Syair

1490 Kata
Rabu (16.49), 13 Oktober 2021 ---------------------------- Khairul membaca ulang chatingan sebelumnya dengan kening berkerut. Apa ada kata-katanya yang salah? Mancing bagaimana maksudnya? Apa dirinya bersikap tidak sopan? Pertanyaan-pertanyaan terus terngiang dalam benak Khairul sepanjang dia menunggu balasan dari wanita berbaju merah itu. Sebenarnya dia tak menyangka obrolan di antara mereka akan terasa segini seru dan menyenangkan. Walau dirinya harus terus memutar otak mencari bahan obrolan, namun Khairul menikmati tiap detiknya. Kembali dia mengecek notifikasi di ponselnya lalu mendesah kecewa karena masih belum ada balasan. Kenapa lama sekali? Apa dia marah? Yah, baru lewat satu menit sih. Tapi rasanya sudah terlalu lama. Ditambah lagi dia berniat mengajari anak-anak mengaji selepas maghrib yang tinggal hitungan menit. Lalu masih ada Majelis yang harus dia hadiri setelahnya… Drrtt! Buru-buru Khairul meraih ponselnya lalu membuka pesan WA. Bersamaan dengan itu, suara adzan maghrib berkumandang. “Maaf, Pak. Itu candaan. Saya kumat.” Kerut di kening Khairul semakin dalam. Dia sama sekali tak paham dan tak sempat memahami lebih jauh karena diburu waktu. “Emmz, enggeh. Aku sek mau ke musholla liat anak-anak enggeh… السلام عليكم” Baru saja pesan Khairul terkirim, pesan lain dari wanita itu masuk, membalas perkataan Khairul mengenai ta’aruf. Sebentar, siapa sih namanya? Kenapa tidak dirinya tanyakan dulu? Dasar! “Maaf, ini gimana? Saya kalau tidak salah artikan…” “Lanjut nanti aja enggeh, Mbak.” Setelahnya Khairul membiarkan ponsel tergeletak di ranjang dan buru-buru dia ke dapur hendak mengambil air wudhu’. *** “السلام عليكم” Sepanjang kegiatan Majelis, Khairul sama sekali tak bisa konsentrasi setelah mengirim sebaris salam. Entah sudah berapa kali dia terus mengecek ponsel namun tak ada satupun pesan dari wanita itu. Beruntung dirinya bukanlah vokal hadrah yang dirintisnya ini. Sebagai pendiri dan pelatih, dia bebas memilih hendak memainkan bagian apa. Usai penampilan hadrahnya membawakan iringan sholawat, kini giliran penceramah. Khairul mengambil kesempatan itu untuk kembali mengecek ponselnya dan tanpa bisa dicegah, jantungnya berdebar semakin cepat begitu menyadari ada notifikasi yang memang dia tunggu. “Wa’alaikumsalam.” Duh, akhirnya. Chat satu setengah jam lalu akhirnya dibalas juga. Namun Khairul baru membukanya sekitar setengah jam kemudian. Hmm, dibalas apa, ya? “Lagi apa jenengan?” Lalu dia putuskan meminta maaf karena sepanjang Majelis tidak mungkin bisa membalas chat si wanita dengan cepat. “Maaf enggeh, aku sek ada Majelis.” Wanita itu mengirim sebuah foto seraya membalas, “Main hitung-hitungan. Iya, gak papa.” “Hitung apa?” Namun pertanyaan Khairul menggantung di sana tanpa jawaban. Terus seperti itu hingga esok siangnya padahal dirinya sangat menunggu balasan si wanita. Ckckck, rasanya ingin dia… hhh! *** “Tabungan Hari Raya.” Kalimat itu mengawali chat yang ditunggu Khairul sejak kemarin. “Maaf kalau saya lama balasnya ya, Pak. Emang jarang online.” Buru-buru Khairul menanggapi, “Enggeh, gak papa. Lagian aku tadi masih di sawah panen padi. Ya, bantuin dikit lah biar beraktivitas. Samean lagi apa, Mbak?” Oke, itu agak—bohong. Padinya saja baru ditanam. Yang benar sepanjang hari ini Khairul sibuk bolak-balik mengecek ponsel. Memastikan apa ada chat dari adik rekan kerjanya itu. Dan ternyata tidak ada satu pun. Membuat gemas saja. “Wah, panen.” Lalu disusul jawaban pertanyaan Khairul yang lain. “Main laptop.”  “Alhamdulillah, Mbak. Eh, emang bisa dimainin laptopnya?” “Bisa. Sambil tak banting-banting.” “Wah jangan, Mbak. Eman-eman. Mending banting bata aja.” Satu menit… Dua menit… Lima menit… Sepuluh menit… Ya Allah! Digantung lagi, seru Khairul dalam hati. Lama-lama mati nih. Hufft! “Leh, mana wes? Kok menghilang?” Sampai Khairul mengirim stiker anak kecil yang menangis, tetap tak kunjung ada balasan. *** “Maaf, Pak. Emang suka menghilang.” Akhirnya! Chat siang tadi dibalas sehabis isya’. Tidak apa-apalah, pikir Khairul. Daripada tidak dibalas sama sekali. “Iya, gak papa. Asal jangan menghilang tanpa jejak.” Khairul mencoba melucu namun terselip kebenaran dalam kalimatnya. Yah, dia mulai merasa nyaman dengan wanita yang baru dikenalnya selama—2 hari? Astaga, iya. Dirinya baru pertama kali mengirim pesan pada wanita ini kemarin siang. Kenapa rasanya sudah lama sekali? Inikah yang dinamakan jodoh? Oke, cukup! Dirinya sudah terlalu tinggi berkhayal. Cukup di sini sebelum jatuh dan sakit. “Padahal hobby saya gitu.” Waduh! “Jangan, Mbak. Bahaya kalau hilang tanpa jejak. Kasihan yang kehilangan.” Sengaja Khairul menggombal disertai emosikon mata berkaca-kaca. “Hobby soalnya. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Kayak jelangkung, hehe.” “Guh, jelangkung.” Lalu Khairul melanjutkan, “Emmm… kalau aku gak diundang, tiba-tiba muncul di hp samean. Yak apa ini pas, hehehe…” “Hahaha, iya yah, Pak… Asli gak enak manggil ‘Pak’.” Sama. Khairul sendiri tak nyaman dipanggil begitu. Dan itu mengingatkannya bahwa dirinya sendiri belum tahu nama si wanita. “Ya enaknya jenengan mau panggil apa. Beh, aku masih belum tahu nama jenengan.” “Panggil Mas boleh?” Uhukkk! Untung itu hanya perumpamaan. Dirinya tidak benar-benar sedang minum. Dan belum sempat dia membalas, pesan lain masuk. “Lah, belum tau? Mau nama asli apa palsu?” Kali ini pertanyaan wanita itu kembali membuat kening Khairul berkerut. Kenapa ada nama palsu segala? “Maunya yang asli, Mbak. Gak mau yang imitasi. Takut cepet rusak, hehe.” “Sebenarnya gak ada yang imitasi. Dua-duanya nama asli.” Wanita itu membubuhkan emosikon tertawa lalu dilanjutkan, “Kalau di rumah dipanggil Emilya. Kalau di luar dipanggil Aya.” Kerut di kening Khairul semakin dalam. Sungguh, dirinya tidak mengerti dan tidak tahu harus menanggapi bagaimana. “Emmmz.” “Bingung Masnya, hahaha…” “Enggak.” Padahal aslinya memang iya. “Keren nama yang dipakai di luar.” “Butuh proses panjang untuk dapatinnya, hehe…” “Wiih, jadi perjuangan, enggeh? Jadi kepo nih gimana ceritanya.” Dan ternyata dirinya berhasil menyentuh minat wanita berbaju merah bernama Emilya itu. Obrolan yang tadinya hanya sepenggal-sepenggal menjadi lancar dan panjang. Khairul bahkan bercerita banyak mengenai impiannya dulu untuk kuliah jurusan sastra namun nyasar ke Pendidikan Agama Islam. Hingga tak terasa, chat yang dimulai pukul delapan itu baru berakhir pukul sebelas malam. *** Begitu banyak sorot mata memandangi rumput yang dianggap biasa-biasa saja. Hanya sedikit orang yang melihat bunga di dalamnya. Yang menguarkan keharuman dan juga ketenangan. Seberapa banyak langkah dalam perjalanan ini hanyalah kesenangan semata. Tak menghiraukan seberapa pentingnya melihat dan memaknai alam. Sejak jutaan ribu tahun alam hidup mengajari kebijakan. Dan berbagai kenikmatan yang kita dapatkan. Kenikmatan akan dicapai oleh siapa yang memiliki tujuan. Dan tujuan yang hakiki adalah Sang Pencipta Alam. Agar detak jantung-Nya sesuai dengan detak Alam Semesta. Ingin merasakan apa yang tak pernah dirasakan. Dan ingin mengetahui apa yang tak pernah diketahui. Maka perlu Pendaki Alam untuk menyingkap hal baru yang Alam ajarkan. Pengalaman, petualangan, juga pertemuan dengan keluarga lain…   Setelah sekian lama, akhirnya Khairul kembali menulis. Yah, dirinya bukan hanya sekedar cari perhatian saat mengatakan ingin kuliah jurusan sastra dan dulu suka membuat puisi hingga pernah ikut lomba semasa MA (Madrasah Aliyah, setara dengan SMA—Ay). Selepas MA dan keluar dari Pondok, Khairul mencoba peruntungan di Surabaya. Bekerja sebagai penjaga warnet saat pagi hingga siang dan sorenya di kantor Deposit Pulsa hingga malam. Namun segalanya tidak berjalan lancar padahal Khairul sudah berniat mendaftar kuliah dengan gajinya. Si bos pemilik warnet sekaligus kantor Deposit Pulsa terlibat masalah hingga dirinya nyaris terseret. Mau tak mau Khairul pun memilih pulang untuk menuruti permintaan sang ibu yang mengkhawatirkannya. Maklum, dirinya anak tunggal. Tentu orang tuanya, terutama sang ibu, sangat protektif terhadap dirinya. Tak ingin masa mudanya berakhir tanpa pendidikan tinggi untuk bekal masa depan, Khairul memutuskan mendaftar di Institut Ilmu Keislaman tak jauh dari tempatnya tinggal. Berbekal Ilmu Agama yang didapatnya sejak MI, MTs, MA, dan 6 tahun tinggal di Pondok, Khairul bisa melewati ujian masuk dengan mudah. Sungguh, Khairul pikir dirinya tak akan lagi berurusan dengan dunia sastra selain membuat kata-kata untuk postingan i********:. Tapi siapa sangka, dia akan berurusan dengan wanita yang membutuhkan keahliannya dalam bidang sastra untuk menarik perhatian. “Mohon kritikan dan sarannya, Mbak,” ketik Khairul setelah mengirim puisi itu pada Emilya. Jawabannya datang hanya selang dua menit. “Ini lebih seperti puisi. Bagusnya ditata sesuai penataan puisi. Dan puisi… bukan bidangku, hehe.” Wah… Khairul tersenyum lebar membaca balasan Emilya sambil telungkup di atas kasur lantai dalam kamarnya. Sudah lama sekali dia tak menemukan orang yang sepaham dengannya dalam bidang sastra. “Enggeh, Mbak. Lebih tepatnya disebut syair.” Lalu dia melanjutkan, “Tadinya aku mau buat novel, Mbak. Tapi bingung. Eh, yang aku tulis malah syair.” “Mungkin karena bidangnya Mas di situ. Boleh juga dibikin syair atau puisi yang dipadukan sama novel. Syairnya dijadikan pembuka tiap bab. Tinggal siapkan konflik, alur, tokoh, dan semacamnya.” “Emmmz terus, Mbak. Selanjutnya nasib syairku itu diapakan?” “Diolah bisa juga. Tinggal tambahi tepung, telur, terus digoreng buat sahur nanti, hahaha…” Khairul tergelak juga. Itu mengingatkannya bahwa esok hari adalah awal puasa ramadhan. Akhirnya dia memilih mengirim stiker dengan caption, “Terharu.” Dan balasannya? Lagi-lagi digantung. Duh… ---------------------------- ♥ Aya Emily ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN