Sabtu (19.52), 09 Oktober 2021
---------------------
“Namaku Khairul Anwar…”
“Panggilannya… Khairul? Anwar?”
“Khairul, Mbak ”
“Salam kenal, Bang Khairul Dapat nomerku dari wâttpad, kah?”
Sore itu, obrolan online antara Emilya dan Pak Irul mengalir begitu saja. Emilya masih mempertahankan sikap “pura-pura tak tahu”nya dan sengaja menggunakan panggilan “abang”. Seperti panggilan yang dia berikan untuk semua teman online pria.
Namun panggilan itu hanya sekejap Emilya berikan karena Pak Irul bukanlah tipe orang yang suka menyembunyikan identitas hanya untuk mendekati wanita. Dia menjawab apa adanya pertanyaan Emilya tadi hingga sikap pura-pura Emilya juga tak bisa bertahan lama.
“Dari Bu Asti.”
Sejenak Emilya sengaja menampilkan emosikon seolah bingung dengan jawaban Pak Irul. Berikutnya dia bersikap seolah baru mengenali background foto profil lelaki itu.
“Sebentar… Anda guru SMK ****? Saya lihat profilnya, di belakang itu seperti SMK **** ” (Untuk seterusnya, aku akan menyebutnya SMK Bintang—Ay)
“Enggeh, Mbak.”
Emilya geleng-geleng kepala tak habis pikir mendapat balasan yang masih sama kakunya seperti tiang bendera. Padahal dia sudah berusaha mencairkan suasana dengan bersikap riang dan santai. Tapi orang ini tetap saja…
Sontak hal itu membuat Emilya harus berpikir dua kali tiap hendak membalas. Apalagi Pak Irul sudah mengungkap identitasnya dengan jelas. Tentu sebagai Emilya adik Elisa, dia tak bisa bersikap terlalu akrab seperti Aya Emily si penulis novel cinta. Dia tak bisa bersikap urakan seperti saat menghadapi teman-teman penulis atau pembaca. Padahal biasanya tak segan dia merayu atau menggoda teman-teman online pria hanya untuk meramaikan suasana.
Lalu, bagaimana caranya membalas secara sopan tapi akrab?
Dan yang menyebalkan, Emilya tak bisa menggunakan stikernya dalam percakapan dengan Pak Irul. Stiker di ponselnya kebanyakan stiker dengan lambang cinta. Emilya bahkan tak segan mengirim stiker ciuman di pipi sebagai ungkapan terima kasih. Tapi mengirim stiker semacam itu pada rekan kerja kakaknya…
“Tadi samean ikut yasinan kan…”
Kalimat Pak Irul berikutnya Emilya balas setengah bergurau sekaligus mengungkap kebingungannya bagaimana hendak menanggapi.
“Iya, Kak… Pak… duh, jadi bingung mau panggil apa Maaf gak sopan tadi. Kirain pembaca ”
“Santai aja, Mbak. Aku juga minta maaf, enggeh ”
“Minta maaf kenapa, Pak? ”
“Karena sudah lancang ke samean…” Lalu dia melanjutkan, “Samean dari mana dan apanya Bu Elisa… Jangan bilang-bilang ke beliau enggeh kalau aku chat samean…”
Emilya berdecak membaca kalimat terakhirnya. Cih, jangan bilang-bilang? Akting Anda buruk dan Anda salah memilih lawan, Pak ilong, pikir Emilya geli sekaligus kesal.
Yang tadinya sekedar dugaan bahwa sang kakak menjodoh-jodohkan dirinya dengan Pak Irul kini menjadi keyakinan. Selain fakta bahwa di SMK Bintang tak ada yang memiliki nomor ponselnya selain Elisa, ucapan Elisa di rumah Risa terngiang jelas dalam benak Emilya.
“Mbak Em… kapan? Yang lain sudah bawa anak nih.”
Emilya sudah siap menjawab pertanyaan Nura dengan kalimat yang dia rencanakan. Tapi sebelum melakukan itu, Elisa lebih dulu menyahut, “Jangan kaget kalau nanti pas lebaran dia sudah gandeng tunangan.”
Ucapan Elisa tentu mengundang sorak dan pertanyaan bertubi teman-teman Emilya. Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan itu tetap akan berlanjut jika gempa tak mengacaukan suasana.
Bahkan setelahnya dalam perjalanan pulang, lagi-lagi Elisa mengungkit soal tunangan usai lebaran ini.
“Teman-temanmu pasti bakal kaget kalau tiba-tiba nanti kamu silaturahmi ke rumah mereka pas lebaran bawa tunangan.”
Emilya terkekeh. “Tunangan sama siapa?”
“Ya manusia. Masa macan?”
Emilya tergelak mendengar nada kesal sang kakak. Berikutnya dia mengalihkan percakapan ke hal lain. Karena membahas soal pasangan dan menikah akan selalu berujung memancing rasa tak sukanya. Memancing kegelapan dalam hatinya.
Emilya membaca ulang pesan Pak Irul dengan senyum sinis. Inikah lelaki yang dipersiapkan Elisa menjadi tunangannya selepas lebaran ini? Ya, pasti benar. Tidak ada kebetulan semacam ini kecuali dalam novel buatannya. Lagipula Pak Irul pasti berbohong saat mengatakan mendapat nomornya dari Bu Asti. Emilya yakin, Elisa lah yang memberikan nomornya.
Sengaja Emilya mengabaikan kalimat terakhir Pak Irul dan membalas pertanyaan sebelumnya. Lagi-lagi dengan sikap santai setengah menggoda, sengaja bertekad meruntuhkan sikap kaku si guru PAI.
“Dari mana? Mulai loading ” Sebenarnya Emilya mengerti maksudnya. Tapi sengaja pura-pura tak mengerti lalu melanjutkan dengan menjawab pertanyaannya yang lain. “Adeknya Bu Elisa, Pak.”
“Emmm, adek kandung, kah? Apa sepupu?”
Ckckck… sikap pura-puranya terlalu jauh, gerutu Emilya. Memangnya Elisa tidak mengatakan hubungannya dengan Emilya sebelum memberi nomor? Sangat tidak masuk akal.
“Adek kandung.”
“Maksudnya bagaimana, ya?” Kali ini Pak Irul membalas jawaban Emilya yang satunya.
“Samean tanya dari mana… saya mikir panjang. Soalnya tadi habis dari rumah teman Maaf, Pak… agak lemot sayanya ”
Di luar dugaan, kali ini pancingan Emilya berhasil. Pak Irul mulai sedikit melepas sikap kakunya.
“Maksudnya alamat samean mana? Soalnya aku juga gak tau alamatnya Bu Elisa. Yasinan kemarin gak bisa datang. Aku yang salah tanya, Mbak, hahaha...”
Ah, pantas saja, pikir Emilya. Beberapa bulan lalu Elisa sudah kebagian jatah yasinan bulanan. Bertepatan dengan sunatan Dika, anak bungsunya. Mungkin itu pula sebabnya Emilya merasa sangat asing dengan Pak Khairul Anwar ini. Sepertinya mereka memang tidak pernah saling bertemu sebelumnya.
“Walah… ” balas Emilya sebelum menjelaskan di mana alamatnya dan menggoda bahwa Pak Irul tidak kebagian sate. Lalu dia melanjutkan, “Sebelumnya saya minta maaf kalau nyinggung dan gak sopan Kalau dichat, gak bisa jaga jari Soalnya jari saya lebih pinter ngomong ”
“Kalau saling minta maaf terus, ini yang salah siapa?”
Jawaban Pak Irul berikutnya di luar dugaan Emilya. Dia terkekeh seraya segera membalas, “Yang jelas bukan saya ”
“Iya wez, kita saling memaafkan aja enggeh, Mbak.” Lalu dia buru-buru melanjutkan, “Aku liat samean tadi salting (salah tingkah—Ay). Bu Asti yang bilang kalau samean adeknya Bu Elisa.”
Uhuukkk… sepertinya Pak Irul mulai melancarkan gombalannya, pikir Emilya.
“Saya malah gak tau Bapak yang mana Gak berani tolah-toleh ”
Sejenak Emilya membaca ulang balasannya. Sepertinya agak kejâm menanggapi begitu. Tapi kan itu faktanya. Dia memang benar-benar tidak tahu Pak Irul ini yang mana meski dalam pendengaran Emilya, Pak Irul seolah jadi tokoh utama sepanjang acara yasinan beberapa jam lalu. Salah satunya karena adegan cie-cie itu.
“Setahu aku, Bu Elisa katanya dari Kotaanyar.”
Emilya mengerutkan kening. Bukankah tadi dirinya memang sudah mengatakan alamatnya?
“Saya sudah bilang tadi ”
“Duh… salting, Mbak. Bingung juga. Maklum lah, gak tau mau bahas apa ”
“Jangan mancing saya bahas sesuatu. Bisa gak kelar-kelar chatnya ”
“Loh, maksudnya mancing apa enggeh?”
Emilya tergelak. Sepertinya Pak Irul salah paham. Mungkin karena sifatnya yang kaku, dia tidak terbiasa dengan bahasa tersirat ala pengarang novel.
Tapi belum sempat menanggapi, Emilya membeku membaca kalimat berikutnya. Seketika senyumnya memudar digantikan amarah yang perlahan bangkit.
“Aku gak ada maksud lain, Mbak. Aku cuma mau kenal aja yang dalam islam disebut ta’aruf. Ya jika dalam kata-kataku menyinggung samean, dengan hati yang dalam aku minta maaf, Mbak ”
Ta’aruf?
Emilya melongo membaca satu kata itu dan mengulang baca kalimatnya tiga kali lagi. Dirinya tidak salah, kan? Orang ini benar-benar mengajak ta’aruf? Kenalan versi islam dengan niat ke pelaminan? Hanya selang beberapa jam sejak berkenalan?
Tadinya Emilya berniat bermain-main sejenak sebelum mulai menjaga jarak dengan cara tak membalas pesannya lagi. Sama sekali tak sulit mengingat WA yang ini memang selalu penuh pesan chat terutama dari grup. Diabaikan sehari saja, pesan Pak Irul pasti akan langsung tenggelam tertimbun pesan-pesan yang lain. Emilya yakin Pak Irul hanya akan menunggu pesannya dibalas dan bukannya spam chat seperti yang biasa dilakukan teman-teman pembaca Emilya agar pesannya terbaca.
Tapi satu kata itu berhasil mengubah segala rencana. Kemarahan Emilya tersulut. Dia merasa lelaki ini berpotensi merusâk masa depannya. Merusâk impian yang sudah dia tata sepenuh hati. Merusâk harapan yang berhasil membuatnya bangkit dari rasa frustasi dan tertekan yang dialaminya dua bulan lalu.
Dengan bibir menipis menahan marah, Emilya membawa ponselnya ke hadapan Elisa lalu menunjukkan pesan itu. Tubuhnya bahkan serasa bergetar akibat kuatnya Emilya menahan emosi.
Brêngsek makhluk satu ini, geram Emilya dalam hati. Bisa-bisanya dia berhasil membuat Emilya amat sangat murka di hari yang sama setelah perkenalan!
“Maksudnya ta’aruf yang itu, kan?” Emilya sama sekali tak menyembunyikan perasaan kesalnya. Dan dia yakin Elisa langsung mengerti betapa tidak sukanya Emilya membaca satu kata itu. “Aku harus jawab apa? Tidak, terima kasih. Selamat malam. Begitu, kah?”
Elisa mengembalikan ponsel yang tadi Emilya sodorkan lalu menatap sang adik tajam sekaligus hati-hati. “Maksud Pak Irul bukan begitu. Ta’aruf itu artinya perkenalan. Kenalan biasa. Dia kan guru Agama dan lumayan fasih Bahasa Arab. Jadi wajar suka memakai istilah Arab begitu. Jangan mengartikan terlalu jauh.”
Emilya tak langsung menanggapi. Kemarahan masih menguar jelas dari sikap tubuhnya. Terutama mendengar bagaimana Elisa membela Pak Irul dan berusaha meredakan amarahnya.
Lihat, kan! Segalanya semakin jelas. Elisa memang menjodohkan dirinya dengan Pak Irul. Pasti menceritakan dengan detail sosok Pak Irul sepanjang perjalanan dari acara yasinan adalah cara tersiratnya untuk mempromosikan lelaki pilihannya.
Padahal Pak Irul lumayan ganteng. Kamu lihat kan tadi yang pakai sweater biru navy? Gaji juga gak usah ditanya. Selain ngajar, dia juga ngelatih hadrah di beberapa tempat. Terus baru-baru ini nerima tabungan lumayan banyak sampai mbak bilang,‘buat apa bujangan pegang uang banyak-banyak, Pak? Sini saya simpankan’.
Sepertinya Elisa belum benar-benar mengenal dirinya. Punya suami “ganteng” bukan jaminan dirinya akan bahagia. Sementara soal kekayaan…
Emilya bukan tipe gadis mata duitan. Bahkan daripada dibayari, dia lebih suka membayari. Meski itu Mas Ali sekalipun, kakak ipar yang sudah Emilya anggap seperti Ayah sendiri, dia tidak segan keluar uang jika dirinya punya. Dan Emilya selalu berusaha untuk “punya uang” hasil kerjanya sendiri.
Pikiran Emilya yang berkelana berhasil meredakan amarahnya secara perlahan. Tapi rasa kesalnya tetap bertahan namun berusaha ia sembunyikan rapat.
“Jadi ini benar-benar bukan ta’aruf yang itu?” Sekali lagi Emilya memastikan.
“Memang bukan.”
Emilya melirik jemari Elisa yang kembali disibukkan dengan ponselnya. Bisa dia bayangkan pasti saat ini Elisa mengirim pesan pada Pak Irul agar tak mengungkit lagi soal ta’aruf.
Lucu sekali. Mungkin Elisa pikir dengan bersikap tak peduli, Emilya tidak akan tahu bahwa dirinya terlibat. Padahal sikap tak pedulinya justru mengundang tanya. Biasanya sang kakak akan melemparkan beberapa pertanyaan saat dia tahu Emilya tengah dekat dengan seorang lelaki. Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan berujung dengan nasihat khas orang tua.
Tapi saat ini, tidak ada satu pertanyaan pun. Malah sebaliknya, Emilya yang terus bertanya. Secara logika, harusnya Elisa jauh lebih penasaran mengingat Pak Irul adalah rekan kerjanya. Harusnya minimal Elisa bertanya, “Kok dia bisa tiba-tiba ngechat kamu?”
Sepertinya sang kakak meremehkan keahlian Emilya sebagai penulis roman penuh drama picisan. Trik remeh seperti ini sudah terbaca jelas. Sama seperti Pak Irul, Elisa salah mencari lawan untuk beradu akting.
“Syukurlah kalau memang bukan.”
Hanya itu tanggapan Emilya berikutnya sebelum beranjak dari hadapan Elisa. Dia berusaha bersikap seolah menerima penjelasan sang kakak. Tapi dalam hati bertekad mengakhiri pertemanan dengan Pak Irul. Tentunya tidak secara terang-terangan dan langsung. Dia akan mengakhirinya sesuai rencana. Hanya saja lebih cepat dari rencana semula.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥