5. Luke Menjemput Isabelle?!

1504 Kata
Victoria berlari menuruni tangga ketika mendengar suara mobil Luke. Dengan senyum lebar, Victoria langsung memeluk Luke yang baru melewati ambang pintu. “Kau pulang,” ucap Victoria kemudian berjinjit untuk mengecup pipi Luke berkali-kali. “Aku merindukanmu,” bisik Luke menarik pinggang Victoria merapat padanya. “Aku tahu,” balas Victoria tersenyum. Tanpa kata, Luke langsung melumat bibir Victoria cukup lama sampai menggendong wanita itu di depan. Membawa Victoria ke sofa dan membiarkan sang kekasih duduk di pangkuannya. Ciuman mereka berlangsung cukup lama sebelum akhirnya Victoria menarik diri saat merasa hampir kehabisan napas. Luke menyerukkan wajah ke leher Victoria dan menghirup aroma wanitanya dalam-dalam. “Kau sudah makan malam?” tanya Victoria dengan sebelah tangan yang mengelus rambut Luke. “Belum,” jawab pria itu. “Kalau begitu aku akan memasak makanan kesukaanmu,” ucap Victoria yang dibalas anggukan oleh Luke. Tanpa membuang waktu, Victoria turun dari pangkuan Luke dan bergegas ke dapur untuk memasak. Dengan bantuan Jane yang menyiapkan bahan makanan. Meski tak rela melepas Victoria dari pelukannya, Luke tatap mengulas senyum melihat kekasihnya yang sangat bersemangat. Luke lalu melepas jas dan dasi kemudian membuka 3 kancing teratas kemejanya. Luke mengambil ponselnya ketika benda itu berdering dan panggilan video masuk. “Ada apa?” tanya Luke begitu menjawab panggilan tersebut. “Sangat tidak berperasaan. Kau tidak merindukanku?” rajuk pria di seberang telepon. Kevin Ace Jones, sahabat Luke sekaligus CEO Ace-Sky Group di mana Victoria baru saja tampil di festival tahunan perusahaan tersebut. “Tidak usah basa-basi. Kenapa kau meneleponku?” tanya Luke. “Kudengar kau sudah pulang jadi aku segera menghubungimu. Aku ingin melihat wanita yang kau sembunyikan di villa-mu,” ujar Kevin. “Kau sudah pernah melihatnya,” ucap Luke. “Ck! Aku belum puas, karena kau hanya memperlihatkannya sekilas,” decak Kevin. “Saat festival waktu itu juga aku tidak sempat melihatnya, karena aku tiba-tiba punya urusan penting.” Tanpa kata, Luke langsung mengarahkan kamera ke arah Victoria yang tengah memasak dengan celemek yang terpasang di tubuhnya. Meski tak dalam balutan gaun indah dan riasan yang cantik, Victoria tetap terlihat sangat cantik. “Sekarang baru terlihat jelas,” ujar Kevin. “Yah, sekarang aku mengerti alasanmu tidak pernah membawanya keluar dan mengurungnya di sana untuk dirimu sendiri.” “Jangan menatapnya terlalu lama,” tukas Luke dingin dan langsung mengarahkan kamera kembali ke wajahnya. “Tidak usah cemburu. Meskipun dia cantik, tapi aku sudah punya wanita yang kucintai,” cibir Kevin. “Kalau begitu telepon saja wanita itu dan tidak usah menggangguku,” tukas Luke kemudian memutuskan panggilan secara sepihak. Setelah itu, Luke lanjut memainkan ponselnya. Membalas beberapa email penting sembari menunggu Victoria selesai memasak. “Luke, kemarilah!” panggil Victoria. Begitu namanya dipanggil, Luke langsung beranjak ke ruang makan. Meletakkan ponsel di atas meja lalu duduk di samping Victoria yang telah menunggu. “Makanlah,” pinta Victoria. “Mana makananmu?” tanya Luke melihat hanya ada 1 piring makanan di atas meja. “Aku sudah makan sebelum kau pulang,” ucap Victoria dengan senyum mengembang. “Ayo, makan.” Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Luke mulai memakan makanannya. Sementara Victoria menatap wajah Luke dengan tanpa mengalihkan pandangan. “Bagaimana?” tanya Victoria. “Aku sudah sering mengatakannya,” ujar Luke. Victoria cemberut. “Tapi, aku ingin mendengarnya lagi.” Melihat wanitanya cemberut lantas membuat Luke tersenyum kemudian mengelus pipi Victoria. “Rasanya sempurna. Kau selalu memasaknya dengan sangat baik.” Setelah mendengar itu barulah Victoria kembali mengembangkan senyumnya kemudian mencium bibir Luke dengan cepat. “Kalau enak kau harus menghabiskannya.” “Aku tidak pernah menyisakannya masakanmu,” ujar Luke kemudian melanjutkan makannya. Sedangkan Victoria menyanggah kepala dengan sebelah tangan memandangi kekasihnya makan dengan lahap. Salah satu kesempurnaan yang Luke miliki adalah wajahnya yang tampan rupawan. Karena itu, Victoria tak pernah bosan menatap wajah itu meski untuk seumur hidup. Di tengah itu, ponsel Luke tiba-tiba berbunyi dan sebuah pesan masuk. Victoria melirik layar ponsel Luke dan jantungnya langsung berdetak kencang ketika melihat nama Isabelle di sana. Sementara itu, Luke hanya meliriknya sekilas sebelum membalik layar ponselnya lalu lanjut memakan makanannya. Pria itu bahkan tak menyadari ekspresi Victoria yang berubah. *** Mata Victoria terfokus pada tuts piano di mana jari-jarinya menari dengan cepat di sana. Kakinya menekan pedal dengan teratur. Hingga melodi yang dikeluarkan terdengar indah dan memesona. Lawrence yang berdiri di samping Victoria tersenyum bangga melihatnya. Padahal ia sudah tahu kalau Victoria bisa melakukannya dengan baik. Tapi, Lawrence tetap terkejut melihat permainan Victoria yang sangat hebat. Hingga melodi dari tuts terakhir terdengar dan permainan Victoria berakhir dengan sempurna. Senyum Lawrence semakin mengembang melihatnya. “Bagus. Kau memainkannya dengan sangat baik. Berikutnya, kau harus melatih emosimu. Meski kau memainkan irama dan temponya dengan sangat baik, tanpa emosi itu semua akan sia-sia,” tutur Lawrence setelah mendengar latihan piano Victoria untuk kesekian kalinya hari ini. “Aku mengerti,” ucap Victoria mengangguk. “Di antara semua yang ada di tim B, kau-lah yang paling berbakat dalam memahami emosi musik. Jadi, aku yakin kalau kali ini pun kau bisa melakukannya dengan baik jika latihan sedikit lebih banyak,” ujar Lawrence. “Terima kasih. Aku pasti akan melakukannya dengan baik,” seru Victoria semangat. “Aku tahu,” ujar Lawrence. “Lombanya akan diadakan dua hari lagi. Jadi, besok akan menjadi latihan terakhirmu.” “Baik,” ucap Victoria. “Kalau begitu sampai jumpa besok,” pamit Lawrence lalu keluar dari ruang latihan. Sepeninggal Lawrence, Victoria kembali berlatih satu kali sebelum akhirnya bersiap-siap untuk pulang. Hari ini Alice tak datang latihan karena memiliki urusan lain. Jadi, Victoria terpaksa harus berlatih seorang diri. Victoria keluar dari ruang latihan lalu masuk ke dalam lift yang membawanya ke lantai dasar. Sesampainya di lantai dasar, Victoria melangkah keluar dan tanpa sengaja mendengar percakapan beberapa orang yang tampak heboh dengan ponsel mereka. “Hei! Kau sudah dengar beritanya? Hari ini Isabelle kembali dari Paris.” “Benarkah? Aku tidak tahu.” “Beritanya sudah tersebar sejak semalam dan sangat heboh.” “Ya, ampun! Kau benar. Aku baru memeriksanya dan sekarang dia sudah tiba di bandara.” “Lihat! Bukankah ini mobil Luke?” “Kau benar. Apa Luke menjemputnya langsung di bandara?” “Bukankah itu sudah jelas? Mereka sudah tidak bertemu selama empat tahun, wajar jika Luke langsung menjemputnya di bandara. Justru aneh kalau Luke tidak melakukannya.” “Kalau begitu, bagaimana dengan Victoria? Bukankah kabarnya dia adalah kekasih Luke?” “Kekasih apanya? Dia hanya seekor burung yang dikurung dalam sangkar.” “Benar juga. Aku bahkan belum pernah melihat mereka berdua keluar bersama selain mengantar Victoria ke sini.” “Sekarang kita tahu siapa pemilik sebenarnya.” Tanpa pikir panjang, Victoria membuka aplikasi pencarian di ponselnya. Dan benar saja, pencarian teratas adalah tentang Isabelle yang kembali ke Melbourne setelah belajar selama 4 tahun di Paris. Berita kepulangan Isabelle menjadi berita yang cukup menghebohkan. Banyak wartawan yang mengerubungi Isabelle begitu tiba di bandara. Dan yang membuat jantung Victoria berdebar kencang dan napasnya jadi tak teratur adalah mobil BMW hitam berplat nomor 7. Itu adalah mobil yang biasa Luke kendarai. Baru saja Victoria hendak beranjak, Patricia dan Benetta yang entah datang dari mana mendadak menghampirinya. Padahal saat ini Victoria sedang tak ingin meladeni permainan kata licik mereka. “Sekarang pemilik sesungguhnya sudah kembali dan sudah saatnya kau sadar diri,” tukas Patricia angkuh yang mengundang perhatian beberapa orang di sekitar. “Jika aku jadi kau, aku akan pergi dan tidak akan kembali,” sarkas Benetta tersenyum licik. “Itu pun jika kau masih memiliki rasa malu,” cibir Patricia. “Tapi, sepertinya kau tidak berencana untuk pergi karena kau masih ingin memanfaatkan Isabelle untuk menjadi terkenal sepertinya. Tidakkah kau berpikir kalau kau sangat licik sampai memanfaatkan Kakak-mu sendiri untuk ikut terkenal?” hinanya. “Jujur saja, aku merasa kasihan pada Isabelle yang bekerja keras selama bertahun-tahun dan pada akhirnya malah dimanfaatkan oleh manusia licik sepertimu,” cemooh Benetta. “Sepertinya kalian tidak punya pekerjaan lain sampai punya waktu luang menghadang jalanku seperti ini. Tapi, harusnya kalian tahu batas dalam mencampuri urusan orang lain dan berhenti sebelum berakhir dengan konyol. Jika aku jadi kalian, aku akan merasa sangat malu mencampuri hubungan pribadi orang lain,” tukas Victoria. “Padahal permainan piano kalian tidak lebih bagus dariku, tapi kalian malah mencampuri urusan orang lain tanpa tahu malu. Kalian harus sadar diri,” sarkasnya tajam. Dengan langkah berani dan tegas, Victoria meninggalkan Patricia dan Benetta yang menatapnya kesal. Sementara itu, Victoria masuk ke dalam mobil setelah Thomas membukakan pintu untuknya. “Anda tidak apa-apa?” tanya Thomas ketika melihat wajah Victoria yang terlihat tak enak. “Apa? Ah! Tidak apa-apa,” jawab Victoria. “Baiklah,” ucap Thomas kemudian mulai melajukan mobil kembali ke villa tanpa bertanya lebih lanjut karena tak ingin ikut campur lebih dalam. Selama di perjalanan, Victoria tak bisa berhenti memikirkan Luke yang pergi menjemput Isabelle ke bandara. Dan pikiran buruk pun kembali menyelimutinya. Setelah tiba di villa, Victoria langsung masuk ke dalam dengan keadaan linglung. Victoria bahkan hanya membalas sekilas sapaan dari Jane. Hingga langkah Victoria terhenti ketika melihat Luke menuruni tangga. *** To be continued.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN