Chapter 2

1788 Kata
   “Inget nggak dulu kenapa Mas Surya milih nama Riani untuk Riani?” Ayu membuka suara. Piringnya penuh dengan nasi, gulai ikan, dan aneka lauk lainnya.    “Biar namanya mirip dengan nama anak kau. Hahahaha.” Surya tergelak. Teringat alasan anehnya dulu saat memberi nama putri tunggalnya itu.    Alhasil, semua orang di meja makan tergelak. Sayangnya tak satupun yang menyadari, ah kecuali Ryan yang duduk tepat di hadapannya, si pemilik nama sedang tersipu malu di kursinya. Menunduk dalam-dalam. Pipinya bersemburat merah.    “Eh iya, Mas Surya ada acara apa di kota ini?” Lagi-lagi Ayu membuka suara. Semua orang di keluarga Ryan mengakui, bahwa Mamanya ini memiliki kebutuhan mengeluarkan kosa kata lebih banyak daripada wanita pada umumnya. Jika umumnya wanita butuh mengeluarkan kurang lebih 7000 kata sehari, mungkin Ayu butuh dua kali lipatnya.    “Oh ini si Riani cari kos-kosan. Besok dia mulai kerja di sini.”    “Loh, di mana?” Mata Ayu membulat.    “Di rumah sakit tempat kau kerja, Yan.” Surya menyikut lengan Ryan yang duduk di sebelahnya. Membuat Ryan menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap sesendok penuh nasi dan lauk pauk.    “Eh iya kah, Om?” Tanya Ryan basa-basi. Ia melanjutkan perjalanan sendoknya.    Surya mengangguk. Melanjutkan makan.    “Wah, kebetulan banget! Riani kenapa nggak tinggal di sini aja, sih? ‘Kan berangkat kerjanya bisa bareng Ryan?”    “Mama!” Ryan mendesis tak suka.    “Nggak apa-apa, Tante. Riani udah dapat kos-kosan dekat rumah sakit, kok.” Riani tersenyum. Menolak halus tawaran wanita yang kerap kali membuatnya teringat mendiang ibunya.    “Aduh, eman uangya. Mending di sini, gratis! Makan juga gratis! Riani bisa anggap kayak rumah sendiri. Lagipula Ayahmu pasti lebih pasrah kalau kamu ada yang mengawasi daripada tinggal sendiri di kos.” Ayu masih melancarkan aksi merayunya. “Iya ‘kan, Mas?” Kali ini ia mencari dukungan dari Surya.    “Hahaha, aku terserah Riani saja. Sejujurnya betul katamu, aku merasa lebih tenang melepas anakku satu-satunya kalau ada yang mengawasi. Apalagi kalau yang mengawasi sahabat karibku sendiri. Hahaha.”    “Gimana, Ri?” Ayu menatap gadis berkerudung itu dengan mata berbinar-binar. Membuat Riani jadi semakin canggung.    “Ma, Riani mungkin nggak nyaman kalau tinggal di sini.” Ryan bersuara.    “Hush! Sok tahu kamu.”    “Anu, Tante. Makasih tawarannya. Tapi kayaknya Riani jadi ngerepotin kalau tinggal di sini.” Ekspresi Riani sangat jelas menunjukkan kecanggungannya.    “Aduh, kenapa? Oh, atau kamu nggak enak sama pacarmu kalau berangkatnya bareng Ryan?”    “Mama!” Ryan kembali mendesis. Kini matanya ikut melotot. Tapi sang Mama sama sekali tak menggubrisnya.    “Eh, Riani nggak punya pacar kok, Tante.” Riani mendadak panik. Seperti orang ketahuan mencuri jatah makanan orang lain.    “Waaaaah, ini, nih.” Ayu mendadak sumringah. Nasi dan gulai ikan di piringnya terlupakan. “Mas Surya setuju nggak kalau kita jodohin aja Ryan sama Riani?” Ide brilian yang sejak sore tadi memenuhi kepalanya akhirnya terlontar juga.    “Mama!” Kali ini Ryan membentak. Bukan lagi mendesis. Ia merasa Mamanya sudah kelewatan. Ini acara makan malam bukan acara perjodohan.    “Duduk, Yan!” Sang Papa bersuara. Tegas dan lugas.    Ryan kembali duduk. Wajahnya bersungut-sungut. Ia benci topik pembicaraan ini.    Sayangnya, sang Mama terlanjur antusias. Yang artinya tak ada yang bisa menghentikannya jika sudah bertekad. ***    Pukul sembilan malam, tamu istimewa mereka hari ini sudah pulang. Surya langsung bertolak ke kota tempat tinggalnya, sementara Riani sudah mulai menempati kamar kosnya. Sebenarnya ia ditawari untuk menginap saja di rumah Ryan malam ini, tentu saja ia tak bisa menerimanya apalagi setelah Ayu melontarkan ide perjodohan itu. Ia beralasan tidak membawa perlengkapan dan harus menyiapkan seragam kerja barunya yang ia tinggal di kamar kosnya. Untungnya Ayu mengerti. Riani jadi bisa bernapas lega.    Ah, soal perjodohan. Nyatanya para tetua antusias. Entah ide Ayu yang memang brilian atau terlalu senang membayangkan mereka bisa menjadi besan. Maka setelah ide itu terlontar dari bibir Ayu, Surya dan Bima, Papa Ryan benar-benar membahasnya serius. Tentu saja sepanjang sisa makan malam itu Ryan bersungut-sungut. Selera makannya hilang. Jika tak ada tamu, tentu ia akan memilih meninggalkan meja makan.                Sementara di hadapan Ryan, Riani mati-matian menahan degupan jantungnya agar tak terdengar oleh orang di sekitarnya. Wajahnya tertunduk dalam, pipinya panas dan memerah, bicaranya patah-patah. Untungnya para tetua bisa bersikap demokratis. Mengembalikan semua keputusan pada anak mereka. Sisa makan malam hari itu kembali berjalan normal.                “Han?”                “Iya, Ma?” Hanna tak menoleh. Tangannya sibuk dengan piring kotor dan busa sabun cuci.                “Mama keterlaluan, ya?” Ayu duduk di salah satu kursi makan. Wajahnya lesu.                “Hm?  Kenapa gitu?” Kali ini Hanna menoleh. Memastikan Mamanya baik-baik saja.                “Masmu, si Ryan. Kayaknya bakal nolak tawaran Mama, ya?” Wanita paruh baya itu menunduk.                Hanna tak langsung menjawab. Menimbang-nimbang sejenak. “Belum tentu, sih. Toh Riani orang yang udah lama kita kenal. Mungkin Mas Ryan bakal mempertimbangkan.” Akhirnya ia memilih jawaban yang paling bisa menenangkan sang Mama.                Ayu menghela nafas berat. “Mama cuma kasian sama Masmu itu. Di usia segini yang dia dapet cuma patah hati. Mau sampai kapan dia memelihara patah hatinya?”                Hanna mengeringkan tangannya dengan handuk. Menarik kursi di sebelah Mamanya. Momen seperti ini biasa terjadi. Hanna dan Mamanya sudah seperti sepasang sahabat jika sedang berdua. Saling mengungkapkan curahan hati.                “Hanna ngerti maksud Mama. Mas Ryan juga mungkin ngerti. Mama nggak usah banyak khawatir. Semoga Mas Ryan membuat keputusan yang tepat.” Hanna menggenggam jemari Mamanya. Keduanya saling melempar senyum.                Malam merangkak naik. Langit semakin pekat. Miliaran bintang tak mampu menghalau gelapnya. Kesunyian mulai mengungkung. Suara denting jam dinding semakin jelas terdengar. Malam ini Ryan tak mampu memejamkan matanya. Ia sibuk membolak-balikkan badannya, mencari posisi paling nyaman untuk terlelap. Sayangnya, isi pikirannya berkelana ke mana-mana. Memikirkan banyak hal. Terutama soal tawaran ‘perjodohan’ dari Mamanya.                Lima belas menit terpekur menatap langit-langit, Ryan beranjak dari kasur. Mengambil laptop di atas meja, menyalakannya. Bunyi desing halus dari mesin laptop yang mulai bekerja memenuhi langit-langit kamar. Ryan menggerakkan jemarinya di atas tuts keyboard.                “Mas? Gue masuk, ya?” Hanna melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar Ryan.                “Lo belum tidur, Han?” Ryan memberi isyarat adiknya untuk masuk.                “Belum. Lo ngapain?” Hanna duduk di sebelah kakaknya. Mengintip layar laptop.                “Nyelesaikan kerjaan. Besok gue shift pagi di NICU.” Ryan tak mengalihkan pandangannya dari layar laptop.                Hanna diam. Membuat desing mesin laptop terdengar jelas.                “Lo ada perlu apa ke sini?”                “Hm, lo nganggep serius omongan Mama tadi di meja makan?”                Seketika Ryan menoleh demi mendengar pertanyaan dari adiknya. Sedetik kemudian mendengus sebal.                Ryan mengangkat bahu. Tak terlalu ingin menanggapi.                “Mama cuma khawatir sama lo.”                Ryan menghentikan gerakan jemarinya. “Lo mau gue nerima perjodohan itu?”                “Bukan. Gue mau lo memikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Mau lo nerima ato enggak, itu bukan urusan gue. Tapi seenggaknya, keputusan lo berdasarkan pertimbangan yang matang.”                “Hm-mm.”                “Ya udah gue balik. Jangan tidur terlalu malam. Katanya besok shift pagi?”                “Iya iya. Lama-lama lo mirip Mama, deh.”                “Hahaha, kan gue anaknya.”                Hanna beranjak menuju pintu kamar Ryan. Persis sebelum tangannya memutar gagang pintu, ia berbalik. “Pastikan, di masa depan nanti, lo nggak menyesal dengan keputusan yang lo ambil.”                Ryan mematung. Pintu di hadapannya sudah sempurna tertutup. Menelan sosok tinggi kurus milik Hanna.                Ryan menelan ludah. Pikirannya kembali kacau. Kusut seperti benar yang terpintal-pintal. ***                “Masak apa, Ma?” Ryan sudah berpakain rapi. Duduk di meja makan.                “Aduh, Mama males masak, Yan. Badan Mama pegel-pegel. Ada ayam bakar sisa semalem, Mama angetin. Nggak apa-apa, ya?” Ayu sibuk membolak-balik ayam di panggangan.                “Nggak apa-apa, Ma.” Ryan beranjak. Mengambil gelas dan kopi kemasan. Menyeduhnya. Sebenarnya ia lebih suka kopi tubruk buatan Mamanya. Tapi apa mau dikata, Mamanya sedang tak enak badan. Ia tak mau semakin membuatnya repot hanya soal menyeduh kopi.                “Eh, kopinya belum Mama bikinin, ya? Aduh maaf, Mama lupa.”                “Nggak apa-apa, Ma. Kopi kemasan juga oke.” Ryan mengangkat gelasnya. Tersenyum ringan. Sebenarnya mereka punya pembantu. Hanya saja datangnya agak siang, sekitar pukul sembilan. Namanya Mbok Jum. Tugasnya hanya memasak untuk makan siang dan malam, lalu menyelesaikan pekerjaan rumah dan pulang sekitar pukul tiga sore. Ayu tak terlalu suka dengan pembantu yang menginap di rumah. Banyak risikonya, katanya. Mungkin Ayu kebanyakan nonton sinetron pembantu yang selingkuh dengan majikan atau pembantu yang suka nyuri perhiasan majikan. Entahlah.                “Pagi, Ma.” Hanna juga sudah berpakaian rapi. Bergabung di meja makan.                “Pagi, Han. Bantuin Mama, dong! Siapin piring sama lauk yang udah mateng di meja, ya?”                “Siap, Ma!” Hanna sigap membantu Mamanya. Menyiapkan empat piring bersih di atas meja. Menata lauk pauk di tengah-tengahnya.                Sepagi ini dapur rumah mereka sudah heboh. Padahal tak ada yang dimasak. Hanya menghangatkan makanan sisa semalam.                Orang terakhir yang bergabung di meja makan tentu adalah Bima. Penguasa tertinggi di rumah ini. Meski kekuasaannya sering diambil alih oleh istrinya. Tapi ia tak keberatan, karena istrinya adalah perempuan yang cekatan dan cerdas.                Semua orang berkumpul di meja makan. Melahap ayam bakar sisa semalam lengkap dengan sambal bajaknya.                Pukul setengah tujuh, semuanya siap berangkat. Tentu kecuali Ayu. Ia melepas satu persatu suami dan anak-anaknya. Mencium pipi mereka satu per satu. Khusus untuk Bima, ia mengecup ringan bibir suaminya. Sudah puluhan tahun ia melakukannya. Sudah otomatis. Tentu saja adegan dewasa ini dilakukan setelah anak-anaknya pergi.                “Ma!” Ryan berlari mendekat. Mobilnya dibiarkan terparkir sembarangan di depan pagar rumah.                Mata Ayu membulat. “Kok belum berangkat?”                “Soal tadi malam.”                “Tadi malam?” Alis Ayu bertaut. Menampilkan keriput yang menjelaskan usianya.                “Ryan setuju dijodohkan sama Riani.”                “Hah?!” Mulut wanita kepala lima itu sempurna menganga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN