“Jangan bercanda!”
Dari nada suara Nida di seberang sana, jelas sekali wanita itu sedang jengkel karena kelakar Jey barusan.
“Hahaha, iya maaf. Hem, kamu sedang di mana sekarang?”
“Di dalam kamar.”
“Sudah malam, aku kira kamu sudah tidur.”
“Belum, baru mau berangkat tidur, Bibi juga baru pamit pulang.” Ucapnya dengan suara pelan.
“Adakah yang ingin kamu bahas denganku, malam ini?” Tanya pria itu dengan sangat hati-hati, dia cemas kalau sampai Nida merasa bahwa dia mengawasinya selama ini. Walaupun benar demikian, itu Jey lakukan dengan tujuan menjaga keselamatan Nida.
“Kamu tahu aku merasa kurang nyaman?” Nida mengernyitkan keningnya.
Jey segera berdiri dari kursinya, sejak Nida mengantar dirinya kembali ke lokasi syuting siang tadi pria itu belum kembali ke kediamannya sampai malam ini.
“Ya, dari nada suaramu aku bisa menebak. Perasaanmu saat ini sangat tidak nyaman.” Sahut pria itu padanya.
“Kamu masih di lokasi syuting? Lembur lagi?” Tanya Nida tiba-tiba.
Tidak seperti biasanya, wanita itu hampir tidak pernah bertanya apa yang Jey lakukan. Tapi malam ini Jey merasa ada peningkatan dari hubungan mereka berdua. Nida baru saja menanyakan tentang pekerjaannya. Sampai-sampai Jey melamun lantaran terlalu senang. Pria itu lama sekali belum menjawab pertanyaan dari Nida.
“Jey?” Tegur Nida kembali, “Kamu sibuk sekarang?” Mengulang pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang sebelumnya.
“Nggak, maaf, aku hanya terkejut. Ini pertama kalinya kamu bertanya tentang diriku. Aku sangat terharu.” Ungkap pria itu dengan jujur. Jey mengusap puncak kepalanya sendiri, pria itu berdiri di luar ruangan peristirahatan.
“Jadi?”
“Ya, aku masih di lokasi syuting. Tapi aku akan pulang malam ini, besok pagi-pagi akan berangkat lagi ke sini. Kenapa? Kamu ingin aku datang menjenguk ke rumah Bapak, malam ini?” Tawarnya lagi. Kali ini nada suara Jey tidak terdengar bercanda.
“Nggak Jey, terlalu jauh. Kamu juga pasti lelah karena seharian bekerja. Cepatlah pulang dan istirahat.”
Jey kembali mengukir senyum pada bibirnya, ini pertama kalinya dia merasa Nida sangat perhatian padanya.
“Ya, aku akan segera pulang ke rumah. Di rumah sepi sekali, hanya ada aku sendirian di sana. Pelayan akan datang saat pukul tujuh pagi sampai siang hari. Tidak ada siapa-siapa di rumahku. Jadi kadang aku memilih tidur di sini. Sama seperti saat kita bertemu pertama kali waktu itu, aku malas pulang dan kamu menemukanku sendirian di dalam ruang santai.” Jey menggenggam kunci mobilnya. Pria itu melambaikan tangannya pada beberapa kru di sana tanpa memutuskan panggilan telepon dengan Nida.
“Mas Jey pulang?” Tanya penjual sate di tepi jalan begitu melihat Jey melintas. Mereka sudah lama akrab lantaran Jey sudah cukup lama menjadi salah satu pelanggannya sejak syuting mulai digelar di lokasi tersebut.
“Iya, Mang. Jey pulang duluan, calon istri Jey bilang nggak boleh terlalu lelah.” Serunya dengan sengaja agar Nida mendengar apa yang mereka perbincangkan di lokasi syuting.
“Jey, kamuu..” Seru Nida dari seberang sana.
Entah kenapa nada merajuk itu terdengar begitu manja dan merdu di telinga Jey. Suara Nida cukup untuk membuat tidurnya lelap malam ini.
“Kenapa? Bukannya benar, kamu itu calon istriku?” Sahut Jey seraya masuk ke dalam mobil. Pria itu sudah mulai melaju meninggalkan lokasi syuting menuju ke kediamannya.
“Teleponnya, kamu nggak ingin menutupnya? Kamu sedang di jalan kan?” Tanya Nida dengan nada cemas.
“Kamu sudah mengantuk? Kalau begitu aku tutup saja, kamu beristirahatlah. Sampai jumpa besok, Nida..” Telepon berakhir.
Nida menelan ludahnya, entah kenapa masih tetap kurang cocok dengan sosok Jey yang lebih memiliki gaya khas pria elite.
“Dibandingkan dengan mengucapkan salam, dia lebih sering mengucapkan sampai jumpa lagi, sampai jumpa besok. Apakah keputusanku salah memilih Jey? Kenapa tiba-tiba hatiku kembali ragu dengan sosoknya yang seperti itu?” Nida menggelengkan kepalanya, perlahan wanita itu rebah di atas tempat tidurnya.
Entah sudah berapa lama dia terlelap sampai dering alarm membangunkannya. “Sudah subuh?” Ucapnya seraya bangkit dari atas tempat tidurnya. Di ruang tengah Nida mendengar sayup-sayup suara ayahnya beserta ibunya sudah memulai munajat awal pagi. Akila dan Syifa bahkan juga sudah bergabung bersama Nenek dan Kakeknya. Wanita itu segera pergi ke belakang untuk bersuci lalu bergabung dengan mereka di sana.
“Mama bangun kesiangan ya?” Akila mengambil telapak tangan Nida, berikutnya Syifa.
“Ya, Mama kesiangan. Kenapa Akila dan Syifa nggak bangunkan Mama?”
“Nenek bilang sama Akila, sama Syifa juga kalau Mama capek, nanti Mama akan bangun sendiri.”
Bu Ratmi tersenyum mendengar ucapan dari bibir mungil Akila, Nida segera mengambil telapak tangan ibunya juga ayahnya.
“Bu, Pak..”
“Kamu siapkan sarapan untuk anak-anak, ibu mau ke pasar dulu.” Serunya pada Nida.
“Kenapa nggak nunggu Bi Suti saja, Bu?”
“Cuma belanja sedikit, Ibu akan minta Ujang buat antar Ibu.”
Nida segera pergi ke dapur, baru berjalan sampai di ruang makan Akila dan Syifa segera menahan tangan Nida.
“Mama, Mama nggak usah masak.” Ucap dua anak itu bersamaan.
Nida kaget sekali, wanita itu segera menarik kursi meja makan lalu duduk di sana. “Kenapa Mama nggak boleh masak? Nanti bagaimana dengan sarapan kalian?” Tanya Nida dengan wajah bingung.
“Asalamu’alaikum..” terdengar suara seseorang mengucap salam. Suara tersebut terdengar dari pintu samping ruangan makan tersebut.
Percakapan Nida beserta kedua putrinya terhenti. Nida merasa familiar dengan suara orang tersebut. Tapi ucapan salam yang dia dengar rasanya asing dan mustahil dia akui kalau itu adalah suara Jey! Seorang Jey!
“Waalaikumsalam..” Sahut Bu Ratmi. Kebetulan Bu Ratmi sudah keluar dari pintu belakang, dan wanita itu melihat sosok pria dengan baju koko serta celana panjang. Ada peci putih di atas kepala pria tersebut. Awalnya Bu Ratmi mengira kalau itu adalah Rafa Hanafi, namun Rafa tidak akan memiliki gaya seperti yang dia lihat seperti saat ini. Meskipun dengan pakaian seperti itu, tetap saja penampilan pria itu terlihat modis dan berkelas. Pria itu juga membawa seorang teman di belakang punggungnya.
“Nak Jey?!” Seru Bu Ratmi ragu-ragu.
“Bawa ini. Ton..” Ucap pria itu pada pria di belakang punggungnya.
Bu Ratmi baru mengenalinya setelah pria itu menyerahkan sarung yang tadinya berada di atas bahu kanannya pada asistennya di belakang punggungnya, lalu mengambil telapak tangan Bu Ratmi.
“Maaf Bu, Jey bikin kaget datang subuh-subuh begini.” Ucapnya dengan senyum hangat.
“Eh, nggak apa-apa, ayo masuk ke dalam.” Bu Ratmi segera mendahuluinya menuju ke pintu dapur.
Nida tidak tahu siapa yang datang, wanita itu hanya mengenakan terusan longgar dengan lengan pendek. Nida masih duduk di kursi meja makan menemani Akila dan Syifa karena mereka menolak untuk dibuatkan sarapan olehnya. Nida tidak tahu kalau Jey sedang berjalan masuk dan pria itu sudah tiba di dapur.
“Kok sepertinya ada orang, Mama masuk dulu mau ambil kerudung.” Tanpa persetujuan dari Akila dan Syifa, Nida berlari masuk ke dalam dengan langkah cepat.
“Ibu mau ke pasar dulu, kamu temani Bapak di rumah. Ah, Akila dan Syifa juga sudah bangun.” Ucap wanita itu pada Jey.
“Baik, Bu.” Ucapnya dengan senyum ramah. “Ton! Kamu bawa masuk makanannya ke dalam.” Perintahnya pada asisten yang menemaninya.
“Iya, Pak.” Tono dengan tergopoh-gopoh mengikuti Jey menuju ke ruang makan. Nida baru saja memakai hijabnya. Jey tahu kalau wanita itu tadinya terburu-buru lantaran mendengar dirinya berbincang dengan Bu Ratmi.
Melihat Jey datang, ayah Nida segera menyambutnya. “Tumben pagi-pagi datang? Apa ada hal penting yang membawa Nak Jey pagi-pagi ke sini?”
“Nggak ada Pak, ini Jey datang cuma untuk membawakan sarapan untuk Akila dan Syifa.” Ucapnya pada calon ayah mertuanya tersebut.
“Ya sudah sana, mereka ada di ruang makan.” Tunjuknya pada Jey.
Jey membungkuk hormat, pria itu juga mengambil telapak tangan ayahnya Nida lalu menuju ke arah Akila dan Syifa.
“Om, kapan datang? Tumben pagi-pagi ke sini. Baru turun subuh loh, masih gelap di luar.”
“Ton, bawa ke sini bingkisannya.” Ucapnya pada asistennya itu. “Iya, tadi Om kebetulan lewat jadi mampir.” Serunya sambil tersenyum.
Jey mengambil bingkisan dari Tono lalu meletakkan di atas meja makan. Pandangan matanya beralih ke arah Nida yang masih berdiri di ambang pintu kamar. “Kamu makan juga, sekalian.” Ucapnya pada Nida.
“Jey, baju yang kamu pakai..” Nida terpaku menatap penampilan pria itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Walau sarung yang tadinya Jey kenakan sudah berpindah ke atas bahunya dan pria itu sudah berganti dengan celana panjang warna gelap. Baju koko lengan panjang dia gulung sampai setinggi siku. Pria itu masih sibuk mengeluarkan kotak makan dari dalam plastik.
“Kenapa? Apa penampilanku pertama kali saat bertemu denganmu kemarin-kemarin tidak memungkinkan aku memakai ini? Aku muslim, Nida.. jika tidak, maka aku tidak akan berani melamarmu.” Ucapnya pada wanita itu.
“Ya, maafkan aku..” Nida merasa kikuk dan serba salah. Wajah bersih pria yang kini berpenampilan hampir menyerupai Rafa Hanafi membuat detak jantung Nida berdebar-debar. Awalnya dia mengira kalau Jey, sosok pria yang sangat jauh dari agama. Pria yang hanya peduli dengan kesibukan dan hura-hura di luaran sana. Bahkan Nida sempat mengira kalau Jey lupa dengan kiblat-Nya!
“Pak Jey? Saya keluar dulu, mau nunggu di mobil saja.” Pamit Tono padanya lantaran tidak ingin mengganggu kebersamaan antara Nida dan Jey.
Nida berjalan pelan, mendekat ke arahnya. Sementara Syifa dan Akila membawa bingkisan makanan itu ke dapur untuk meminta suap pada Bi Suti.
Nida menarik kursi dan duduk di sana. “Aku buatkan kopi dulu..”
“Eh, tidak usah. Aku sudah minum kopi tadi..”
“Jika kamu muslim, maka alkohol kemarin saat kamu mengunjungiku di rumah lama. Apakah kamu..”
“Aku nggak minum alkohol, temanku yang minum.”
“Tapi kamu pernah minum?” Tanya Nida dengan nada serius.
“Pernah, tapi tidak sampai mabuk.”
Nida meremas gaunnya, Jey tahu wajah muram di seberang mejanya itu menentang keras apa yang dia katakan barusan. “Aku sudah janji tidak akan minum lagi, setelah menikah denganmu nanti. Aku ingat dengan janjiku.”
“Bisakah kamu memenuhi janjimu?” Nida mengangkat wajahnya, kedua bola mata jernih milik wanita itu benar-benar terlihat sangat cantik sekali bagai butiran embun yang sejuk tatkala Jey menatap kedua matanya. Nida merasa ragu kalau Jey bisa memegang ucapannya, apalagi yang sering dia lihat dari sisi penampilan Jey saat hadir di depan matanya, sosok Jey terlihat seperti pria arogan, dan sedikit nakal.
“Insya Allah.. Nida.”
“Aku pegang janjimu, Jey, aku akan menghukummu jika kamu melanggarnya!” Nada suara Nida terdengar kesal sekali.
“Ya, kamu boleh memukulku dan aku tidak akan melawan jika sampai aku tidak memenuhi janjiku.”
“Tidak, aku tidak akan memberikan pukulan. Aku tidak mungkin bertindak seperti itu.” Ucapnya sambil memainkan ujung kerudung yang ia kenakan.
“Lalu?” Jey mengernyitkan keningnya, menatap Nida dengan tatapan tidak mengerti.
“Kamu tidak boleh masuk ke dalam kamarku.” Seru Nida dengan wajah menunduk, suara wanita itu hampir tidak terdengar olehnya.
“Alhamdulillah........” Lega sekali rasanya Jey mendengar Nida mengatakan itu.
“Dasar, aku bilang kamu nggak boleh masuk! Kok malah Alhamdulillah??!” Nida melotot bingung, wajah wanita itu terlihat sangat lucu sekali.
“Ya sebaliknya, jika aku tidak minum alkohol artinya aku bisa tinggal di dalam kamarmu.” Sahutnya santai sambil terkekeh geli. Dia sendiri sebenarnya juga merasa gugup, dalam hubungan rekan kerja, teman, Jey mungkin bisa bersikap biasa saja pada wanita. Tapi saat ini di hadapannya itu adalah wanita yang dia cintai. Tempat di mana dia akan melabuhkan hatinya. Tempat dia melepas gelisah dan penatnya. Dan jika wanita itu berpaling atau menutup diri darinya maka dia akan merasa sangat sedih.
Nida terdiam, entah kenapa tadi dia mengatakan hal itu pada Jey. Kini Nida membeku dan cemas lantaran belum sepenuhnya bisa menerima Jey.
“Jangan takut, hei, aku hanya bercanda..” Jey berniat mengambil telapak tangan Nida, tapi hanya terhenti tepat setelah tangan kanannya terulur. Jey tidak berani menyentuh tangan wanita itu. Nida mengangkat wajahnya dia melihat tangan Jey sudah berada di atas punggung telapak tangan kanannya namun tanpa menyentuhnya. Tangan itu berada tepat di atas tangan Nida.
“Maaf..” Seru Jey seraya menarik tangannya kembali. “Aku akan menunggu, sampai kamu benar-benar bersedia menerimaku.”
“Kamu tidak salah, Jey. Aku yang salah, jika menikah maka sudah seharusnya..”
“Nggak apa-apa, Nida. Aku ikhlas, okay? Jangan dipikirkan lagi.” Tambah pria itu demi menenangkan hati wanita tersebut.
“Aku akan makan sarapan yang kamu bawakan, kamu sudah makan belum?” tanyanya seraya membuka bingkisan tersebut.
“Sudah tadi, kamu saja yang makan. Ah berikan juga untuk Bapak dan Bibi.”
“Hem,” angguk Nida seraya berdiri dari kursinya, lalu membawa sisa bingkisan itu menuju ke dapur. Nida kembali ke ruang makan dengan langkah pelan.
“Maaf aku datang nggak bilang-bilang, habisnya semalam aku cemas khawatir kamu masih nggak nyaman.” Seru Jey pada akhirnya. Itulah tujuan dia datang pagi-pagi sekali sepulang dari masjid di dekat kediamannya, karena terburu-buru dia lupa menaruh sarungnya. Untung Jey membawa celana ganti di dalam mobil.
“Nggak apa-apa, lagi pula semalam aku buru-buru menutup telepon tanpa menjelaskan yang sebenarnya padamu. Sebenarnya, kemarin Mas Rafa datang, dia bilang datang ke sini karena ingin mengunjungi anak-anak. Kamu nggak marah kan? Aku tidak nyaman menceritakan ini sama kamu, apalagi sebentar lagi kita akan menikah.” Ucapnya pada Jey dengan wajah khawatir.
“Tidak apa-apa, Nida. Lagi pula memang Rafa ayah dari kedua putrimu, asalkan kamu bisa menjaga kehormatanmu sebagai istriku, dan tidak mengkhianati kepercayaan yang aku berikan padamu. Mungkin jika kita menikah nanti, aku bakalan lebih sibuk dari Rafa. Aku sering keluar kota, ada banyak acara yang harus aku hadiri. Kamu tidak masalah kan dengan itu?” Tanya Jey sambil menatap cermat wajah Nida.
Nida mengangguk pelan, Jey merasa lega sekali.
“Itu, kalau misalnya kamu ingin sekalian ikut pergi bersamaku, kita bisa juga pergi bersama.” Nada suaranya terdengar begitu canggung.