Uhibbuki

1668 Kata
Jumat (17.19), 15 Oktober 2021 ------------------------ Lagi, Emilya sengaja mengabaikan chat Khairul. Ditambah dirinya memang tengah sibuk menyiapkan kontrak novel dan merekap tabungan Hari Raya. Tabungan ini bukan dibagikan berupa uang, melainkan sembako hingga proses rekapnya sedikit lebih rumit. Namun tak bisa Emilya pungkiri, dia masih terus terngiang chattingan kemarin. Mungkin Khairul pikir dirinya tak mengerti apapun karena bukan merupakan ‘anak pondok’. Padahal Emilya adalah anak Teknik Informatika yang nyasar ke Sastra. Tentunya anak TI lebih dekat dengan Bang Google yang serba tahu. Ukhti Habibati… Begitu kata itu pertama kali Khairul gunakan, Emilya langsung browsing di google mencari artinya. Seketika dia mengerti, Khairul menggunakan ketidaktahuan Emilya untuk menggunakan panggilan sayang. Saat itulah sifat iseng Emilya timbul. Dia mencari-cari panggilan sayang yang sama untuk laki-laki. Lalu pura-pura polos dan tak paham apa artinya. Akhi Habibi… Kalau Akhi digabung dengan Habibi, jadinya Abang Saranghaeyo. Emilya berusaha untuk tidak tergelak saat teringat ucapan Khairul kemarin. Lalu buru-buru ia menghalau ingatan mengenai Khairul agar bisa konsentrasi pada pekerjaannya. “السلام عليكم” Pesan itu muncul di notifikasi ponsel Emilya sekitar pukul 12 siang. Saat dia membukanya, ada beberapa pesan lain yang Khairul kirim pukul satu dini hari tadi, termasuk sebuah puisi. Sebenarnya Emilya tak begitu paham puisi. Dia bahkan tak pernah bisa sepenuhnya mengerti makna tersirat dalam puisi. Namun secara garis besar dia mengakui bahwa puisi yang Khairul buat memang indah dengan diksi yang dipilih secara cermat. Dan di beberapa baitnya terselip rayuan bahkan mungkin bisa dibilang ajakan untuk menjalin hubungan. Merasa sudah cukup mengabaikan Khairul sejak semalam, akhirnya Emilya membalas, “Wa’alaikumsalam.” Lalu ia melanjutkan mengomentari puisi Khairul. “Harusnya jadi guru Bahasa Indonesia. Kok bisa yah? Kalau aku bikin puisi hasilnya pasti lebay.” Itu memang benar. Emilya pernah mencoba di salah satu novelnya. Si tokoh pria merayu menggunakan puisi. Dan hasilnya benar-benar lebay. Untung Emilya memang menggambarkan si cowok merupakan tipe yang tengil. Jika tidak, hancur sudah karakter tokohnya. “Enggeh, karena samean pengarang novel, bukan puisi. Ayo padukan wes antara novel dan puisi.” Kenapa kedengarannya… ada maksud lain? Seperti bukan sekedar ingin memadukan novel dan puisi tapi… “Kapan-kapan kalau ada ide cerita yang cocok, aku izin pakai puisinya, hehe.” “Enggeh, monggo.” Lalu Khairul melanjutkan. “Aku masih di SMK buat materi besok Pondok Ramadhan.” Perasaan gak ada yang tanya. Emilya menahan senyum geli. Bahkan Khairul juga mengirim video pendek menunjukkan kegiatannya. Mulai bersikap seperti Akhi Habibi sungguhan? “Kasihan sendirian.” Kali ini Khairul mengirim foto ruangannya dengan seorang guru tampak duduk di kejauhan. “Gak sendirian. Ada temannya.” Kembali Emilya mengabaikan pesan Khairul dan hanya membacanya di layar notifikasi. Dia tidak mau terlalu sering menanggapi. Takutnya si Pak Guru yang sedang mencari cinta itu mengartikan sikapnya sebagai ketertarikan. *** “السلام عليكم” Masih di hari yang sama, 17 April 2021 pukul sembilan malam, sebuah pesan salam yang mulai familiar bagi Emilya kembali hadir. Kali ini Emilya memilih membalas, “Wa’alaikumsalam.” “Lagi apa jenengan, Ukhti?” “Lagi balas chat Mas.” Tidak salah, kan? Khairul mengirim stiker mata penuh bintang sebelum bertanya, “Sekarang malam minggu, gak jalan-jalan samean?” Refleks Emilya mengecek tanggal di ponselnya lalu terkekeh. “Sekarang malam minggu? Aku malah gak tahu, hahaha…” Khairul mengirim stiker anak lelaki yang menangis. “Lah, Mas sendiri gak keluar?” “Ini sek di pantai bohay sama temen guru.” DEG. Tanpa bisa dicegah, ada rasa pedih sekaligus iri di hati Emilya. Yang dilakukan Khairul sekarang adalah impiannya sedari dulu. Jalan-jalan bersama teman dan melakukan banyak hal tanpa pengawasan keluarga. Emilya tak pernah melakukannya sama sekali. Dia bepergian hanya selama kegiatan sekolah atau liburan bersama keluarganya. Jujur yang Emilya lakukan sehari-hari hanya di dalam rumah. Ditambah pekerjaannya sebagai penulis membuatnya tak perlu keluar rumah sama sekali. Benar-benar di dalam rumah. Dia keluar hanya untuk ke toko, pasar, atau saat mbaknya mengajak ke suatu tempat. Tak heran tanpa sepengetahuan keluarganya Emilya kerap kali merasa stres sampai kondisinya down. Itu benar-benar siksaan. Dia merasa seperti dipenjara tanpa jeruji. Emilya mengerti apa yang dilakukan keluarganya demi kebaikannya. Mereka terlalu sayang dan khawatir dia kenapa-napa jika keluyuran tak jelas. Jadi sangat sulit bagi Emilya untuk memberitahu mereka bahwa terkadang dia butuh waktu sendirian dan merasa bebas. Butuh kesempatan untuk memutuskan segalanya sendiri. Terkadang Elisa dan Mas Ali memang membiarkan Emilya memilih, memutuskan sendiri. Tapi di bawah pengawasan dan tatapan mereka, jelas tak bisa dibilang keputusannya sendiri. Karena bagaimanapun mereka akan tetap memberi masukan dan wejangan yang akan mempengaruhi keputusannya. Sering kali sikap mbak dan masnya yang terlalu mengekang menimbulkan sikap membangkang dalam diri Emilya. Meski ujungnya dia akan tetap menurut, tapi pasti diawali dengan perdebatan. Hanya sekedar untuk meyakinkan bahwa dirinya pun bisa memilih dan memberi keputusan. Berusaha menghalau pedih di hatinya, Emilya membalas pesan Khairul tadi. “Enaknya…” Sengaja dia membubuhkan emosikon berkaca-kaca untuk sedikit menunjukkan isi hatinya. “Pengennya ajak samean,” Khairul menambahkan emosikon malu. “Aku pengen yang jauh.” “Jangan jauh-jauh. Takut hilang.” “Memang pengen menghilang.” Mungkin Khairul tak menyadarinya. Tapi Emilya jelas-jelas mulai membuka diri. Tanpa sengaja menunjukkan kelemahannya. Menunjukkan sosok wanita dalam sudut gelap yang selalu mendambakan cahaya dan kebebasan. Dia hanya pernah menunjukkan sosok yang ini pada teman-temannya di dunia maya. Pada orang-orang yang tak mungkin bersinggungan di dunia nyata. Sementara pada orang di dunia nyata di luar rumahnya, dia menampilkan sosok wanita periang yang seolah tak punya beban hidup. “Beh, bagaimana nasib orang-orang yang berada di sekeliling samean kalau samean menghilang?” Lagi, mungkin Khairul tak mengerti isi hati Emilya sekarang. Mungkin ini hanya obrolan sambil lalu bagi lelaki itu. Tapi ucapan Khairul terasa menohok. Terasa tepat sasaran. “Udah saatnya aku ngejar impianku biar segera ikhlas dan gak ada ganjalan untuk ke tahap yang lebih serius.” “Ya, aku doakan yang terbaik pokoknya ke jenengan, Ukhti. Dan kuselipkan احبك di sepertiga malam.” (Uhibbuki, aku mencintaimu, ditujukan untuk perempuan. Tapi bisa juga berarti Uhibbuka, ditujukan untuk laki-laki, karena di sini memang tanpa harakat—Ay) “Kalimat terakhir itu apa?” Seperti biasa Emilya langsung browsing di google. Tapi karena dia tidak bisa membaca tulisan arab tanpa harakat atau tanda baca, dia kesulitan menemukan artinya. Bacanya gimana? Ahbakk? Hibbakk? Ahbaka? “Ada kasih yang mulai tumbuh. Yang kini aku pupuk sebaik mungkin dan juga aku jaga,” balas Khairul diiringi emosikon malu. Hah? Maksudnya apa? Tapi entah apapun itu, kode-kode yang Khairul tunjukkan semakin jelas. Bahwa lelaki itu benar-benar berniat menjalin hubungan dengan Emilya. Sepertinya sudah cukup main-mainnya. Dirinya harus bersikap tegas sekarang sebelum ada hati yang terluka. “Kalau boleh jujur… biar kesannya gak php (pemberi harapan palsu—Ay), aku sama sekali belum kepikiran ke sana. Masih suka main.” Jawabannya tidak langsung muncul. Mungkin lelaki itu masih menelaah maksud Emilya. “Enggeh, aku paham kok. Santai saja. Aku juga gak begitu ke sana. Maaf sebelumnya.” “Gak perlu minta maaf. Mas gak salah kok.” “Takut samean gimana… Entah salah atau benar, tapi hati kecilku merasa… gimana yah bilangnya…” “Cuma akunya gak enak kalau Mas terlalu berharap banyak.” “Itu haknya samean. Semua punya jodohnya masing-masing. Tiap orang berhak punya harapan yang baik untuk masa depannya. Aku cuma nyampaikan sunnah nabi.” “Sunnah kan… gak papa kalau gak dikerjakan?” Sampai di titik ini, Emilya sadar yang dikatakannya hanya bentuk pembelaan diri. Untuk membenarkan keyakinannya. Bahwa tidak semua orang harus menikah. Beberapa orang bisa tetap menjalani hidup dengan baik tanpa berumah tangga. “Begini, Ukhti. Kita hidup di dunia cuma sebentar. Setelah mati kita sendiri. Yang kita harapkan nanti di alam baqa’ adalah syafaat Nabi. Dan Nabi bersabda, ‘Orang yang tidak mengikuti sunnahku, tidaklah dianggap umatku.’ Kalau sudah seperti itu, bagaimana nantinya?” Lalu Khairul menambahkan, “Ya, mohon maaf sebanyak-banyaknya, enggeh. Bukan bermaksud apa-apa. Hanya menyampaikan sunnah Nabi.” Emilya tak langsung menjawab meski ada banyak kalimat untuk menentang yang terkumpul dalam benaknya. Dia terdiam, merenungi ucapan Khairul, lalu keinginan untuk memuntahkan segala keresahan hatinya tak lagi sanggup ia bendung. “Aku sendiri… berharap bisa mengubah jalan pikiranku. Tapi untuk saat ini, yang kebayang cuma pengen—walau sebentar—nikmati waktu untuk diri sendiri.” Air mata Emilya menitik saat melanjutkan, “Dengar teman-teman sekolah yang saat ini sudah ada di Jakarta dan kota-kota lain, dengar Mas pernah dapat pengalaman di Surabaya walau gak bisa dibilang pengalaman manis, bahkan Bu Elisa sendiri pernah merantau… Sering aku nangis sambil mikir, aku kapan?” Seperti sekarang, kembali dia menangis. Perasaan tertekannya timbul. Beruntung saat ini sudah menjelang tengah malam. Semua orang di rumahnya sudah terlelap. Jadi seperti biasa, tak ada yang tahu saat Emilya tengah menangis. “Dan yang paling aku takuti…” kembali Emilya melanjutkan, “Yah, namanya rumah tangga, gak mungkin gak ada masalah. Tapi yang benar-benar aku takuti, misal aku pilih nikah hanya untuk mengikuti arus, aku takut saat ada masalah sedikit saja, penyesalan itu datang. “Aku gak mau jadi istri yang menyesali suaminya. Aku juga gak mau jadi ibu yang menyesali kehadiran anak-anaknya.” “Aku pulang dulu, enggeh,” balas Khairul seraya mengirim video singkat. Jawaban Khairul jelas bukan seperti yang Emilya harapkan. Lagi, perasaan diabaikan itu bangkit. Padahal dirinya sudah mencoba terbuka. Harusnya lelaki itu memberi tanggapan terhadap curahan hatinya meski hanya sedikit. Namun Emilya sama sekali tak menunjukkan kekecewaannya terhadap reaksi Khairul. Lalu seperti biasa, dia mencoba menempatkan diri dalam posisi lelaki itu dan menyadari tak ada yang salah atas jawaban Khairul. Bukankah berbahaya melakukan perjalanan sambil chattingan? “Iya, hati-hati di jalan.” Akhirnya Emilya membalas dan bersiap mengakhiri obrolan. Kini hatinya resah. Penyakit yang biasa Emilya alami saat perasaan seperti dipenjara itu muncul. Biasanya tidur nyenyak selalu menjadi obat ampuh untuk mengembalikan keceriaannya. “Enggeh.” Tadinya Emilya pikir obrolan berat hari ini akan berakhir di situ. Tapi beberapa menit kemudian Khairul membalas chat terakhir Emilya. “Ini PR buat aku.” Percaya atau tidak, satu kalimat itulah yang menuntun Khairul tepat menuju hati Emilya. -------------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN