Telepon Rahasia

1343 Kata
Sabtu (18.04), 16 Oktober 2021 ----------------------- Setiap wanita—meski sekali—pasti pernah berharap diperjuangkan. Pasti pula pernah berharap ditaklukkan. Itu sudah kodrat. Seperti kodratnya wanita yang suka dipuji sementara kaum lelaki suka memuji. Ya, itu kodrat. Mungkin banyak di antara kalian yang menentang kalimat ini. Tapi percayalah, itu bukan karena kalimat ini salah. Melainkan karena kalian hanya sedang membela diri. Membenarkan apa yang tidak kalian alami… dan tidak mau kalian akui. Diperjuangkan bukan berarti dibela dengan pedang. Diperjuangkan bukan berarti dikejar-kejar bak buruan. Sama sekali tidak. Karena satu kata ini memiliki arti yang tak terbatas. Tergantung tiap hati bagaimana mengartikannya. Emilya sendiri pernah beberapa kali dekat dengan lelaki yang menunjukkan ketertarikan padanya. Bahkan bisa dibilang beberapa lelaki itu berjuang untuk meraih hatinya. Namun tak pernah sekalipun Emilya merasa diperjuangkan. Tidak seperti yang dilakukan Khairul. Hanya dengan satu kalimat sederhana, lelaki itu berhasil meluluhkan hatinya. Ini PR buat aku. Jujur, Emilya tak bisa dengan lugas menjelaskan mengapa satu kalimat itu begitu merasuk ke hatinya. Tapi ini seperti, dia sudah terang-terangan menolak dan mendorong Khairul menjauh. Namun lelaki itu tak goyah sedikit pun. Bak dihalang batu, dengan santainya dia berusaha memecahkan batu itu. Bahkan lelaki itu tak mencoba menghindar dan tak mencoba mengabaikan. Kalimat panjang Emilya, curahan hati mengenai ketakutannya, tak langsung Khairul balas dengan cara mendebat. Andai itu yang Khairul lakukan, sudah pasti Emilya akan balas mendebat, berusaha mencari pembenaran atas keyakinannya. Usai satu kalimat yang berhasil merasuk ke hati Emilya, dia tak lagi mengecek ponselnya. Membiarkan benda itu tergeletak di atas ranjang. Baru esok harinya sekitar pukul sembilan pagi, Emilya mengecek ponsel dan mendapati banyak sekali pesan dari Khairul sejak pukul satu dini hari sampai pukul tiga waktu sahur. Pesannya panjang-panjang disertai beberapa video. Semuanya berhubungan dengan pernikahan. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “Maksud seseorang dianjurkan menikah adalah karena dalam menikah ada banyak kebaikan, dan karena menikah adalah sunnah Rasulullah. “Yang Allah perintahkan pasti mengandung kebaikan dunia dan akhirat. Begitupun sebaliknya, apa yang Allah larang pasti mengandung kemudhorotan bagi kita, baik di dunia maupun di akhirat. Secara garis besar, anjuran menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama dan menjauhkan dari zina.” Jujur, Emilya tak benar-benar membaca chat panjang Khairul. Semua itu sudah dia hafal karena pemahaman semacam itulah yang dibutuhkan untuk novel-novelnya. Sebagai penulis novel cinta, dia perlu meyakinkan pembacanya betapa indahnya sebuah pernikahan. Betapa indahnya menjalin cinta. Namun mengajarkan dan menerapkan sendiri adalah dua hal yang berbeda. Emilya akui, dia pandai mengajarkan. Jika ada salah satu pembaca yang bercerita mengenai masalah rumah tangganya lalu meminta solusi, Emilya bisa memberi masukan bak ahli. Tapi hal itu berbanding terbalik dengan kehidupan Emilya sendiri. Faktanya pernikahan adalah sesuatu yang serius dan sakral. Tidak bisa asal jalan. Sudah banyak contoh di hadapan mata. Orang-orang itu menyesali pernikahannya hingga terjadi perselingkuhan dan para orang tua mengabaikan anak-anaknya demi mengejar kesenangan mereka sendiri. Emilya benar-benar tidak mau jadi salah satunya. Ditambah lagi sedari kecil dia selalu di rumah. Selalu merasa dipenjara. Lalu apa jadinya jika saat ini dia memutuskan menikah tanpa menikmati hidup bebas? Yang ada dirinya akan semakin tertekan tinggal di bawah kuasa sang suami. Belum lagi anak-anak akan hadir dan semakin menyita kebebasannya… Dalam bayangan Emilya, semua itu adalah mimpi buruk. Itu sebabnya segala penjelasan Khairul tak merasuk dalam benaknya. Namun Emilya tak bisa menahan rasa kagum mengingat lelaki itu berusaha meruntuhkan keyakinannya. Bahkan jika dilihat dari jamnya, lelaki itu sama sekali tak tidur hanya untuk mengirim ceramah panjang. Bukan isi chatnya. Tapi ketulusannya yang berhasil meretakkan dinding kokoh yang Emilya bangun. “Mas gak tidur?” Sebuah pertanyaan mengawali balasan chat Khairul dini hari tadi. “Selamat pagi dan makasih ilmunya. Semoga ada yang merasuk lalu buka pintu hati yang saat ini masih terkunci rapat. Amin…” Khairul membalas sekitar lima belas menit kemudian. “Iya, selamat pagi juga. Semoga bermanfaat, Ukhti.” Tapi lagi-lagi Emilya tak bisa langsung membalas. Sembako untuk tabungan Hari Raya datang hari ini. Jadi dia dan Elisa disibukkan dengan data barang lalu membagi-baginya sesuai paket. Usai memastikan semua barang telah lengkap, Emilya duduk berseberangan dengan Elisa di antara sembako. Lalu perhatian Elisa teralihkan pada ponselnya yang mendadak berdering menandakan telepon masuk. “Haloo… selamat siang,” jawab Elisa disertai tawa. Emilya yang terbiasa mengamati sekitar langsung bisa menebak bahwa si penelepon adalah teman Elisa dari cara Elisa menjawab. “Ah, iya…. Nggak, gak sibuk… sebentar…” Kening Emilya berkerut. Instingnya mengatakan ada yang aneh. Jelas sekali Elisa masih tetap mengobrol di telepon. Tapi kenapa dia seperti sedang… mencari tempat yang lebih privasi? Agar obrolannya tidak didengar? Padahal selama ini Elisa tak pernah sembunyi-sembunyi saat menerima telepon. Entah itu teman sekolah ataupun rekan gurunya. Sikapnya yang seperti ini tentu mengundang rasa curiga. Sejenak Emilya menunggu. Mungkin sang kakak hanya sedang minum atau apalah ke dapur. Rumah mereka kecil. Dari ruang tamu tempat Emilya berada bersama paket sembako, dia bisa menebak di mana Elisa berada. Sang kakak tengah di dapur. Ruangan terjauh dari tempat Emilya berada. Sepuluh menit berlalu, Elisa tak kunjung kembali. Kecurigaan Emilya kian meningkat. Tak ingin sekedar menduga, dia menuju ke kamarnya. Kamar dengan ranjang tingkat yang ditempati Emilya dan ketiga adiknya. Keponakan sebenarnya karena mereka adalah anak-anak Elisa. Tapi Emilya selalu menyebut mereka adik-adiknya karena mereka pun memanggil ‘mbak’ pada Emilya. Kamar Emilya adalah ruangan yang paling dekat dengan dapur. Bahkan jendela kamarnya hanya berjarak satu meter dari pintu dapur. Dan kebetulan, di sanalah Elisa berada. Berdiri di ambang pintu dapur sambil mengobrol dengan seseorang yang sudah Emilya tebak siapa. Dengan santai Emilya berbaring di ranjang yang tepat berada di bawah jendela kamar. Mendengarkan dengan jelas obrolan Elisa. “Nggak, bukan seperti itu… padahal loh dia orangnya agak tertutup. Sama saya saja tidak mungkin cerita seperti itu. Tapi sama samean dia dengan mudahnya cerita… berarti memang sudah ada… yah, belum bisa disebut suka. Tapi ibaratnya dinding, samean sudah berhasil bikin retak.” Kan… kan… kan… Emilya tersenyum sinis. Dugaannya tidak salah. Sang kakak memang bekerja sama dengan si Pak Guru. Ucapan Elisa sangat jelas. Tidak mungkin kakaknya tengah membicarakan orang lain. “Saya perhatiin juga akhir-akhir ini dia sering senyum sendiri saat balas chat. Mungkin sikapnya seperti mendorong samean menjauh. Tapi sebenarnya jalan samean sudah terbuka lebar.” Ish, apa harus cerita bagian itu juga? Tanpa bisa dicegah, perasaan malu merasuk ke hati Emilya. Dia sampai bertanya-tanya, apa sejelas itu dirinya bersikap saat membalas pesan Pak Guru? Hancur sudah harapannya untuk bersikap seperti buku yang tertutup. Yang isinya tak bisa ditebak siapapun. Nyatanya sang kakak dengan mudah menerjemahkan sikapnya. Tunggu! Apa itu berarti—seperti yang kakaknya katakan—jalan Pak Guru menuju hatinya sudah terbuka lebar? Tidak, tentu saja bukan! Kakaknya salah mengartikan. Emilya senyum-senyum sendiri bukan karena memberi lampu hijau pada Pak Guru. Melainkan karena dia menertawakan sandiwara kakaknya dan Pak Guru yang sangat lucu. Mereka pikir dirinya tak tahu apapun. Padahal Emilya tahu dengan jelas permainan mereka di belakangnya. “Yah, semuanya saya serahkan kembali sama samean. Kalau samean telaten (sabar—Ay), robohkan dinding hatinya pelan-pelan, saya berani jamin, kurang dari dua minggu lagi dia pasti sudah nerima samean.” Seketika Emilya ingin mengumpat! Ish, apa-apaan itu? Segitu remehnya sang kakak menilai dirinya? Kurang dari dua minggu? Yang benar saja! Tak ingin mendengar lebih jauh obrolan kakaknya dan si Pak Guru sang Pujangga Cinta, Emilya putuskan keluar kamar lalu kembali ke ruang tamu. Kekesalannya kian meningkat. Dia merasa diremehkan. Dan hal itu menimbulkan niat buruk di hatinya. Baiklah kalau begitu permainan kalian, Emilya tersenyum sinis. Dua minggu, eh? Bukan hanya Pak Guru, akupun bisa membuat Pak Guru jatuh cinta padaku dalam waktu dua minggu. Dan setelahnya, aku akan pergi jauh usai lebaran. Tanpa pamit! Otak pengkhayal Emilya mulai merangkai cerita. Mulai merangkai adegan saat dirinya baru memberitahu akan pergi setelah berada di atas bus. Kira-kira seperti apa kecewa dan terlukanya Pak Guru? Bukankah membalas dendam itu sangat indah? ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN