Kamis (09.21), 14 Oktober 2021
---------------------------
Suasana hati Emilya sedang tidak baik. Bagaimana tidak? Lelaki yang ingin dihindarinya rupanya memiliki minat terhadap dunia kepenulisan. Dan itu adalah kelemahannya.
Hidup di lingkungan pedesaan dan nyaris tidak pernah keluar rumah membuat Emilya sulit menemukan teman dengan minat membaca di sekitarnya. Ditambah lagi dirinya selalu kagum dengan kaum Adam yang bisa menulis. Entah itu novel ataupun puisi seperti yang dikirim Pak Irul kemarin.
Rencananya untuk menghindari Khairul kacau. Dia yang tadinya berniat untuk tidak membalas, tak bisa menahan jari saat Khairul mengangkat topik mengenai sastra dan menceritakan pengalamannya semasa bekerja di Surabaya.
Ah, satu lagi kelemahan. Emilya selalu tertarik pada orang yang pernah punya pengalaman keluar kota dan berjuang sendirian. Efek jadi anak rumahan. Bisa pergi jauh tanpa pengawasan orang tua adalah impian yang terasa sulit untuk dia jadikan nyata.
Oke, cukup sampai di sini, ujar Emilya dalam hati. Khairul bukanlah teman online yang biasa dia jadikan tempat curhat mengenai impiannya pergi jalan-jalan dan berpetualang jauh dari rumah. Dia adalah orang di dunia nyata dan sangat dekat dengan kakaknya. Jadi tidak seharusnya Emilya menanggapi seantusias itu.
Dengan tekad dalam hati, Emilya memutuskan tak akan lagi membalas chat Khairul dan membiarkan chatnya tenggelam ditelan lautan chat lain. Namun dirinya masih tetap aktif menggunakan WA yang satu lagi, WA khusus penulis dan keluarga.
Hari ini tak ada yang aneh yang terjadi. Emilya sibuk dengan kegiatan menulis seperti biasa. Ditambah lagi dia baru saja mendaftar di platform baru. Platform ungu yang memberinya harapan baru setelah nyaris terpuruk.
Yah, bisa dibilang menulis sudah menjadi pekerjaan bagi Emilya. Mau tak mau dia akui, dia mulai tergantung dengan royalti dari novel-novelnya karena memang menulis adalah satu-satunya pekerjaannya.
Sebelum masa pandemi, royalti menulis dari google selalu cukup untuknya memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membayar listrik, biaya les adik-adiknya serta ia berikan pada sang kakak untuk keperluan sehari-hari.
Namun setelah pandemi, segalanya menjadi kacau. Sebagian besar pembacanya juga kesulitan keuangan hingga tak mungkin menghabiskan uang untuk membeli novel. Tanpa bisa dicegah, pemasukan Emilya sangat minim. Jangankan untuk membayar listrik rumahnya yang selalu diangka ratusan ribu, beli pulsa untuk paket internet saja dirinya tak sanggup.
Namun kini, berkat ajakan salah satu rekan penulisnya untuk pindah platform, semangat Emilya kembali bangkit. Dia yang tadinya sudah berniat berhenti menjadi penulis dan sibuk mencari-cari pekerjaan lain seolah memiliki jiwa baru. Itu sebabnya dengan mudah dia bisa mengabaikan Khairul. Pekerjaannya di depan mata lebih menarik ketimbang Pak Guru yang sedang mencari pasangan hidup.
Menjelang sore dan mendekati waktu buka puasa, Emilya menghabiskan waktu dengan mengintip status di WA Khusus miliknya. Lagi-lagi tak ada yang aneh. Sampai sebuah status menarik perhatiannya hingga dia harus mengecek namanya berkali-kali dan memastikan apa dirinya memang membuka WA Khusus atau WA yang satunya lagi.
Ini status Khairul, kan?
Kenapa dirinya bisa melihat statusnya dari WA ini?
Harusnya tidak mungkin terjadi kecuali—Khairul juga menyimpan nomor WA Khususnya.
Siâl!
Dengan perasaan jengkel, Emilya membalas status WA Khairul.
“Loh! Kok saya bisa lihat status Mas?”
Jawabannya datang tidak sampai satu menit. “Gak tau, enggeh. Ini kok nomornya beda?”
Hah?
“Saya memang punya dua nomer. Mas simpan dua-duanya?”
“Enggak. Yang dikasih Bu Asti cuma satu.”
Kening Emilya berkerut. Matanya memicing tak suka melihat jawaban Khairul. Apa lelaki itu berbohong?
“Mungkin Mas dapat dari Bu Elisa.”
“Saya minta nomer samean sama Bu Asti. Saya gak akrab sama Bu Elisa.”
Bibir Emilya menipis kesal. Dia semakin merasa dibohongi dan penasaran kira-kira sejauh apa Khairul dan kakaknya akan terus memainkan sandiwara.
Oke kalau gitu. Kita lihat saja sejauh mana kalian akan terus bermain peran.
***
“Kak Ay!!”
Sebaris chat WA mengawali tawa sore ini. Itu adalah chat dari Kak An, admin pemegang akun sss dan IG Emilya.
“Ya?” balas Emilya singkat.
“Tadi tuh ada yang balas story IG. Aku jawab, makasih Kak. Terus katanya, di WA manggil Mas, di IG manggil Kakak. Aku langsung mikir, mampus! Aku salah balas, huwaaa…”
Seketika Emilya tergelak. Hilang sudah niatnya untuk mengabaikan Khairul, lagi.
Mau tak mau diapun menceritakan siapa lelaki itu pada Kak An. Termasuk mengenai dugaan-dugaan bahwa mbaknya terlibat untuk menjodoh-jodohkan mereka.
Tak mau membuat Khairul salah paham lebih jauh dan selagi ada bahan untuk menertawakannya, Emilya pun memberitahu lelaki itu, bahwa yang membalas DM (direct message) di IG adalah adminnya. Tapi sesekali dia sendiri yang membalas.
Namun jawaban Khairul tidak seheboh yang Emilya harapkan. Tanpa sadar hal itu menumbuhkan sebersit rasa—kecewa?
“Makasih sudah kasih tahu, enggeh. Aku sek mau ngimami tarawih. السلام عليكم“
Ish, kenapa dirinya jadi kesal dan merasa diabaikan?
***
“السلام عليكم”
Malamnya, tepat pukul sembilan malam, sebaris salam muncul kembali di layar notifikasi Emilya. Kali ini dia benar-benar mengabaikannya. Tapi esok harinya Emilya putuskan untuk membalas. Tak enak rasanya dibiarkan menggantung begitu karena bagaimanapun Khairul adalah rekan kerja sang kakak dan Emilya harus bersikap sopan.
“Wa’alaikumsalam.”
Tapi bukan berarti benar-benar sopan. Malah dengan sengaja kali ini Emilya selipkan emosikon mata penuh cinta di belakang salamnya. Tidak apa-apa kan sedikit menggoda sebagai balasan karena terus-menerus membuatnya kesal?
“Bagaimana kabar samean?”
“Alhamdulillah selalu baik. Mas gimana?”
“Alhamdulillah, baik sehat wal afiat. Tapi sedikit ada yang sulit dalam hatiku.”
Hah?
Seketika Emilya tergelak. Apa Pak Guru satu ini mulai melancarkan aksi yang lebih serius alih-alih pendekatan tarik-ulur seperti sebelumnya?
Oke, lihat kira-kira ke mana lanjutan gombalannya…
“Wah, kenapa itu, Mas? Jangan biarin walau cuma luka kecil. Lama-lama membesar loh.”
“Gak luka kok. Tapi ada yang membuat jiwa ini tersiksa.”
Wow, manis juga. Emilya terkikik. Andai dirinya tak terlanjur kesal dan merasa dibohongi.
“Harus segera diobati. Ibarat kata pepatah, hidup cuma sekali. Harus dinikmati. Biar pas ‘pulang’ nanti hati terasa ringan dan ikhlas.”
“Gini, Mbak. Ada satu bintang yang telah memberi sinar. Tapi sinar itu terhalang awan hingga semuanya jadi redup…”
“Kenapa gak coba singkirkan awannya?”
“Mungkin masih butuh waktu. Yah dengan perjuangan dan usaha, mungkin akan ada jalan.”
“Amin. Jangan pesimis pokoknya.” Tadinya Emilya berniat tetap pura-pura tak mengerti tapi dia tak bisa menahan jarinya untuk melanjutkan. “Kalaupun sudah berusaha menyingkirkan awannya tapi gagal, mungkin bintang yang ini gak baik buat Mas. Bukankah Yang Kuasa lebih tahu?”
“Jika cahaya itu sudah nampak, kenapa tidak? Cuma awan yang jadi penghalang. Dan awan pun bisa dipindah oleh angin.” Detik berikutnya Khairul melanjutkan, “Enggeh, Allah lebih tahu akan semuanya. Tapi Allah juga Maha Pengasih kok. Jika sesuatu diperjuangkan, diminta dan dimohon pada sepertiga malam, pasti Allah akan mengabulkan…”
Emilya tak bisa menahan senyum dan membaca ulang beberapa kali jawaban Khairul. Bukankah yang tadi dia katakan merupakan penolakan? Tapi kenapa lelaki ini masih kukuh membalas ucapannya dengan kalimat yang manis?
Duh, parah. Emilya memang lemah menghadapi yang manis-manis seperti ini.
Tidak, tidak boleh! Seru Emilya dalam hati. Bukankah dia sudah bertekad mewujudkan impiannya keliling Indonesia selepas lebaran ini? Lelaki ini hanya batu sandungan yang hendak menggoyahkan tekadnya. Jadi jangan sampai dia berpaling dan akhirnya menyesal di kemudian hari.
“Nah itu,” balas Emilya. “Makanya jangan pesimis. Ayo semangat!”
Yah, jelas hanya omong kosong. Malah sebaliknya, dia berharap Khairul segera berbalik pergi dan menjadikan perkenalan mereka yang singkat sebagai kenangan.
“Ya, semoga dengan perjuangan ini dia paham dan terbuka hatinya.”
Hhh, kenapa pembahasannya makin serius begini?
“Amin.”
Emilya sudah berniat mengakhiri obrolan chat. Tapi lagi-lagi dirinya dibuat tergelak usai Khairul mengirim foto yang lelaki itu ambil dari IG Elisa.
Itu adalah foto keluarga. Khairul membubuhkan tanda panah dan gambar bintang pada foto Emilya. Tampak sekali hendak memperjelas siapa bintang yang dia maksud.
“Kok kayak kenal?” Emilya sengaja menambahkan emosikon bingung di belakang pertanyaannya.
“Itu siapa, ya? Hahaha… Aku pertama kali lihat waktu yasinan.”
“Berarti baru kenal?”
“Iya itu…”
“Setahuku dia itu punya sifat buruk.”
Lagi-lagi Emilya sengaja menunjukkan penolakan. Kali ini bagaimana reaksinya?
“Masa sih? Ya kalau belum tahu sendiri, lebih baik jalani dulu aja. Siapa tahu secercah mendung yang kelabu akan berubah jadi mendung yang putih.”
Astaga, benar-benar puitis.
“Aku aminin, yah, hehehe…”
“Enggeh, terima kasih. Sekalian doakan juga, hehe.”
Seketika Emilya teringat doa mengenai jodoh yang selalu membuatnya tertawa. “Ya Allah, kalau dia memang jodohku, dekatkanlah. Tapi kalau dia bukan jodohku, coba cek lagi. Khawatir ada yang salah. Amin.”
“Amin. Allah tidak akan memberi hasil yang baik jika tidak ada doa dan perjuangan. Man jadda wa jadda.” (siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya—Ay)
Duh jawabannya…
“Mas jawabnya serius. Padahal aku nyelipin candaan. Maaf.” Emilya menambahkan emosikon mônyet yang menutup kedua matanya sebagai pertanda malu.
“Aslinya aku baca chat samean juga ketawa-ketiwi gak tau kenapa, hahaha… sampai perutku bunyi.”
“Itu laper, Mas. Bukan gara-gara ketawa.”
Emilya kembali tergelak. Kenapa lelaki satu ini mudah sekali memancing berbagai emosi dalam dirinya? Kesal, marah, kecewa, senang, dan tawa silih berganti bak roller-coaster.
“Enggak juga. Perut bunyi itu kode pertengahan hari.”
“Ada alarmnya.”
Emilya menambahkan stiker Donald Bebek yang tertawa terpingkal-pingkal sebelum mengakhiri chat mereka.
Yah, rencananya sih mengakhiri. Tapi lagi-lagi dirinya tergoda untuk membalas chat si Pak Guru setelah sebuah puisi kembali lelaki itu kirimkan. Hanya selang satu jam setelah Emilya mengirim stiker.
Wow!
-----------------------
♥ Aya Emily ♥