Chapter 3

1048 Kata
            “Pasien baru!” Seorang petugas berseragam satpam membuka pintu kaca kamar bersalin. Dibantu seorang perawat laki-laki berseragam putih mendorong brankar. Tampak di atas brankar terbaring seorang wanita berusia sekitar awal tiga puluhan dengan mata terpejam. Wajah wanita itu pucat, sebagian tubuhnya basah dan kotor, di tangan dan kakinya tampak ada luka gores dan memar.             “Bawa ke sebelah sini.” Lia, seorang bidan senior sekaligus kepala ruangan IGD lantai 2 khusus kebidanan mengarahkan. Di lengannya terselip sebuah buku besar. Ruang IGD khusus kebidanan baru selesai melakukan serah terima tugas dari shift malam ke shift pagi. “Mbak Riani, ayo ikut saya.” Lia menepuk pundak Riani yang sejak hari ini bertugas di ruang bersalin ini.             Riani mengekor dari belakang. Ia baru saja selesai menerima orientasi di hari pertamanya bekerja. Di sebelah Riani, seorang residen spesialis obstetri dan ginekologi ikut mengekor. Di lehernya tergantung sebuah kalung identitas berwarna merah, penanda bahwa ia masih residen tingkat pertama atau junior.             “Ini kenapa?” Lia bertanya begitu brankar sudah dikunci dan ditempatkan persis di tengah ruang tindakan.             “Pingsan, Mbak. Sepertinya hamil jadi langsung kami bawa ke atas.” Si perawat menjelaskan sembari menyerahkan dokumen rekam medis pasien.             “Keluarganya mana?”             Dua orang yang membawa pasien wanita itu saling pandang. Wajah mereka sama kebingungan.             “Ini pasien datang diantar warga yang lewat waktu pasien ini kecebur kali. Mereka sekarang sudah pulang. Karena mau ditahan di sini juga percuma, Mbak. Mereka nggak kenal pasien ini, cuma bantu antar ke rumah sakit aja.” Akhirnya si satpam yang menjelaskan. Ia menggaruk kepalanya yang entah betul-betul gatal atau pura-pura saja. Saking bingungnya.             “Kami juga nggak bisa ngisi apa-apa di rekam medis, oh cuma nomor rekam medis. Yang mengantar tadi bersedia mendaftarkan dan bayar biaya pendaftaran. Sisanya nggak tahu, Mbak. Kami juga bingung.” Si perawat ikut-ikut menggaruk kepalanya. Sepertinya ia perawat junior. Terlihat dari sikapnya yang masih serba ragu-ragu.             “Barang-barang pasien ini ada?” Kali ini Riani yang bertanya. Lia menoleh.             “Oh ada, Mbak. Ini.” Si perawat mengambil sebuah tas tangan dari bawah brankar. Tas tangan itu juga basah dan kotor.             Riani menerima tas tangan berwarna cokelat itu. Entah warna aslinya cokelat, atau berubah cokelat karena terkena lumpur di kali. “Boleh saya periksa, Mbak?” Ia bertanya pada seniornya. Bagaimana pun ia orang baru di tempat ini, tindakan yang bisa menuai kontroversi harus benar-benar mendapat izin.             “Untuk apa?”             “Kita cari identitasnya. Atau kita bisa juga cek hp-nya. Siapa tahu ada kita bisa hubungin keluarga atau suaminya. Kita ‘kan nggak bisa apa-apa, Mbak, kalau ibu ini nggak segera sadar? Kecuali ada keluarganya.”             Lia tampak berpikir. Lima detik kemudian mengangguk.             Tas tangan itu berpindah tempat ke atas meja besi. Isinya dikeluarkan satu persatu. Si satpam dan perawat mau tidak mau harus bertahan lebih lama di ruangan ini. Menjadi saksi proses pembongkaran tas tangan cokelat itu.             Sementara itu, si residen yang tadi mengekor mengambil peran lain. Ia memeriksa si pasien yang terbaring tak berkutik. Memeriksa tanda-tanda vital seperti tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, dan suhu tubuh. Kemudian pemeriksaan fisik pasien juga dilakukan, secara umum saja. Terutama area yang tampak mengalami luka gores dan memar. Dan terakhir, yang paling fokus, memeriksa perut si pasien menggunakan ultrasonography alias USG dua dimensi. Memastikan bahwa pasien benar-benar dalam kondisi hamil seperti yang dilaporkan.             Lima menit berlalu, di tengah ruangan si residen sibuk dengan probe USG yang menari-nari di atas perut pasien sementara di ujung ruangan Riani dan Lia selesai menggeledah isi tas tangan pasien. Berbagai barang berserakan di atas meja besi. Tapi tak satupun barang yang menunjukkan identitas si pasien. Tidak ada dompet, tidak ada KTP, tidak ada SIM, apapun yang bisa menunjukkan identitas si pasien.             “Gimana lagi, Mbak? Kita telepon keluarganya?” Riani menawarkan solusi terakhir.             “Ya sudah. Kita coba aja.”             “Mas, boleh bantu saya rawat luka?” Si residen menyela. Tangannya penuh dengan botol gel dan probe USG.             Si perawat mengangguk. Keluar dari kerumunan kemudian menyiapkan berbagai alat yang dibutuhkan untuk rawat luka.        Riani mengambil sarung tangan lateks sekali pakai. Mengenakannya di tangan kanannya saja.             “Kenapa pakai handscoon?” Lia bertanya. Alisnya bertaut.             “Kayak di investigasi-investigasi gitu, Mbak. Kalo megang-megang barang milik korban ‘kan harus pake sarung tangan. Biar sidik jarinya nggak nempel dan menganggu investigasi.”             Seketika semuanya tergelak. Ada-ada saja bidan baru ini. Mungkin begitu pikir mereka.             Kabar baiknya, ponsel milik si pasien bisa dengan mudah dibuka meski terkunci. Jaman sekarang hampir semua ponsel sudah dilengkapi fitur sidik jari, maka mudah saja mereka membuka ponselnya. Karena si empunya sidik jari terbaring tak berdaya di atas brankar.             Riani menyentuh-nyentuh layar ponsel. Lia dan si satpam mengintip ke layar ponsel. Seolah mereka sedang menonton acara yang seru sekali.             “Kayaknya ini nomer suaminya, Mbak.”             “Mi amor?” Alis Lia kembali bertaut.             Riani mengangguk mantap. “Artinya cintaku.”             Keduanya mengangguk-angguk. Seperti baru paham sesuatu yang baru.             “Eh, tapi ada lagi kontaknya, tuh.” Kali ini si satpam yang berseru. Ia menunjuk sebuah nama kontak yang berada di urutan terakhir kelompok kontak berawalan huruf M. My love. Dengan emot cinta berwarna merah.             Riani mengernyit. “Kita telepon dua-duanya aja. Satunya biar saya telepon pake hp saya.” Ia memberi penawaran.             Semuanya mengangguk mantap.             “Gimana, Dok?” Lia mendekat ke arah si residen. Meninggalkan Riani yang sibuk menyalin nomor telepon seseorang yang diduga suami pasien. Sementara itu di bawah sana, si perawat sibuk membersihkan luka gores menggunakan cairan natrium klorida.             “Betul hamil, Mbak. Alhamdulillah denyut jantung janinnya juga ada. Kehamilannya aman.” Si residen tak mengalihkan pandangannya dari layar USG. Tangan kanannya menari-nari di atas perut pasien.             Lia mengintip. Matanya memicing. Layar USG menampilkan gambar hitam putih. Sebuah kantong berisi janin kecil di dalamnya terpampang di sana. Belum terlalu jelas, tapi ukuran janin diperkirakan sudah mencapai dua sentimeter lebih. Usia kandungan yang sangat rawan terjadi keguguran.             “Belum dicek perdarahan atau enggak, ya, Dok?”             “Belum, Mbak. Habis ini saya cek.” Si residen membersihkan sisa-sisa gel di atas perut si pasien dan di ujung probe. Kemudian bersiap melakukan tindakan selanjutnya.             Tuuuut… tuuuuut… tuuuuut…             Suara nada sambung dari dua ponsel saling bersahutan. Mengambang di langit-langit ruang tindakan. Lia kembali ke meja besi tempat Riani membongkar tas tangan si pasien. Tiga orang yang mengelilingi meja besi itu terdiam. Harap-harap cemas.             “Halo?” Suara dua laki-laki yang berbeda. Dari dua ponsel yang berbeda. Yang sedang tersambung dengan dua nomor yang berbeda.             “Heh?” Riani menutup mulutnya. Matanya membulat. Alisnya terangkat. Mereka saling pandang.             Riani tak menyangka, di hari pertamanya bekerja, tindakannya justru menuai kehebohan di ruang bersalin IGD lantai dua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN