“Istri saya di mana?” Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan kumis melintangi wajahnya, mengenakan celana jeans dan kaos berwarna hitam yang dibalut jaket kulit dengan warna senada, berdiri di ambang pintu. Satpam yang bertugas seketika mundur selangkah. Terlalu terkejut dengan penampilan pengunjung yang satu ini. Tubuhnya bergidik demi melihat tato naga di leher si pengunjung.
“Hm, bapak cari siapa, ya?” Ia bertanya takut-takut. Badannya sedikit membungkuk.
“Istri saya! Istri saya di mana?” Tanyanya garang. Seolah semua orang mengenal siapa istrinya.
“Nama istri bapak siapa?” Si satpam bertanya sembari tersenyum. Khawatir menyinggung perasaan laki-laki garang di hadapannya.
“Oh iya, namanya Nina. Tadi saya ditelepon katanya istri saya dibawa ke sini. Sekarang di mana?” Ia celingukan.
“Oalah, bapak ini suaminya?”
Laki-laki garang itu mengangguk.
“Mari saya antar, Pak.”
***
Laki-laki yang datang lima menit lalu karena menerima telepon bahwa istrinya sedang pingsan dan dirawat di rumah sakit kini tengah mondar mandir di depan pintu kaca. Wajahnya yang garang tampak khawatir. Tangannya bersidekap di depan d**a. Jantungnya berdegup kencang. Otaknya terus berputar. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada istrinya.
Semenit lalu, ia sampai di depan pintu kaca ini diantar oleh satpam. Sayangnya ia belum boleh masuk. Para petugas medis sedang sibuk melakukan tindakan. Maka tak ada pilihan lain, ia harus menunggu. Menahan diri sebisa mungkin.
Sementara di dalam sana, kesibukan sangat pekat terasa. Nina, pasien yang tadi diantar ke IGD rumah sakit karena pingsan dan terluka kini telah siuman. Protokol penanganan pertama sudah dilakukan. Pengkajian keluhan secara subjektif sudah dilakukan. Menurut keterangan wanita itu, ia tercebur kali saat sedang mengendarai sepeda motor seorang diri. Entah bagaimana kemudian ia kehilangan kesadaran dan berakhir di sini. Prosedur pemeriksaan lanjutan sudah dilakukan, dan hasilnya wanita itu sedang hamil dan terancam keguguran. Bercak darah tampak di jalan lahirnya saat dilakukan pemeriksaan dalam. Meski tak ada pembukaan pada mulut rahim, tanda perdarahan sudah menjadi cukup acuan untuknya beristirahat total di kehamilannya yang masih sangat muda ini.
Nina tersedu di atas brankar, baru tahu bahwa dirinya hamil tapi sayangnya sudah terancam mengalami keguguran. Riani yang sejak tadi menanganinya, berusaha menenangkan. Ia mengelus lembut punggung Nina, membisikkan kalimat-kalimat motivasi.
Brakkk!!!
Suara gebrakan terdengar dari luar pintu kaca. Para tenaga medis di dalam ruangan seketika menoleh. Apa yang terjadi?
“Kau yang menghamili istriku, hah?!” Suara laki-laki dari luar pintu kaca berteriak. Terdengar amat menyeramkan. “Dasar binatang kalian!!!”
Brakkk!!!
Seorang residen laki-laki menjadi relawan untuk mengecek apa yang terjadi di luar. Begitu ia membuka pintu, seorang laki-laki bertubuh kurus tampak tersudut ke dinding. Wajahnya pias. Lehernya dicengkram kuat-kuat oleh lawannya. Jelas saja ia takut, penampilan si lawan seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan dirinya.
“Ada apa ini, Pak?” Si residen laki-laki itu mencoba menengahi.
“Siapa yang nyuruh laki-laki ini datang ke sini, hah?!” Laki-laki garang itu tak menurunkan suaranya. Matanya menatap penuh amarah. Nafasnya memburu. Persis seperti banteng yang siap menerkam.
Si residen menelan ludah. Mencoba menenangkan diri, padahal keringat dingin mulai bercucuran. “Bapak ini keluarganya pasien siapa?”
“Nina! Istri saya! Di mana dia?!” Laki-laki itu memaksa masuk. Tangan kirinya menyibak si residen kasar. Sementara tangan kanannya masih mencengkram kerah baju si laki-laki kurus. Membuatnya terseok-seok mengikuti gerakan tubuh lawannya.
“Bapak belum bisa masuk, Pak.” Si residen mencoba menghalangi. Sayangnya tubuh laki-laki garang itu satu setengah kali lipat lebih besar dari dirinya.
Seketika ruang bersalin IGD punya tontonan drama real life. Beberapa petugas medis dan pasien tampak terdiam menyaksikan adegan di ambang pintu kaca itu.
“Ada apa, ya?” Riani muncul dari balik pintu besi. Ruang tindakan terletak persis di sebelah pintu kaca.
“Mana istri saya?! Si Nina perempuan jalan itu ada di mana, hah?!”
Riani tersentak melihat kengerian di hadapannya. Ia menelan ludah, bulu romanya berdiri. Ia berdehem, mengatur intonasi suaranya. “Oh, bapak siapanya?”
“Saya suaminya! Dari tadi ditanya terus! Kalian b**o, ya?!”
Riani menghela nafas. Laki-laki di hadapannya sedang terbawa emosi. Percuma jika harus menasehati soal bicara sopan santun.
“Mari ikut saya.” Ia berbalik. Memberi isyarat dengan gestur tubuhnya untuk mengikutinya.
Pintu besi ruang tindakan terbuka. Nina hilang dari atas brankar. Sedetik kemudian mata Riani tertuju ke pojok ruangan. Di sana Nina meringkuk ketakutan. Matanya menatap ngeri ke depan. Wajahnya pucat. Tubuhnya bergetar.
“Jangan mendekat!” Nina berteriak pilu. Kedua tangannya menutup wajah.
Riani mengernyit bingung. Drama apa lagi ini?
Belum sempat Riani menyadari situasi, laki-laki garang di sampingnya bergerak secepat angin. Melesat ke depan, dan…
Plakkk!!!
Tamparan kerasnya mendarat di pipi kanan Nina. Saking kerasnya, kepala Nina sampai terpental ke samping. Tak berhenti di situ, laki-laki itu menjambak rambut istrinya kasar. Memaksa istrinya berdiri. Nina mengaduh kesakitan. Air matanya menetes.
Plakkk!!!
Tamparan kedua mendarat di pipi kiri wanita itu. “Perempuan gatel kau, hah?!”
“Berhenti di situ!” Tanpa sadar Riani berteriak. Tangannya mengarah ke depan. Nafasnya memburu. Matanya menatap tajam. Sementara itu, laki-laki kurus di sampingnya bergidik ngeri. Laki-laki yang terseok-seok diseret oleh suami Nina tadi.
“Kau selingkuh dengan dia ‘kan?!” Suami Nina tak mengindahkan teriakan Riani. Ia menatap garang istri dan laki-laki kurus di samping Riani. “Sampai hamil, hah?! Dasar binatang!”
Suami Nina menyeret tubuh istrinya kasar. Mendekat hingga ke hadapan Riani. Dan…
Bukkk!
Sebuah bogem mentah menghantam pipi tirus laki-laki di samping Riani. Membuat laki-laki itu terduduk di lantai. Memegangi pipinya yang memar. Setetes darah segar menghiasi ujung bibirnya.
Ruang bersalin IGD lantai dua, hari ini benar-benar punya tontonan drama real life gratis!
***
Pukul sebelas siang. Suasana di ruang bersalin kembali tenang. Meski kesibukan sangat pekat mengambang di langit-langit ruangan. Drama real life tadi sudah berakhir. Setengah jam lalu, empat orang satpam dipanggil ke ruang bersalin. Diminta membantu menghentikan keributan. Butuh lima belas menit untuk menghentikan suami Nina yang diliputi amarah. Kekuatannya besar, sebanding dengan tubuhnya. Belum lagi ia mengamuk seperti banteng di arena matador.
Kini dua laki-laki itu tengah duduk diam di luar ruangan. Riani sudah menyuruh si laki-laki kurus itu untuk pulang. Karena ia bukan keluarga pasien, maka kehadirannya tak dibutuhkan. Tapi laki-laki itu bersikukuh untuk tetap tinggal, ia ingin mengetahui bahwa kekasihnya benar-benar baik-baik saja. Riani mendengus begitu mendengar kebulatan tekad si laki-laki kurus itu. Benar-benar dibutakan oleh cinta!
Nina sudah dipindahkan ke bed pasien yang lebih nyaman. Selang infus sudah terpasang kembali di tangan kanannya. Sebelumnya ia cabut paksa saat mengetahui suaminya mengamuk. Wanita itu sudah berbaring dengan kondisi yang lebih tenang. Meski sisa-sisa tangisannya masih sesekali terdengar.
“Bu, ini obat minumnya.” Riani menyodorkan wadah plastik berisi obat-obatan yang harus dikonsumsi Nina. “Isinya ada penguat kandungan. Harus diminum rutin.”
Nina mengangguk. Tangan kirinya mengusap sisa air mata dari ujung matanya.
“Ibu akan diobservasi di sini hingga beberapa jam ke depan. Istirahat yang tenang, jangan stres.”
Nina kembali mengangguk. Wajahnya sendu.
“Bu Nina,” Riani maju selangkah. Tangannya menyentuh lengan pasiennya. “Apapun alasannya, selingkuh sama sekali tidak dibenarkan. Di agama manapun.” Ia memamerkan senyum terbaiknya.
Perempuan bertubuh tinggi semampai itu berlalu. Meninggalkan pasiennya yang kembali tergugu. Mungkin menyesal, mungkin juga kesakitan sehabis ditampar suaminya.