Riani menghela nafas kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi. Bersiap menuliskan laporan pemeriksaan dan tindakan pada pasiennya di dalam rekam medis. Belum sempat ia membuka map rekam medis, seorang bidan senior menghampiri.
“Dek, bisa minta tolong bantu persalinan di bed sembilan?”
“Ah, saya… ya sudah, nggak apa-apa. Bisa.” Riani berdiri. Beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Prosedur awal sebelum kontak dengan pasien.
“Makasih, ya. Maaf, nih, semua pada repot. Begini lah kalo hari Senin.” Si bidan senior itu tersenyum getir. Wajah di balik maskernya tampak berpeluh. Lelah.
“Iya, Mbak. Nggap apa-apa.” Riani balas tersenyum. Sedetik kemudian senyumnya sempurna tersembunyi di balik masker.
Sebenarnya, hari apapun gedung Instalasi Gawat Darurat ini tetap ramai. Mana ada kasus gawat darurat yang bisa ditunda? Nunggu hari kerja gitu? Nggak ada. Bedanya, saat hari kerja, jika ada pasien rawat jalan yang memerlukan tindakan mayor maka akan dirujuk ke IGD. Sehingga pasien IDG seringkali membludak di hari-hari kerja dan jam aktif pelayanan rawat jalan.
Riani yang sebelumnya bekerja di ranah komunitas pun sudah menyiapkan diri untuk hal ini. Hanya saja setelah mengalaminya langsung ia sedikit kaget. Sejak pagi tadi ia bahkan belum menenggak satu tetes air pun. Apalagi sesuap nasi.
Ruang bersalin IGD ini tak terlalu besar. Cukup untuk menampung dua puluh pasien. Perlatannya lengkap dan tersedia banyak. Memudahkan pekerjaan para tenaga medis. Riani tengah sibuk menyiapkan peralatan untuk menolong persalinan ketika seorang laki-laki berseru dari arah bed sembilan.
“Mbak bidaaan, ini siapa yang bantu nolong?” Ryan, dokter anak yang bertugas di NICU hari ini, berseru. Tangannya yang terbalut sarung tangan lateks mengacung.
Riani tergopoh-gopoh berlari menghampiri. Tangannya penuh dengan peralatan medis. “Saya, Dok.”
Kini di hadapannya terbaring seorang perempuan yang ia taksir baru berusia dua puluhan tahun. Perutnya membuncit. Wajahnya berkeringat, meringis kesakitan. Kedua tangannya mencengkram bed pasien kuat-kuat.
“Kamu bidan?” Alis Ryan berkerut. Separuh wajahnya tertutup masker.
“Iya.” Riani mengangguk.
“Residennya mana?”
“Eh?” Riani memiringkan kepalanya. Bingung.
“Kamu bidan baru?”
“Ah iya. Saya baru hari ini kerja di sini.”
Ryan mendengus. Ia memutar bola matanya kesal. Laki-laki jangkung itu paling tidak suka ada sesuatu yang memperlambat pekerjaannya begini.
Riani meringis. Paham dengan gestur kesal yang terang-terangan ditunjukkan dokter anak di hadapannya.
“Mbak, residen yang nolong siapa, nih?” Ryan kembali berseru. Tangannya diangkat tinggi-tinggi.
“Saya, Doooook!!” Seorang residen laki-laki bertubuh pendek berlari mendekat. Residen yang sama dengan orang yang menjadi relawan untuk mengecek kejadian di luar pintu kaca tadi. “Maaf, Dok. Kejar-kejaran, nih, yang partus.”
“Ayo cepet! Ibunya udah mau ngeden, nih, kayaknya.” Ryan memberi perintah.
Tomi, residen laki-laki bertubuh pendek itu bergegas. Sarung tangannya sudah berganti dengan sarung tangan steril. Ia memberi arahan pada pasien untuk membuka kakinya. Hendak melakukan pemeriksaan dalam. Namun, pemandangan begitu membuka selimut pasien membuat Riani ternganga.
Di sana, di jalan lahir wanita dua puluhan tahun itu, tampak satu kaki bayi yang sangat mungil tergantung. Hanya sebelah!
Riani belum pernah menyaksikan persalinan dengan kaki bayi yang menjadi bagian terendahnya. Hampir seluruh persalinan yang pernah ditolongnya adalah persalinan dengan presentasi kepala. Posisi yang sangat umum terjadi.
“Jangan bengong!” Ryan membentak. Suaranya menggelegar, membuat pasien di dekat bed sembilan menoleh.
Riani gelagapan. Kepalanya mendadak kosong. Tapi ia segera memahami situasi. Posisi pasien ini akan diubah untuk memudahkan menolong persalinan.
Bed pasien nomor sembilan sepertiganya dicopot, lalu dipasang penyangga kaki di kanan kirinya. Kaki pasien diletakkan di atas penyangga. Posisi ini membuat jalan lahir lebih mudah diakses.
Tomi mengenakan sarung tangan sepanjang siku di tangan kanannya. Siap melakukan tindakan. Residen berkulit putih itu memasukkan sebagian tangannya ke jalan lahir, memeriksa posisi sebelah kaki si bayi. Beruntung, sebelah kaki si bayi berada pada posisi menekuk. Maka kemudian jemari Tomi menyusuri lutut hingga ke pergelangan kaki si bayi. Ia melingkarkan jemarinya di sana, lalu dengan pelan tapi pasti menariknya keluar hingga posisi kedua kaki si bayi berada di luar jalan lahir.
Refleks tiga orang di sekitar bed pasien nomor sembilan menghembuskan nafas lega. Tapi perjuangan belum berakhir. Masih ada badan dan kepala bayi yang harus dikeluarkan. Dua bagian tubuh yang cara mengeluarkannya memerlukan durasi waktu yang berbeda, teknik yang berbeda, namun dengan ketelitian dan kecakapan yang sama.
Setengah jam berjibaku dengan kasus persaalinan sungsang, kini bayinya sudah berhasil keluar begitupun plasenta atau ari-arinya. Robekan jalan lahir sudah dijahit rapih. Bagian ini Riani yang melakukannya. Bayi mungil itu sempat tak langsung bernafas di detik-detik pertama kehidupannya. Tapi Ryan sigap melakukan tindakan. Mengerahkan tenaga untuk membuat d**a bayi itu mengembang dan mengempis dengan ritmis yang menjadi pertanda paru-parunya terisi oksigen dengan baik.
Ryan menggosok-gosok punggung bayi mungil itu, memukul-mukul ringan tepalak kakinya berharap ia menangis spontan. Sayangnya itu tak terjadi. Maka ia segera mengambil selang kecil, memasukkannya ke hidung dan mulut bayi bergantian. Menghisap sisa-sisa lendir yang mungkin menghambat pernafasannya.
Lendir sudah dihisap, posisi jalan nafas sudah terbuka, tapi si bayi belum juga menangis dan denyut jantungnya belum juga normal. Maka secepat kilat, sigap tapi tangkas, Ryan memberikan oksigen bertekanan positif pada si bayi. Merangsang agar alveolus di paru-parunya terbuka dan mengembang. Beruntung, d**a si bayi mengembang dan mengempis mengikuti irama tangan Ryan yang memencet dan melepas balon udara secara ritmis.
Satu menit yang terasa satu jam. Akhirnya bayi itu menangis. Suaranya melengking memenuhi langit-langit kamar bersalin. Ryan bernafas lega. Maka bergegas ia membungkus bayi itu agar hangat dan meletakkannya di inkubator transport. Kasus persalinan sungsang hari ini berakhir baik.
***
Riani mencuci tangannya di wastafel. Matanya menerawang. Mengingat-ingat kejadian yang baru saja terjadi. Di hari pertamanya bekerja, ia sudah mendapatkan banyak sekali pengalaman. Mulai dari pasien yang datang dengan permasalahan rumah tangga hingga kasus persalinan yang jarang sekali ia temui. Riani lanjut mengeringkan tangannya dengan tisu. Bersiap melengkapi rekam medis dua pasien yang ditanganinya hari ini.
Pukul setengah satu siang, alarm jam makan siang Riani sudah bernyanyi riang. Bunyi krucuk perutnya yang meminta jatah untuk diisi sudah tak mau menunggu. Ia menutup map rekam medis kedua yang diselesaikannya barusan dan bergegas ke kantin.
Gedung Instalasi Gawat Darurat ini memiliki dua kantin. Satu kantin untuk umum di lantai satu dan satu kantin khusus pegawai rumah sakit di lantai dua. Di kantin khusus ini penjualnya juga dari kalangan pegawai. Meski tak banyak yang dijual, tapi banyak pegawai yang lebih suka membeli makanan di sini. Justru karena sedikitnya pilihan itu membuat waktu untuk memilih makanan jadi lebih singkat.
Riani membeli sebungkus nasi campur dan sebotol air mineral. Duduk di meja dekat jendela yang jika menengok ke bawa akan menampilkan pemandangan lantai satu dari atas.
“Riani?”
Refleks ia menoleh mendengar namanya dipanggil. “Eh, Mas Ryan?”
“Loh kamu juga di IGD?” Ryan menarik kursi di hadapan Riani. Perempuan berkerudung putih itu salah tingkah.
“Ah iya.” Ia menunduk. Menyembunyikan rona merah di wajahnya.
“Kamu kerja di sini?” Ryan mengernyit. Matanya menyipit.
Riani mengangguk. Menyuap nasi campur ke mulutnya.
“Eh sebentar. Jangan bilang kamu bidan yang nolong persalinan sungsang tadi?”
Riani kembali mengangguk. Mulutnya penuh dengan nasi campur.
“Ya ampun!” Ryan menepok jidatnya. “Pasti kamu nggak tahu kalau dokter anak tadi itu aku?”
Mata Riani membulat. Mulutnya hampir menganga jika tidak ingat bahwa isinya masih penuh.
“Hahaha!” Ryan tergelak. Matanya terpejam. Tanpa sadar Riani justru menikmati pemandangan di hadapannya. “Nggak nyangka, ya, bisa satu tempat kerja.”
Riani buru-buru menunduk. Mengutuk dirinya sendiri.
“Aku juga baru ingat kalau kamu bidan.” Ryan membuka bungkusan nasi yang baru saja dibelinya. Nasi padang. Favoritnya. “Eh iya, kamu nganggap serius soal perjodohan yang diomongin semalam nggak?”