perlu dilakukan pemasangan orogastric tube. Sebuah selang kecil yang dimasukkan lewat mulut bayi hingga ke lambung. Salah satu cara pemberian makan pada bayi yang belum memiliki kemampuan menghisap baik karena usia saat dilahirkan  atau karena penyakit tertentu.    Sejak hari ini, Elvina sudah masuk kerja. Cuti nikahnya sudah berakhir. Dan kebetulan sekali hari pertamanya bekerja setelah cuti nikah justru satu shift dengan Ryan. Elvina tak masalah, tapi Ryan tampak selalu menghindarinya. Bahkan ia baru berbicara cukup panjang dengan Ryan ya barusan ini. Elvina mengerti sikap Ryan, maka ia tak memaksa Ryan untuk bersikap seolah tidak ada yang terjadi.    Ryan mengangguk mendengar sekilas penjelasan Elvina. Mengerti mengapa perawat tadi menelponnya.    “Gimana kondisinya? Kamu sudah anamnesa?” Ryan bertanya pada residen anak yang tampak sedang memeriksa bayi mungil di atas meja pemeriksaan.    “Ah, Dok.” Residen itu melepas kaitan stetoskop di telinganya. “Sudah, saya sudah anamnesa. Kondisinya nggak terlalu parah. Ini rujukan dari poli. Bayi aterm usia 6 hari, bilirubin total 18 mg/dL, pemeriksaan fisik kremer IV, Dok.” Residen itu menjelaskan secara singkat kondisi si bayi.    Ryan tampak mengangguk-angguk. Ia mempersilakan si residen untuk melanjutkan pemeriksaan sementara dirinya berlalu. Mencuci tangan dengan sabun kemudian menuju meja nurse station untuk memeriksa status pasien yang baru masuk.    Ryan menghela nafas. Sesaat tadi jantungnya berdegup kencang. Hatinya belum berpaling. Ia masih mencintai Elvina. Sangat mencintai wanita itu.    Bagaimana tidak?    Masa remajanya ia habiskan untuk belajar agar diterima di Fakultas Kedokteran di universitas impiannya. Salah satu universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran terbaik di Indonesia. Ia tak peduli saat teman-temannya sibuk pacaran, PDKT dengan gebetan, nongkrong sana sini. Ia lebih memilih ikut les persiapan tes masuk perguruan tinggi. Hingga akhirnya saat di bangku kuliah, seorang mahasiswi berparas ayu selalu menemani hari-harinya. Meski kedekatan mereka karena urusan organisasi tetap saja hatinya tersentuh. Sejak saat itu matanya hanya tertuju pada wanita itu. Wanita yang bertahun-tahun kemudian justru menikah dengan laki-laki lain.    Ryan kembali menghembuskan nafas panjang. Pikirannya berkecamuk. Ia memijit pelipisnya. Tiba-tiba ia tersentak. Disadarkan tentang sebuah hal penting. Tentang alasan mengapa ia menyetujui perjodohannya dengan Riani.    Benar. Jika ia tak mampu melupakan Elvina, maka posisi Elvina harus segera digantikan oleh seseorang yang lain. Cinta yang bertepuk sebelah tangan harus bertemu cinta bertepuk sebelah tangan yang lain. Bukankah logika seperti sangat mudah dipahami?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN