Jumat (21.27), 08 Oktober 2021
----------------------
Tiba di rumah, Emilya dengan semangat menceritakan pada adik-adiknya—yang sebenarnya merupakan anak Elisa—mengenai kejadian lucu saat dirinya dan sang kakak mengalami gempa di rumah Risa.
“Mbak udah teriak-teriak panik nyuruh keluar. Yang lain juga sama paniknya dan kompak berdiri mau keluar rumah. Eh ini… suami Nura malah gagal fokus. Dia kan duduk pas di depan pintu keluar dan baru siap-siap mau makan. Bingung katanya pas diteriakin suruh keluar. Dia mikir, ‘Lawong baru mau makan kok sudah disuruh pulang’.”
Emilya tergelak, ingat betul ekspresi bingung suami Nura dengan mulut terbuka dan sendok di depan mulut. Bisa-bisanya dia begitu fokus pada makanannya hingga tak merasakan guncangan gempa yang lumayan kuat itu. Beruntung suami Nura merupakan senior mereka di kampus dulu dan sempat menjadi guru les mereka berlima. Jadi lelaki itu sama sekali tak merasa canggung meski menjadi bahan tertawaan usai insiden gempa itu.
Selanjutnya secara bergantian adik-adik Emilya bahkan Elisa sendiri menceritakan pengalaman gempa itu dari sudut pandang masing-masing. Semuanya memiliki versi unik sendiri, bahkan pihak yang tidak merasakan apapun.
Usai berbagi cerita, seperti biasa Emilya mulai menyibukkan diri dengan ponsel dan laptopnya. Yah, inilah cara Emilya menghabiskan sebagian besar waktunya. Duduk di depan laptop dengan ponsel di tangan. Meski terkadang tak ada kisah yang bisa dia tuliskan, namun laptopnya selalu menyala di depannya agar saat sebaris kata muncul dalam benak, Emilya tak perlu dibuat kesal dengan waktu tunggu saat laptop dinyalakan.
Seperti yang dia duga, berbagai grup chat w******p di ponselnya sudah penuh dengan bahasan soal gempa. Beberapa teman online Emilya yang tahu di mana dia tinggal, langsung bertanya apa dirinya dan keluarga baik-baik saja. Dia pun membalas dan balik menanyakan kondisi teman-temannya.
Tak banyak yang tahu, Emilya memiliki dua nomor WA. Satu nomor yang dia bagikan secara umum dan satu lagi untuk grup penulis dan pesan-pesan darurat lainnya. Jadi selain para penulis atau editor yang menjadi rekan-rekan kerjanya, hanya keluarga dan teman-teman terdekat yang tahu.
Usai membalas pesan-pesan di WA khusus, Emilya segera membuka WA yang satu lagi. Di sana juga banyak pesan dengan topik yang sama. Gempa beberapa jam lalu. Tapi ada satu pesan dari nomor asing yang menarik perhatiannya. Pesan singkat dengan sapaan salam yang tak biasa bagi Emilya.
“ …السلام عليكم ”
Hampir setiap hari Emilya mendapat pesan dari nomor baru di WA ini hingga tak terasa aneh lagi baginya. Tapi sapaan yang rata-rata mengawali pesan-pesan baru itu adalah sapaan umum.
Halo, Kak.
Pagi.
Kak, kenalin aku…
Ini benar nomer Kak Ay?
Yah, seperti itulah yang biasa Emilya terima. Bahkan beberapa yang mengawali sapaannya dengan “Assalamualaikum”, tak pernah menggunakan tulisan Arab seperti itu.
Sejenak Emilya ragu bagaimana hendak membalas. Biasanya dia balik membalas dengan salam yang sama ditambah emosikon dengan lambang cinta di matanya. Sebagai ungkapan bahwa Emilya menyambut dengan bahagia si pengirim pesan dan tak ragu menjalin pertemanan. Tapi pesan yang ini… apa pantas menggunakan emosikon yang sama?
Setelah menimbang selama beberapa saat, akhirnya Emilya memutuskan membalas sapaan salam itu ditambah emosikon senyum lebar yang menampakkan keseluruhan gigi. Dia berharap dalam hati, emosikon ini juga bisa mewakili perasaannya namun sedikit lebih sopan daripada emosikon dengan lambang cinta.
“Wa’alaikumsalam “
Usai membalas, nomor asing itu kembali mengirim pesan. Tapi pesan yang ini bukan menimbulkan efek segan seperti sebelumnya. Seketika Emilya tergelak, dan kembali membalas.
“Hah? Kebal? “
Emilya yakin orang itu tak sadar apa yang diketiknya. Dia membalas lebih cepat dari pesan sebelumnya. Bisa dibayangkan betapa malunya dia. Hal itu menggelitik sifat iseng Emilya.
“Salam kenal… . Maaf, salah ketik.”
Emilya menyeringai lalu membalas dengan kalimat setengah menggoda.
“Tapi kita belum kenalan, Kak ”
Kali ini dia tidak mendapat jawaban secepat sebelumnya hingga memutuskan untuk membalas pesan-pesan yang lain. Namun pikirannya tetap tertuju pada nomor baru itu. Tak dapat menahan rasa penasaran, dia pun menekan tanda foto profil si pengirim pesan dan seraut wajah lelaki yang asing langsung memenuhi layar ponselnya.
Cukup lama Emilya memandang foto itu dengan perasaan aneh yang membuat keningnya berkerut. Entah mengapa dia yakin orang ini bukan salah satu pembaca novelnya. Selain karena kata-katanya sopan dan terkesan kaku, penampilannya pun sama kakunya dengan kemeja rapi dan kopiah atau peci hitam. Sama sekali tak ada “gaya” dalam foto itu. Jenis foto profil guru yang biasa dilihat di majalah sekolah atau daftar guru di buku kenangan.
Beberapa menit berlalu, mata Emilya melebar kaget menyadari ada bagian yang familiar di foto itu. Walau sengaja dibuat buram untuk memfokuskan gambar pada objek utamanya, tapi Emilya tetap mengenali dengan jelas bangunan yang menjadi background foto. Itu adalah bangunan SMK tempat Elisa mengajar!
Yakin dengan dugaannya, Emilya segera menghampiri sang kakak yang tengah duduk di kursi depan mesin jahitnya dan asyik membalas chattingan WA. Segera dia menunjukkan foto di layar ponselnya seraya bertanya, “Ini guru SMK, kan?”
Elisa mengalihkan perhatian dari ponselnya sendiri dan beralih menatap ponsel sang adik. Keningnya juga berkerut selama beberapa saat lalu mengangguk membenarkan.
“Iya. Itu Pak Irul yang mbak ceritakan di acara yasinan tadi,” jelas Elisa seraya kembali sibuk dengan ponselnya sendiri.
What? Pak Irul cie-cie itu? Kok bisa dia tiba-tiba…
Mendadak Emilya terdiam. Dia yang masih berdiri tak jauh dari sang kakak, menatap bergantian antara foto itu dan sikap Elisa yang terkesan tak peduli. Ada yang aneh di sini. Amat sangat aneh.
“Memangnya kenapa?”
Pertanyaan Elisa yang tiba-tiba masih terkesan tak peduli karena sang kakak bertanya sambil lalu dengan pandangan masih tertuju pada layar ponselnya sendiri. Sontak hal itu membuat rasa aneh yang menggelitik hati Emilya berubah menjadi rasa curiga.
“Dia chat aku. Ini!”
Sengaja Emilya menunjukkan chattingan antara dirinya dan Pak Irul untuk melihat reaksi sang kakak. Tapi sama seperti tadi, tak ada pertanyaan bertubi yang Emilya dapat. Malah Elisa terkesan tak peduli. Hanya mengangguk-angguk lalu kembali fokus pada ponselnya sendiri.
Ada apa ini? Apa sang kakak sedang…
Elisa bukan termasuk dari banyak orang yang mempertanyakan kapan Emilya akan menikah? Tapi dia tahu betul bahwa sang adik sangat sulit menjalin hubungan asmara. Nyaris tidak pernah. Dia juga yang tahu betul bagaimana Emilya langsung menangis begitu ada orang yang datang dengan niat meminang. Dia juga tahu betul bagaimana pandangan Emilya tentang menikah sampai-sampai pernah terlontar pertanyaan lucu dari bibirnya.
“Kamu itu mau nggak sih sama cowok?”
Tidak, Emilya bukan memiliki masalah semacam itu. Dia masih cukup waras dan doyan memandangi para pemilik “roti sobek”. Tapi hanya sebatas itu. Kekaguman. Sementara pernikahan masih jauh dari pikiran Emilya.
Aku gak mau nikah sebelum ngerasakan hidup mandiri. Hidup sendirian. Keluar dari rumah. Berpetualang. Menjelajah seluruh Indonesia bahkan ke luar negeri.
Bagi Emilya, menikah bukan hanya komitmen berat dan penuh tanggung jawab. Tapi juga berarti “penjara”. Untuk orang yang terus terkurung dalam rumah seperti Emilya, menikah tampak menyeramkan. Seolah dirinya keluar dari penjara yang mengurungnya saat ini hanya untuk dilempar masuk ke penjara yang lain.
Tak banyak yang mengerti betapa tertekan dirinya atas kondisi ini. Bahkan sang kakak sendiri. Dunia maya dan dunia khayal adalah satu-satunya hiburan yang Emilya miliki. Agar bisa berpura-pura bahwa dirinya hidup bebas dan terbang bak burung.
Emilya paham sang kakak sangat menyayanginya hingga tak pernah mengizinkan Emilya pergi sendirian. Tapi sang kakak tak mau mengerti, bahwa Emilya adalah seorang penyendiri yang nyaris tak punya teman di dunia nyata. Tak ada yang bisa dia ajak keluar. Kalau pun ada, sering kali Elisa tak memberi izin dengan berbagai alasan. Alasan yang paling sering semasa sekolah dulu, tak ada orang dewasa yang mengawasi. Lalu kini setelah dirinya dewasa?
Beberapa kali Emilya sudah menyuarakan keinginannya. Tapi jawaban yang dia dapat selalu sama. Kalau sendirian dan gak jelas ke mana, gak boleh! Dan Emilya adalah tipe penurut walau terkadang masih berusaha bersikeras yang berujung pada kemarahan Elisa. Akhirnya yang bisa dia lakukan hanya menangis sendirian dalam kamar.
Hingga detik ini, sang Kakak masih tak mau mengerti. Menurutnya rasa suntuk dan jenuh Emilya serta anak-anaknya sendiri bisa dia atasi dengan sering mengajak mereka ke tempat wisata. Tapi bukan itu yang Emilya butuhkan. Memang pergi berlibur dengan mereka terasa menyenangkan. Tapi sama sekali tak bisa mengobati rasa tertekannya Tak bisa menghilangkan perasaan bahwa dirinya tinggal di “penjara”.
Perasaan itu terus ada di sudut tergelap hati Emilya. Kadang muncul hanya untuk mencekik dan membuatnya sangat frustasi hingga terkadang Emilya pikir dirinya akan hilang kewarasan. Mungkin tak akan ada yang mengerti perasaan ini. Kecuali orang itu pernah merasakan yang Emilya rasakan.
Pergi sekolah dan pulang tepat waktu. Tanpa bolos, tanpa jalan-jalan dengan teman, berlibur hanya jika ada acara rekreasi yang diadakan pihak sekolah. Lalu sisa waktunya dia habiskan di dalam rumah. Keluar hanya untuk ke toko. Tak ada berkumpul di rumah tetangga. Tak ada bermain bersama teman sejak dirinya menginjak SMP. Tak ada gosip. Tak ada berbagi cerita.
Kondisi itu membuat Emilya tanpa sadar menarik diri ke sudut ruangan. Meringkuk dalam kegelapan dan hanya menjadi pengamat.
Di waktu-waktu tertentu, kondisi tertekan Emilya mencapai titik puncak. Jika sudah demikian, bukan hanya merasa dipenjara, biasanya Emilya akan merasa sendirian. Merasa dirinya orang asing di rumah itu. Dia akan diam-diam menangis sambil pura-pura tidur dan hanya mendengarkan dalam diam saat Elisa, Mas Ali suami Elisa, dan kelima anak mereka bercengkerama. Bisikan-bisikan negatif akan bergema dalam kepala Emilya, mengatakan bahwa dia tidak pantas di sana. Bahwa dia bukan siapa-siapa. Bahwa dia sendirian.
Sekitar dua bulan sebelumnya, Emilya mengalami kondisi itu dengan intensitas yang jauh lebih parah dari yang pernah dia alami. Tak ada yang tahu bahkan Elisa sendiri. Faktor pemicunya beragam. Termasuk dari dunia maya yang tadinya merupakan satu-satunya tempat hiburan bagi jiwa gelapnya.
Saat itu Emilya merasa benar-benar sendirian. Dunia maya dan dunia nyata terasa menyakitkan baginya. Dan tatkala emosi negatif menguar dari jiwanya, membisikkan bahwa dia tak diterima di dunia nyata maupun dunia maya, setân pun bersorak mengulurkan tangan. Mengundangnya ke kegelapan abadi. Kematian.
Sakitnya tidak lama. Setelah itu kamu akan tidur panjang dan damai.
Nyaris saja Emilya tergoda. Tapi akhirnya dia berhasil merangkak kembali ke dalam cahaya. Berjuang sendirian menepis kegelapan dengan sebuah tekad dalam hati. Tekad yang membuatnya sanggup bertahan.
Aku akan pergi selepas lebaran ini. Kali ini benar-benar pergi. Tak akan ada lagi yang bisa menghalangiku.
Semuanya telah Emilya atur dengan matang. Rumah rekan sesama penulis di Surabaya telah siap menyambut kedatangannya. Dari sana Emilya juga telah merancang perjalanan. Mungkin belum bisa menjelajah mengingat pandemi covid-19 masih melanda. Tapi dia bisa mulai hidup mandiri di Surabaya sana.
Satu-satunya yang masih menahan Emilya saat itu adalah uang. Dia sedang menunggu proses tanda tangan kontrak menulisnya selesai dan uang kontrak cair sekitar ramadhan ini. Setelahnya tak akan ada yang bisa menghalangi. Bahkan sang kakak sekalipun. Dengan melarang secara langsung ataupun dengan cara seperti ini. Menjodoh-jodohkan Emilya dengan rekan kerjanya. Ini tak akan berhasil menghentikan niat Emilya untuk pergi.
Emilya kembali ke depan laptop tanpa mengatakan apapun lagi pada sang kakak. Saat itu Pak Irul sudah membalas pesannya. Masih dengan sikap kaku yang sama seperti tadi.
Senyum Emilya terbit. Untuk sementara dia akan berpura-pura tidak tahu identitas si pengirim pesan. Biar Emilya bermain-main sejenak sebelum mengabaikan pesan itu untuk membuat jarak. Seperti yang biasa dia lakukan saat ada teman lelaki di dunia nyata yang berusaha mendekatinya.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥