Kamis (23.08), 14 Oktober 2021
--------------------------
Waktu terus berjalan
Desiran angin menemani dalam kesunyian malam
Detik, jam, hari, terus dan terus dilewati
Hingga arah angin membawa waktu pada jalan ini
Angin menunjukkan pada kita,
seberapa dekat tepi jalan yang dituju
Tiap desiran angin membisikkan rahasia
Dalam bahasa sendiri yang tak bisa dimengerti
Aku mendengar serpihan angin
Yang akan menuntun jiwa ke tempat semestinya
Ia kumpulkan dan ingat semua suara jiwa
Lalu mengirim jiwa berbicara
Di tiap kemerlap malam nan sunyi
Ada kekuatan angin yang tersirat di tiap desirannya
Berjalan melewati waktu yang silam
Menuju sinar mentari pagi
Yang memberi hembusan angin sejuk dan penerangan
Juga hiasan awan,
serta langit yang menantang di sepanjang alam
Berjalannya waktu pukul tiga dini hari
Angin makin tebarkan aromanya yang segar
Membangunkan jiwa yang sedang tidur
Memungkinkan semua ‘kan jadi nyata
Dan memberi ruang napas sebelum hilang
17 April 2021
By Khairul Anwar
Khairul melirik jam di ponselnya. Tepat pukul 00.52 saat dia mengirim puisi itu pada Emilya. Kini kantuk mulai menyerang. Dan ia biarkan alam mimpi menelannya.
Keesokan paginya Khairul masuk sekolah seperti biasa. Memang saat ini masih masa pandemi. Namun SMK Bintang termasuk dari sedikit sekolah di Kabupaten Probolinggo yang mulai menerapkan tatap muka secara bergiliran.
Setelah memarkir motor, Khairul berniat langsung menuju ruang guru. Tapi langkahnya terhenti saat sekilas dia melihat Bu Elisa masuk ke ruang guru. Seketika Khairul berbalik, tancap gas menuju kelas pertamanya.
Meski tak ingin mengakui, dirinya takut bertemu Bu Elisa. Takut Bu Elisa marah atau semacamnya setelah tahu Khairul mencoba mendekati sang adik. Apalagi Bu Elisa merupakan salah satu senior di SMK Bintang yang cukup disegani.
Hari ini terasa sangat menakutkan di satu sisi namun lucu di sisi lain. Khairul terus-menerus menghindari Bu Elisa seperti buronan yang takut tertangkap sipir penjara. Sebenarnya dia sudah melakukannya sejak pertama kali mengirim pesan pada Emilya. Namun hari ini alam seolah sedang mengajaknya bercanda. Tiap Khairul berusaha menghindar, tiba-tiba saja dirinya berpapasan dengan Bu Elisa. Begitu terus hingga jam terakhir.
Hufftt!
Kali ini Khairul sengaja tak langsung keluar dari kelas terakhir. Dia berharap saat menuju ruang guru nanti, Bu Elisa sudah pulang.
Tapi lagi-lagi keberuntungan masih belum berpihak padanya. Memang sebagian besar rekan gurunya sudah pulang dan menyisakan segelintir orang. Namun orang yang ingin Khairul hindari menjadi salah satu dari sedikit orang di ruang guru.
Duhh…
Berusaha bersikap biasa, Khairul menuju lokernya untuk menyimpan lembar kerja anak-anak. Kegiatan itu hanya butuh waktu kurang dari lima menit. Namun rasanya bagai berabad-abad hingga punggungnya berkeringat.
Napas lega baru bisa Khairul hembuskan begitu ia mengunci pintu loker dan bersiap melarikan diri dari sana. Tapi baru beberapa langkah menuju pintu keluar ruang guru, tiba-tiba suara yang sangat dikenalnya memanggil.
“Pak Ilong!”
DEG.
Terpaksa Khairul berhenti lalu menoleh sambil berusaha mengulas senyum. “Iya, Bu?”
“Sini sebentar. Saya mau tanya sesuatu.”
Mampus!
Astaghfirullah!
Sejenak Khairul menelan ludah lalu menghampiri tempat Elisa duduk dengan tangan yang berubah dingin. Rasanya dia sedang menuju arena hukuman. Jantungnya berdegup seolah akan melompat keluar dari mulutnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Khairul hati-hati begitu ia duduk di depan Elisa. Entah kursi milik siapa.
“Kelihatan sekali samean menghindari saya seharian ini.”
Duh, parah. Ketahuan!
Rasanya Khairul ingin menenggelamkan kepalanya di dalam tanah saat ini juga.
“Bukan begitu, Bu. Cuma—”
Elisa mengibaskan tangan. “Sudahlah, saya mengerti kok.”
Lalu Elisa terdiam. Membuat jantung Khairul berdebar makin menyakitkan. Ini seperti menunggu vonis kematian dari dokter. Kira-kira apakah dirinya masih bisa keluar hidup-hidup setelah ini atau Elisa akan langsung menelannya bulat-bulat karena dirinya dianggap telah mengganggu sang adik?
Ya Allah, tolong lindungi hambamu, doa Khairul dalam hati.
“Samean chat adik saya, kan?”
DEG.
“Iya, Bu.” Khairul mengangguk dengan kepala tertunduk.
Kenapa rasanya seperti dia sedang disidang guru karena ketahuan berbuat nakal? Dan mungkin efek gugup, cerita bagaimana perkenalan antara dirinya dan Emilya pun mengalir.
“Lalu… samean ngerasa cocok?”
Tanpa perlu pikir panjang Khairul menjawab, “Kalau bisa diajak serius, ya saya serius.” Dia tak bisa menahan diri untuk menambahkan, “Maaf, Bu.”
“Saya gak berniat melarang kok. Tapi gimana pun, Emilya adalah adik saya. Bukan sekedar adik malah. Dia seperti anak saya sendiri. Tentunya sebagai orang tua, saya ingin melindunginya.”
Kali ini Khairul hanya mengangguk sementara ibu jari kanannya menggaruk kasar punggung jari kiri untuk meredam kegugupannya. Sejenak dia melirik rekan gurunya yang masih di sana. Namun tak ada yang memerhatikan mereka karena sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Bisa dibilang, Emilya agak sulit menerima pernikahan. Dia bahkan sering berkata, tidak mau menikah,” lanjut Elisa. “Mungkin efek saya pernah menjodoh-jodohkannya. Mungkin juga efek ibu kami sering memaksanya menikah dan menjadikan teman-teman seumuran Emilya sebagai cermin. Atau bahkan efek banyak pernikahan yang gagal dan impiannya untuk keliling Indonesia sendirian. Entah yang mana. Intinya dia benar-benar sulit, apa yah…”
Tanpa perlu dijelaskan, Khairul mengerti. Emilya memang kerap kali menunjukkan ketidaktertarikannya terhadap pernikahan.
“Yah, begitulah. Karena itu saya tidak ingin ikut campur urusan kalian. Tapi tetap saja… sebagai orang tua saya ingin memastikan kalau samean tidak berniat menyakiti adik saya.”
Seketika Khairul mendongak seraya bergeleng. “Demi Allah saya tidak ada niat seperti itu, Bu.”
Elisa tersenyum. “Senang mendengarnya. Saya tahu persis samean gimana. Jadi saya cuma mau pesan, kalau memang serius, saya kasih pintu. Karena kalau samean memang bersungguh-sungguh, pasti bakal cari cara. Sampai sekarang masih sering chattingan, kah?”
“Sering, Bu.” Walau kebanyakan digantung sih. Tapi termasuk sering, kan?
Elisa tersenyum. “Jujur saya bangga samean bisa temukan jalannya. Adik saya gak semudah itu. Pokoknya saya gak mau ikut campur. Saya mau tahu sampai mana perjuangan samean.”
Apa dirinya sedang ditantang?
“Saya benar-benar bukan hanya ingin kenal. Kalau adik Bu Elisa mau diajak serius, saya juga serius.” Kembali Khairul mengulang kalimatnya.
“Kalau gitu… saya mau titip Emilya. Jika nanti jadi suami, tolong jadi suami sekaligus ayah. Dan lagi, bisa dibilang Emilya agak manja orangnya. Mungkin tidak sopan juga. Jadi tolong dimaklumi dan mohon sambil diarahkan.”
Lagi, tak ada komentar apapun yang Khairul ucapkan selain mengangguk. Malah otaknya berputar mencerna kalimat Elisa. Dia ingin bertanya lebih jauh. Namun rasa sungkannya lebih mendominasi.
“Sebaiknya saya pamit sekarang,” tiba-tiba Elisa berdiri. “Tapi satu lagi, Pak…”
“Apa, Bu?” tanya Khairul seraya turut berdiri.
“Bisakah samean menyampaikan pada saya obrolan kalian? Maksudnya saat adik saya menunjukkan penolakan. Mungkin saya bisa bantu menerjemahkan sikapnya. Anda tahu sendiri saya yang paling tahu sifatnya.”
Tentunya terasa risih menyampaikan obrolan pribadi pada orang yang dianggap ‘orang tua’. Tapi tawaran ini menguntungkan juga. Mungkin saat Khairul tak mengerti sikap Emilya, dia bisa menanyakannya pada Elisa.
“Enggeh, Bu. Terima kasih.”
Elisa tersenyum lalu berbalik menjauh dari hadapan Khairul, membuat lelaki itu kini benar-benar bisa bernapas lega.
***
Kini Khairul berbaring di atas kasur lantainya sambil menunggu pesannya yang tak kunjung dibalas. Otaknya memutar ulang kejadian di sekolah tadi. Bukan hanya obrolan dengan Bu Elisa, tapi juga obrolan dengan Bu Asti yang mencegatnya di parkiran.
“Tadi saya lihat samean ngobrol serius sama Bu Elisa,” ujar Asti di parkiran. “Ngomongin adiknya, ya?”
“Sok tahu. Padahal ngomongin anak-anak,” bohong Khairul. Jelas dia lebih nyaman mengobrol santai dengan Asti ketimbang Elisa.
“Cih, saya gak percaya. Lagian Bu Elisa tahu kok samean dapat nomer adiknya dari saya.” Lalu Asti melanjutkan setengah menggoda, “Gimana? Dapat restu?”
Khairul terkekeh dan akhirnya memilih jujur. “Tentu saja.”
Asti mengacungkan ibu jari dengan raut senang. “Tapi katanya ya Pak… bakal sulit taklukkan adik Bu Elisa.”
Kalimat terakhir itu yang terus terngiang dalam benak Khairul saat ini.
Sulit? Masa, sih?
Elisa juga sempat beberapa kali menyiratkan hal itu dalam obrolan mereka tadi di sekolah.
Tiba-tiba Khairul duduk, mengarahkan ponsel di depan wajahnya, lalu memotret dirinya sendiri dan ia perhatikan tampilan wajahnya di layar ponsel.
Gak jêlek kok, pikir Khairul sambil mengamati fotonya dari berbagai posisi. Masa tidak bisa sih naklukkan hatinya?
Lalu dia menyandarkan punggung. Pikirannya melayang menyusun rencana.
Target 1: Obrolan nyambung
Target 2: Coba telepon
Target 3: Video Call
Target 4: Ajak keluar
Target 5: Tunangan
Target 6: Nikah
Target pertama sukses. Sekarang target kedua, coba telepon. Bisa tidak, sih? Tapi kenapa tidak? Man jadda wa jadda.
---------------------------
♥ Aya Emily ♥