4. Baikan

1796 Kata
“Vic!” panggil Chloe berlari menghampiri Victoria. “Tugasku sudah selesai. Aku akan pulang sekarang,” ucap Victoria memaksakan senyum. “Kalau begitu aku akan mengantarmu,” tukas Chloe. “Tidak perlu. Aku akan pulang sendiri,” tolak Victoria. “Ah! Benar. Ada Thomas yang akan mengantarmu,” ucap Chloe seraya mencari keberadaan Bentley hitam yang biasa Victoria gunakan. “Tidak,” ujar Victoria menggeleng. “Akhir-akhir ini aku sedikit lelah karena terus berlatih. Jadi aku ingin berjalan sebentar untuk menghirup udara segar.” “Kalau lelah harusnya kau cepat pulang dan istirahat di kamar, bukan jalan-jalan di malam hari seperti ini,” omel Chloe khawatir. “Tolong. Aku hanya butuh waktu sendiri,” bujuk Victoria dengan senyum mengembang seolah tak terjadi apa-apa. “Tapi-” “Masuklah. Kau pasti sedang sibuk. Aku akan pergi sekarang,” potong Victoria kemudian beranjak dari sana. Kaki Victoria melangkah menuju Thomas yang menunggunya dan memberitahu pria itu bahwa ia akan berjalan kaki. Setelahnya, Victoria pergi tanpa memedulikan panggilan Thomas. *** “Lebih cepat lagi,” pinta Luke. “Baik, Bos,” ucap Eddy, salah satu pengawal Luke. Sementara itu, Luke tak melepas pandangan dari tablet di tangannya yang memutar penampilan Victoria memainkan piano. Matanya menatap lekat Victoria yang tampak sangat cantik mengenakan gaun putih. Mobil melambat membuat Luke mendongak dingin. “Ada apa?” “Bos, bukankah itu Nona Victoria?” tanya Eddy menunjuk seseorang di luar sana. Sontak Luke menoleh ke luar jendela dan melihat seorang wanita dengan gaun putih bertelanjang kaki berjalan di tepi jalan. Kedua tangannya menentang tas dan sepasang heels putih. Dia adalah Victoria. “Berhenti,” pinta Luke yang segera diikuti oleh Eddy. Dengan tatapan tajam, Luke keluar mobil menghampiri Victoria. Melepas jas lalu meletakkannya di pundak Victoria. “Apa yang kau lakukan di sini? Di mana Thomas?” tanya Luke dingin. Victoria terdiam. Matanya menatap lekat pria di hadapannya. Pria yang berjanji akan hadir melihat penampilannya malam ini sekaligus pria yang mengingkari janji itu. Mengabaikan Luke, Victoria melangkah pergi meninggalkannya. “Mau ke mana?” tanya Luke menahan lengan Victoria. “Duduk,” jawab Victoria menunjuk kursi panjang yang tak jauh dari sana. Luke mengikuti arah yang Victoria tunjuk. Tanpa aba-aba, Luke langsung menggendong Victoria lalu mendudukkannya di kursi tersebut. Setelahnya, Luke berlutut dengan sebelah lutut di hadapan Victoria dan memeriksa kaki wanita itu. “Apa yang kau lakukan? Kenapa berjalan sendirian tanpa mengenakan heels-mu?” tanya Luke yang tengah membersihkan telapak kaki Victoria. “Lihat bintang-bintang itu. Bukankah sangat indah?” ujar Victoria mendongak. Luke ikut mendongak menatap bintang di langit yang malam ini memang cukup banyak. “Kau jalan seperti ini hanya untuk melihat bintang?” “Bintangnya sangat cantik sampai aku ingin terus melihatnya,” gumam Victoria. “Lalu kenapa melepas heels-mu?” tanya Luke. “Sakit,” jawab Victoria cemberut. Tanpa mengatakan apa-apa, Luke meletakkan kaki Victoria di atas pahanya lalu mulai memijat lembut kaki wanita itu. Selama beberapa saat keduanya hanya membisu. Victoria hanya menatap Luke yang memijat kakinya. Meski pijatan pria itu terasa nyaman dan membuat rasa sakit di kakinya menghilang, entah kenapa dadanya terasa lebih nyeri dari sebelumnya. Selesai memijat kaki Victoria, Luke hendak memasang kembali heels di kaki Victoria. Namun, ucapan Victoria menghentikan gerakannya. “Kakiku masih sakit,” rengek Victoria. Luke mendongak menatap Victoria tanpa mengatakan apa-apa. Sesaat, mereka berdua hanya saling menatap dalam diam. “Maaf aku terlambat. Ada kecelakaan yang cukup parah saat aku keluar dari bandara, jadi aku harus mengambil jalan memutar,” jelas Luke. “Tapi, aku menonton video penampilanmu yang direkam oleh Victor. Kau tampil dengan sangat baik.” “Memang aku mengatakan sesuatu?” tanya Victoria. “Aku tahu kau marah karena aku terlambat,” ucap Luke. “Bukan terlambat, tapi tidak datang,” koreksi Victoria. “Aku minta maaf,” ujar Luke. “Entahlah. Seingatku ada orang yang dengan percaya diri mengatakan kalau dia akan datang tepat waktu,” tukas Victoria bersedekap dadaa. “Apa yang kau inginkan?” tanya Luke mengalah. “Tidak tahu,” gumam Victoria mengendikkan bahu. Sebelah alis Luke terangkat dan tanpa aba-aba langsung menggendong Victoria. “Apa yang kau lakukan?!” bentak Victoria dengan kedua tangan melingkar di leher Luke. “Kita bicara di villa,” ucap Luke kemudian masuk ke mobil. Mengabaikan Victoria yang cemberut. *** “Kalian sudah pulang,” sambut Jane yang berjalan tergopoh-gopoh keluar. “Kau sudah makan malam?” tanya Luke pada Victoria yang enggan menjawab. “Buatkan sup labu,” pintanya pada Jane. “Baik,” ucap Jane kemudian beranjak ke dapur. Sementara Luke membawa Victoria ke sofa. Mendudukkan wanita itu di atas pangkuannya. “Aku ingin duduk sendiri,” tukas Victoria. Namun, Luke segera menahan dengan meremas pinggangnya. “Aku tahu aku salah. Maafkan aku,” ucap Luke. Victoria terdiam tak menjawab. Saat ini pikirannya sedang berkecamuk. Ia ingin percaya dengan ucapan Luke mengenai kecelakaan itu. Tapi, suara Isabelle yang ia dengar waktu itu terus terngiang di kepalanya. Dan kini, entahlah. Victoria tak tahu harus percaya pada siapa. Rasanya semua orang hanya akan berbohong jika ia bertanya. Tanpa kata, Victoria menyandarkan kepalanya di dadaa bidang Luke sembari memainkan kancing kemeja pria itu. Melihat reaksi Victoria yang tenang, Luke mengulurkan tangan membelai rambut wanita itu. “Aku janji tidak akan mengulanginya,” ucap Luke yang hanya dibalas anggukan oleh Victoria. Bertepatan dengan itu, Jane datang meletakkan semangkuk sup labu di atas meja lalu kembali ke dapur. “Makanlah,” pinta Luke. “Aku lelah,” gumam Victoria lemah. “Aku akan menyuapimu,” tukas Luke mengambil mangkuk di atas meja dan mulai menyuap sup labu pada Victoria yang masih bersandar di dadaanya. *** Bentley hitam yang berhenti di depan gedung grup musik kembali menarik perhatian orang-orang. Ketika pintu dibuka, mereka berbondong-bondong mengintip ke dalam dan melihat tangan Luke memeluk pinggang Victoria sebelum wanita itu keluar. Begitu Victoria melangkah masuk ke dalam gedung, Bentley hitam itu beranjak dari depan gedung. Saat hendak masuk ke dalam lift, langkah Victoria terhenti ketika Patricia dan Benetta hendak keluar. Seperti biasa, kedua orang itu menatap Victoria dengan tatapan merendahkan yang tak dapat disembunyikan. Itu pun sudah menjadi rahasia umum. “Ternyata kau masih ada muka datang ke sini setelah ditelantarkan kemarin malam. Kasihan,” cibir Patricia. “Padahal Luke selalu menonton penampilan Isabelle di kursi paling depan,” sambung Benetta tersenyum miring. Victoria mengabaikan mereka dan melengos masuk ke dalam lift begitu saja. Jika dikatakan kesal, tentu Victoria merasa kesal dan sangat ingin merobek mulut mereka saat ini juga. Tapi, apa gunanya itu? Tidak ada untungnya sama sekali. “Vic!” panggil Alice ketika melihat Victoria keluar dari lift. “Ada apa?” tanya Victoria. “Miss Ball memanggilmu,” ucap Alice. “Miss Ball? Kenapa dia memanggilku?” tanya Victoria. “Kau akan tahu ketika bertemu dengannya,” ujar Alice. “Cepat pergi ke ruangannya. Dia sudah menunggumu.” Victoria mengangguk kemudian pergi ke ruangan sang guru yang berada di lantai atas. Victoria mengetuk pintu lalu masuk ke dalam. “Kau memanggilku?” tanya Victoria. “Duduklah,” pinta wanita berusia 31 tahun itu. Wanita yang bernama lengkap Christina Ball sekaligus guru musik Victoria. Victoria menurut lalu duduk di sofa yang diikuti oleh Christina. “Dua bulan lagi akan diadakan hari peringatan berdirinya grup musik. Dan ketua dari masing-masing grup akan tampil solo di acara itu.” “Tapi karena grup B masih belum memiliki ketua, aku ingin kau bersaing dengan yang lain untuk menjadi ketua tim dan tampil solo di acara itu,” tutur Christina. “Lombanya akan diadakan minggu depan, jadi berlatihlah dengan baik. Aku berharap banyak padamu, Victoria,” ujarnya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” ucap Victoria percaya diri. “Tapi, ketua tim ... apa Isabelle juga akan ikut?” Sejenak Christina terdiam sebelum berkata, “Kau tidak perlu memikirkan yang tidak perlu. Kembalilah ke ruang latihan.” Christina beranjak menuju meja kerjanya yang artinya pembahasan mengenai Isabelle cukup sampai di sana. Victoria mengerti dan segera keluar dari sana. “Kau sudah bertemu dengannya?” tanya Alice begitu Victoria masuk ke dalam ruang latihan. Victoria mengangguk sembari meletakkan tas ke dalam lokernya. “Bagaimana? Kau akan ikut?” tanya Alice. “Tidak ada alasan untuk tidak ikut. Terlebih lagi, Miss Ball menyuruhku untuk ikut,” ucap Victoria. “Bagaimana denganmu?” “Tidak ada pilihan. Miss Ball juga menyuruhku untuk ikut,” rajuk Alice. “Haaa .... Aku benar-benar tidak ingin ikut,” keluhnya seraya bergelayutan dengan manja di lengan Victoria. “Kenapa? Bukankah itu kesempatan yang bagus untukmu?” tanya Victoria. “Kau sendiri tahu kalau aku bukan orang yang berambisi. Berada di grup ini pun sudah cukup. Aku hanya ingin hidup tenang dan santai seperti sekarang,” tutur Alice malas. “Kalau begitu bangun dan mulailah bekerja. Di dunia ini tidak ada tempat yang sesuai dengan mimpimu itu,” tegas Victoria. Alice menghela napas pasrah. Sesaat kemudian, ia menjauh ketika teringat sesuatu. “Oh, ya. Katanya ketua dari masing-masing tim akan tampil solo, ‘kan?” “Apa itu artinya Isabelle akan kembali? Tapi, bukankah dia masih belajar di Paris? Atau mungkin dia sudah selesai dan akan segera kembali?” cecar Alice. “Entahlah. Aku tidak peduli,” ucap Victoria tidak acuh kemudian beranjak melepas sepatunya. “Tapi, kalau dia kembali bukankah kau tidak akan bisa hidup tenang lagi? Dia pasti akan kembali mengganggumu,” tukas Alice khawatir. “Memang apa yang akan dia lakukan padaku?” tanya Victoria percaya diri. “Aku tidak ingin berurusan dengannya. Jadi, aku tidak akan peduli.” “Kau benar! Memang apa yang akan dia lakukan padamu? Dia tidak bisa melakukan apa-apa!” seru Alice dengan semangat berapi-api. “Karena itu, dari pada memikirkan hal yang tidak penting, lebih baik kita berlatih untuk pemilihan ketua minggu depan!” seru Victoria penuh semangat. Berbanding terbalik dengan Alice yang kembali lemas dan murung. Namun, Alice tak memiliki pilihan selain menurut dan ikut latihan bersama Victoria. Di tengah latihan, seorang wanita masuk dengan senyum khas di wajahnya. Wanita itu adalah Lawrence Foster yang juga merupakan salah satu guru musik. “Miss Foster,” sahut Victoria menghampiri Lawrence. “Kudengar kau akan ikut lomba pemilihan ketua,” ujar Lawrence yang diangguki oleh Victoria. “Aku baru saja mengaransemen sebuah musik klasik, apa kau ingin mencobanya di pemilihan ketua nanti?” Senyum Victoria mengembang kemudian mengangguk. “Tentu.” “Kalau begitu sampai jumpa besok,” ucap Lawrence kemudian keluar dari sana. “Sepertinya Miss Foster lebih memerhatikanmu. Kenapa kau tidak pindah guru saja?” sahut Alice. “Apa di otakmu hanya ada hal-hal buruk saja? Kenapa kau terus mengatakan omong kosong?” tanya Victoria. “Itu bukan omong kosong. Aku bahkan tidak yakin kalau Miss Ball menganggapmu sebagai muridnya,” cibir Alice. “Hentikan. Lebih baik kau latihan. Tadi kau salah nada beberapa kali,” tegur Victoria. *** To be continued.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN