Jumat (21.04), 08 Oktober 2021
--------------------------
Mungkin seharusnya aku memilih tidak datang.
Satu kalimat itu terus terngiang dalam benak Khairul sambil menahan jengkel dalam hati mendengar godaan rekan-rekan kerjanya.
Padahal dia sudah memperkirakan waktu kedatangannya dengan sangat apik. Tepat di penghujung lantunan sholawat. Tapi begitu iringan sholawat dan pembacaan doa usai, rekan-rekannya tetap tak membiarkan dirinya lolos begitu saja.
“Ayo, Pak! Selagi di sini… selagi pintu terbuka lebar…”
Khairul tak yakin itu seruan dari siapa. Sama seperti seruan-seruan sebelumnya yang selalu diselingi kata “cie… cie…” Jelas tidak mungkin dia terus diam tanpa setidaknya satu tanggapan. Atau dirinya akan mati ditelan suara-suara nyaring itu tanpa perlawanan.
“Pintunya sudah tertutup rapat, Pak.” Akhirnya Khairul memilih berkata demikian. “Kuncinya juga sudah hilang entah ke mana.”
Namun jawabannya yang secara tersirat menunjukkan bahwa hati si wanita tak mungkin bisa dimasukinya, malah membuat suasana kian heboh. Bak api yang disiram bensin, rekan-rekannya kian semangat melontarkan godaan yang akhirnya hanya dibalas Khairul dengan cengiran tak nyaman.
Waktu berlalu amat lambat bagi Khairul. Padahal dia hanya perlu menghabiskan sepiring nasi di tangannya. Barulah begitu rekan-rekannya mulai berpamitan, dirinya bisa menghembuskan napas lega.
“Pak Khairul, mau ke mana?”
Khairul yang sudah siap berdiri menatap Pak Lim bingung. “Pulang,” sahutnya.
“Calon menantu jangan buru-buru pulang. Sana bantu beres-beres dulu.”
Khairul tersenyum jengkel lalu kembali berniat berdiri seraya berkata, “Sebaiknya saya segera pulang.”
“Eeeh, salim dulu sama bapaknya Bu Vita. Ayo saya antar. Itu di depan.”
Begitu Pak Lim berdiri, Khairul kembali duduk seraya menampilkan senyum minta maaf. “Lupa. Ada yang masih ingin saya bicarakan dengan Ustadz Faiz,” ujar Khairul seraya menunjuk Ustadz Faiz yang sejak tadi duduk di sisinya sambil menahan senyum geli.
Pak Lim berdecak namun memilih tak mendesak lalu berpamitan.
“Mereka semua itu kenapa?” gumam Khairul sambil geleng-geleng kepala dengan pandangan tak lepas dari rekan-rekan kerjanya yang masih banyak berdiri di halaman rumah Bu Vita, bergiliran mengeluarkan sepeda dari area parkir.
Ustadz Faiz yang mendengar itu hanya terkekeh geli seraya menikmati buah-buahan segar di hadapannya. Alhasil dia mendapat tatapan kesal dari Khairul dan bersiap menerima omelan. Tapi yang dilakukan Khairul kemudian hanya mencomot seiris melon lalu melahapnya untuk meredakan jengkel yang sejak tadi memenuhi hatinya.
Sayangnya, kepergian Pak Lim bukan berarti Khairul bisa sepenuhnya tenang. Beberapa guru wanita masih di dalam dan sibuk membungkus sisa es ke dalam kantong plastik. Lalu entah siapa, terdengar ada yang bertanya, “Mau dibungkuskan juga, Pak?”
Pertanyaan itu terdengar wajar saja. Tapi godaan-godaan yang menyertai pertanyaan itu jelas membuat maknanya jadi berbeda. Sambil mendesah pelan, Khairul memilih menjawab, “Sekalian bungkus sama orangnya, Bu.”
Seketika para wanita di dalam bersorak nyaring. Khairul yang duduk dengan posisi membelakangi pintu masuk dan bersandar di daun pintu yang terbuka tak mau repot-repot menoleh. Setidaknya godaan rekan-rekan wanitanya masih sanggup ia tanggung.
Masih sambil menikmati seiris melon di tangannya, sesekali Khairul melirik halaman untuk memastikan apa rekan-rekannya yang paling gencar menggoda sudah pulang. Namun belum juga yakin, pandangannya terhalang saat beberapa rekan wanitanya keluar dari dalam rumah lalu berjalan melewati dirinya yang masih duduk bersama Ustadz Faiz.
Refleks Khairul mendongak melihat siapa saja mereka. Namun pandangannya seolah terpaku pada wanita berbaju merah yang terasa asing. Sekilas tadi dia sempat menangkap keseluruhan wajahnya yang tanpa polesan make-up sebelum buru-buru ditutup masker. Dan entah bagaimana, sesuatu dalam hatinya terasa aneh. Berdebar dengan cara yang tak biasa.
DEG.
“Pak!”
Seruan Ustadz Faiz yang diiringi guncangan pelan di lengannya akhirnya menyadarkan Khairul. Dia menoleh ke arah Ustadz Faiz masih dengan pandangan setengah melamun.
“Hah?”
“Lihat apa sampai yang dipegang jatuh begitu?”
Khairul menunduk dan mendapati melon yang sudah tinggal setengah kini tergeletak di atas karpet dan nyaris mengenai celana kainnya. Sambil tersenyum malu, dia segera memindahkan melon itu ke piring buah yang sudah kosong lalu berdiri.
“Saya pamit duluan, Ustadz.”
“Loh…”
Tanpa menunggu tanggapan Ustadz Faiz, Khairul bergegas keluar dengan niat mencari tahu siapa wanita tadi. Apakah dia guru baru?
Namun setibanya di luar, niatnya seketika menguap. Bapak Bu Vita masih di sana menyalami para rekan gurunya. Dan begitu melihat dirinya, rekan-rekannya yang ternyata tak kunjung lelah kembali berseru menggoda.
“Pak, sana!”
“Cepat salaman!”
“Jangan buru-buru pulang.”
Kalimat-kalimat itu terasa berputar-putar dalam benak Khairul hingga rasanya dia berdiri di antara gelombang yang siap menelannya. Sadar dirinya tak mungkin bisa tenang sebelum pergi dari sana, dia pun memutuskan segera mengeluarkan sepedanya dari tempat parkir.
“Pak Khairul…”
Khairul menoleh dan mendapati Bu Dhira menatapnya dengan tampang memelas sambil menunjuk motornya. Khairul geleng-geleng kepala seraya memarkir motornya sendiri di trotoar yang tidak menghalangi jalan lalu segera menuju motor Bu Dhira.
Usai dengan motor Bu Dhira, lagi-lagi niatnya untuk pergi tertahan. Kali ini datang dari Bu Elisa yang memanggilnya dengan panggilan yang… hhh… sudahlah…
“Pak ilong!”
“Ada apa, Bu?” tanya Khairul seraya mendekat. “saya agak buru-buru.”
“Gak salim sama Bapak?” Bu Elisa bertanya seraya mengedikkan dagu ke arah Bapak Bu Vita dengan senyum geli nampak di bibirnya.
Hhhh… ternyata sama saja. “Saya buru-buru, Bu. Duluan, ya.”
Setelahnya Khairul benar-benar mengabaikan panggilan di sekitarnya. Dia buru-buru naik ke motor dan bersiap tancap gas namun urung saat melihat Bu Asti yang sedang berdiri menunggu—entah siapa.
“Bu, saya ada perlu sama sampean,” ujar Khairul dengan benak terbayang kembali pada wanita berbaju merah tadi. Dia memutuskan hendak bertanya mengenai wanita itu pada Bu Asti. Selain karena dirinya dan Bu Asti lumayan akrab, Bu Asti tipe orang yang tidak akan menggodanya seperti guru-guru yang lain.
“Ada apa, Pak?”
“Nanti di sekolah.” Hanya itu yang Khairul katakan sebelum akhirnya berpamitan singkat lalu tancap gas.
***
Tiba kembali di sekolah dan jauh dari godaan rekan-rekannya serasa lepas dari sebuah ujian berat bagi Khairul. Dan kini otaknya dipenuhi tujuan lain. Dirinya sendiri tak mengerti kenapa. Namun wanita berbaju merah itu benar-benar menggelitik rasa penasarannya.
Sebenarnya Khairul sudah tak memiliki kegiatan tertentu di sekolah hari ini. Seharusnya dia langsung pulang saja tadi. Tapi berhubung di rumah pun dirinya tak memiliki kegiatan selain tidur, dia lebih suka berlama-lama di sekolah. Seperti yang biasa dilakukannya hingga tak jarang dirinya baru pulang menjelang malam.
Kedatangan Bu Asti ke ruang guru membuat Khairul kian semangat. Dan tanpa berbasa-basi, selagi suasana sedang sepi, dia langsung mengutarakan pertanyaan dalam benaknya.
“Bu, wanita yang pakai baju merah di rumah Bu Vita tadi, apa dia guru baru?”
Bu Asti tertegun selama beberapa saat, hanya menatap Khairul dengan kening berkerut. “Yang mana?”
“Itu… yang jalan di belakang Bu Elisa.” Dia ingat betul wanita itu memang berjalan tepat di belakang Bu Elisa. Namun Khairul sudah tak melihatnya begitu tiba di halaman. Seperti mimpi saja.
“Oooh, dia itu adiknya Bu Elisa.”
“Guru baru?” desak Khairul.
“Bukan. Cuma ikut Bu Elisa tadi.” Lalu mata Bu Asti menyipit memperhatikan Khairul, mulai menangkap rasa penasaran di mata rekan kerjanya itu. Seketika senyumnya merekah. “Kenapa? Cocok? Cantik kok.”
Khairul meringis setengah malu. “Gak penting cantik sih, Bu. Yang penting bisa menerima saya.”
Bu Asti termasuk dari sedikit rekan guru Khairul yang tahu bagaimana kehidupan lelaki itu. Dia langsung mengangguk paham lalu kembali bertanya, “Mau nomernya?”
Mata Khairul langsung berbinar penuh semangat. “Kalau ada, mana?”
“Tapi antarkan saya pulang dulu. Tunggu sampai saya serahkan ini ke bagian kurikulum.”
Khairul berdecak melihat senyum geli Bu Asti. Rumah wanita itu tidak searah dengan rumahnya. Tapi yah, tidak apa-apalah. Demi nomer ponsel wanita berbaju merah yang menarik perhatiannya tadi.
***
Lagi, Khairul terpaksa kembali ke sekolah setelah mengantar Bu Asti. Setibanya di rumah rekan gurunya itu, dia baru sadar kalau charger ponselnya tertinggal di loker ruang guru dan baterai ponselnya sudah kritis.
Lalu apa dia dapat nomer yang dijanjikan Bu Asti?
Ya, tentu saja. Rekannya itu tak mungkin ingkar janji. Dugaan Khairul, Bu Asti meminta nomer si wanita pada Bu Elisa dalam perjalanan pulang tadi. Entah apa yang dia jadikan alasan. Pokoknya kini nomer itu sudah tersimpan di ponselnya.
Kini dirinya memutuskan tak langsung pulang lalu mengungsi di ruang BK sambil mengisi daya ponselnya. Toh hari masih siang. Malas rasanya kepanasan di bawah terik matahari setelah ke sana-kemari. Sungguh hari yang terasa sangat panjang dan melelahkan.
Begitu ponselnya menyala kembali setelah setengah terisi daya, Khairul langsung membuka aplikasi WA lalu mencari nomor yang diberikan Bu Asti tadi. Sejenak dia merenung apa yang hendak dikatakannya. Namun tak butuh waktu lama saat dia memutuskan untuk mengawali chatnya dengan sapaan salam.
“ …السلام عليكم ”
Tanda centang dua langsung menghiasi pesannya menandakan nomer itu memang masih aktif. Dengan semangat yang meningkat, dia pun menunggu tanda centang itu berubah biru dan si empunya membalas seraya membuka pesan-pesan lain.
Satu menit…
Lima menit…
Sepuluh menit…
Kening Khairul berkerut seraya membuka kembali pesannya pada si wanita—ah, iya. Dirinya bahkan belum tahu siapa nama wanita itu. Kenapa tadi tidak ingat untuk menanyakannya pada Bu Asti?
Tanda centang di pesan berisi salam yang dikirimnya tak kunjung berubah warna menjadi biru. Apa wanita itu termasuk tipe orang yang tidak suka membalas pesan dari nomer baru? Sejenak dia berpikir hendak mengirim pesan lain. Namun seruan dari ambang pintu ruang BK menarik perhatiannya.
“Long!”
“Apa?” sahut Khairul sambil menatap Pras yang berdiri di ambang pintu. Tidak seperti pada rekan guru yang lain, dia tak merasa perlu memberikan embel-embel panggilan “Pak” pada Pras. Lelaki itu bukan sekedar rekan bagi Khairul. Tapi juga sahabatnya.
“Ikut aku, cepetan! Siswa kita ada yang kecelakaan. Sekarang sudah di rumah sakit.”
Tanpa kata lagi, Khairul bergegas membereskan barang-barangnya dan membuntuti Pras yang sudah lebih dulu menuju parkiran dengan tergesa. Yah, memang seperti inilah rata-rata keseharian Pras. Sebagai guru BK, dia yang paling banyak bersinggungan langsung dengan para siswa.
Tak lama kemudian, Khairul dan Pras bersama dua guru lain sudah tiba di rumah sakit dan bergegas menuju kamar rawat siswa yang terlibat kecelakaan motor. Beruntung siswa tersebut berkendara seorang diri dan hanya mengalami beberapa luka ringan serta cedera kaki yang pasti akan membuatnya kesulitan berjalan selama beberapa minggu ke depan.
Tidak ada yang aneh saat itu. Khairul yang duduk di kursi tepat di sisi ranjang pasien mendoakan kesembuhan pemuda itu dalam hati. Sementara Pras masih tampak serius berbincang dengan ibu pasien, menanyakan detail kejadian.
Keanehan itu mulai terjadi saat Khairul menoleh ke arah pajangan di dinding kamar. Bukan pajangannya yang membuat Khairul menyipitkan mata berusaha fokus. Tapi… kenapa benda itu seperti bergerak-gerak?
“Gempa! Gempa!”
“Ayo keluar!”
Seruan panik itu membuat Khairul refleks menoleh ke arah orang-orang yang berdesakan keluar dari ruang rawat. Ruang kecil yang tadinya setengah penuh diisi pasien dan kerabat-kerabatnya seketika menjadi sepi.
Namun tak seperti yang lain, Khairul malah sama sekali tak terusik kepanikan itu. Yang menarik perhatiannya dan membuatnya ternganga takjub adalah pemandangan saat si pasien mendadak melompat dari ranjang dan juga bergegas berlari keluar.
Selama beberapa saat Khairul masih terpana seraya bergegas keluar hanya untuk meyakinkan diri bahwa penglihatannya tidak salah. Pasien itu benar-benar berlari keluar lalu terduduk di tengah halaman rumah sakit. Saat itulah tawa Khairul akhirnya pecah. Dia terbahak-bahak di depan kamar rawat pasien, tak memedulikan pandangan bertanya orang-orang di sekelilingnya.
Pras yang melihat sahabatnya tertawa-tawa sendirian seperti orang gila bergegas mendekat seraya melotot, “Long! Apaan sih ketawa-tawa gitu!” tegur Pras. “Berdoa kek atau apa… Mana ada guru agama malah ketawa begitu pas yang lain panik gara-gara gempa?”
Masih diiringi tawa yang tak kunjung reda, Khairul berusaha menjelaskan, “Kang, coba lihat!” ujarnya seraya menunjuk si pasien. “Dia tadi lompat dari ranjang terus lari keluar. Kebayang gak gimana caranya?” Khairul geleng-geleng kepala seraya menyeka sudut matanya yang basah akibat tawa. “Trus ibunya juga gak beres. Kabur paling cepat dan anaknya ditinggal gitu aja.”
Tak butuh waktu lama bagi Pras untuk memahami maksud Khairul. Tawanya juga pecah tapi buru-buru dia menahannya demi kesopanan dan menyenggol sang sahabat agar segera menghentikan tawanya juga.
***
Topik mengenai gempa tadi dan kelucuan di ruang rawat menjadi topik hangat dalam mobil saat perjalanan kembali ke sekolah. Khairul yang duduk di kursi bagian tengah sesekali menimpali seraya mengecek ponselnya. Lalu satu pesan tak terbaca menarik perhatiannya. Ya, itu pesan yang ditunggunya. Dari wanita berbaju merah itu.
“Wa’alaikumsalam"
Debar jantung Khairul meningkat mendapati pesannya berbalas. Namun dia berusaha bersikap normal dan buru-buru mengetik pesan balasan. “Salam kenal"
Kali ini Khairul tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan balasan. Hanya selang satu menit, ponselnya berbunyi menandakan pesan WA. Namun jawaban yang diterimanya tak seperti yang ia bayangkan. Bahkan butuh waktu lama bagi Khairul memahami apa maksud pesan itu.
“Hah? Kebal?"
Kening Khairul berkerut berusaha meraba apa maksudnya. Dan begitu ia membaca kembali pesan yang dia kirim sebelumnya, seketika wajahnya terasa panas karena malu.
“Ya Allaahhh…”
Kira-kira, adakah fitur hapus pesan dari ingatan seseorang?
---------------------------
Yah, emosikonnya gak bisa tampil -_-
Lihat di screenshot aja deh. Di blog
♥ Aya Emily ♥