Tubuh Victoria seketika mematung saat melihat Luke menuruni tangga dengan sebelah tangan di dalam saku celana. Pria itu lalu tersenyum manis ke arahnya.
“Kau sudah pulang,” sambut Luke seraya merentangkan tangannya.
Tanpa mengatakan apa-apa, Victoria langsung berlari memeluk Luke dengan erat. Tanpa curiga sedikit pun, Luke membalas pelukan Victoria.
“Apa ada yang terjadi di grup musik hari ini?” tanya Luke yang dijawab gelengan oleh Victoria. “Baguslah kalau begitu,” ucapnya kemudian mencium puncak kepala kekasihnya.
“Kau lelah?” tanya Luke yang diangguki oleh Victoria.
Tanpa aba-aba, Luke langsung menggendong Victoria seperti kanguru yang membuat Victoria melingkarkan kedua kakinya di pinggang Luke.
Luke lalu beranjak menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Mendudukkan Victoria di atas tempat tidur kemudian memijat kaki wanita itu dengan lembut setelah melepas sepatunya.
“Padahal jari-jari tanganku yang bekerja keras seharian. Tapi, kenapa yang dipijat malah kaki?” tanya Victoria.
“Bukankah kaki ini yang membawamu padaku? Aku harus merawatnya dengan baik agar tidak membuatmu tersesat,” ujar Luke yang membuat Victoria terkekeh.
“Aku tidak tahu dari mana kau belajar kata-kata manis seperti itu. Tapi, aku sangat berterima kasih padanya,” ucap Victoria.
“Kalau begitu berterima kasihlah pada dirimu sendiri,” tukas Luke.
“Aku? Kenapa aku?” tanya Victoria polos.
Luke tersenyum kemudian mendongak. “Karena kau begitu cantik, jadi tanpa sadar aku selalu ingin mengatakan hal-hal manis setiap melihatmu.”
Seketika wajah Victoria merona malu dan tubuhnya menghangat mendengar ucapan pria itu. Luke benar-benar pandai membuat jantungnya berdebar. Dalam sekejap kekhawatiran yang sejak tadi menggerogotinya menghilang.
Untuk menutupi rasa malunya, Victoria menyodorkan tangannya pada Luke untuk dipijat. Luke yang mengerti langsung memijat tangan Victoria dengan lembut.
“Harusnya kau membuka panti pijat saja. Pijatanmu sangat nyaman. Aku yakin panti pijatmu pasti akan sangat laku. Itu bisnis yang cukup menguntungkan,” gurau Victoria.
“Kau tidak masalah jika aku memijat wanita lain?” tanya Luke.
“Wanita lain?” gumam Victoria dengan suara kecil membayangkan Luke memijat wanita selain dirinya. “Tidak! Tidak boleh! Sangat tidak boleh! Lebih baik aku saja yang melakukannya dari pada kau. Kau cukup diam saja di sini!”
Seketika Luke menatap Victoria dengan tajam. “Kau lebih tidak boleh melakukannya. Ingat, kau tidak boleh menyentuh pria selain diriku.”
“Memang siapa pria yang akan kusentuh selain kau?” tanya Victoria polos. “Tapi, kau tenang saja. Aku tidak mungkin membuka panti pijat karena aku tidak pandai memijat,” kekehnya.
“Siapa bilang kau tidak pandai memijat?” tanya Luke penuh arti. “Bukankah kau memijat yang di bawah sana dengan baik?”
“Hm? Yang di bawah? Apa maksud ... mu?” Seketika mata Victoria melotot ketika mengerti maksud Luke.
“Dasar mesumm!” teriak Victoria kemudian menutup wajahnya yang memerah dengan kedua tangan.
Luke tersenyum kecil melihat reaksi Victoria. Luke lalu menarik tangan Victoria dan langsung mencium bibirnya. Mendorong tubuh wanita itu hingga berbaring di tempat tidur.
Tangan Luke mulai bergerak menjelajahi tubuh Victoria dengan lembut hingga membuat tubuh wanita itu melengkung. Bibir Luke turun ke leher Victoria yang kini mendesah.
Desahan demi desahan pun menyelimuti malam mereka.
***
“Sempurna. Kau sungguh memainkannya dengan sangat baik. Kau bahkan bisa memahami emosinya dengan baik hanya dalam waktu singkat dan jari-jarimu bergerak lebih ringan dari sebelumnya,” puji Lawrence setelah mendengar Victoria bermain piano.
“Setuju! Aku yakin kalau kau akan terpilih jadi ketua tim!” seru Alice bangga.
“Bukankah kita saingan? Bagaimana bisa kau ikut mendukungku?” tanya Victoria.
“Kupikir kau tahu kalau aku terpaksa mengikutinya. Jadi, aku tidak berharap banyak dari lomba ini,” ujar Alice.
“Tapi, ini bukan hanya tentang jadi ketua tim. Jika terpilih, kau bisa tampil solo di peringatan grup musik nanti sekaligus meningkatkan kemampuanmu,” ucap Victoria.
“Ya, aku tahu kalau itu akan sangat baik untuk masa depanku. Tapi, untuk sekarang aku masih belum siap untuk di tingkat itu,” tukas Alice.
“Walaupun begitu, kau tetap harus berlatih dengan sungguh-sungguh. Abaikan saja pemilihan ketua tim dan penampilan solo di grup musik. Setidaknya latihanlah untuk meningkatkan kemampuanmu. Jika kau tidak memiliki ambisi sedikit pun, kau tidak akan bisa bertahan di industri ini,” tutur Lawrence.
“Mungkin karena kau masih muda jadi tidak berpikir banyak dan menganggapnya remeh. Tapi, ini adalah industri yang cukup kejam jika kau tidak memiliki apa-apa untuk ditunjukkan,” lanjutnya.
“Kau mendengarnya? Bahkan Miss Foster mengatakan hal yang sama,” sahut Victoria.
“Baiklah. Aku mengerti. Mulai sekarang, aku akan fokus berlatih dan meningkatkan kemampuanku,” ucap Alice yang tak bisa mengalahkan kedua orang tersebut.
“Kalau begitu latihannya sampai di sini. Sampai jumpa di pemilihan besok,” pamit Lawrence kemudian keluar dari ruangan.
Sepeninggal Lawrence, Alice langsung mendesah lesu seraya baring telentang di lantai.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Victoria yang tengah bersiap-siap untuk pulang.
“Mengumpulkan ambisi,” jawab Alice mengundang tawa Victoria.
“Mengumpulkan ambisi saja tidak cukup, kau harus memiliki niat dan semangat berlatih yang kuat,” ucap Victoria kemudian mulai melompat-lompat seraya mengangkat kedua tangan ke atas dan bawah.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Alice.
“Menambah ambisi untuk pemilihan besok,” jawab Victoria yang kini membuat keduanya tertawa.
Setelah olahraga sebentar, Victoria ikut berbaring di samping Alice. Dadanya naik turun karena napas yang tidak teratur setelah melompat-lompat.
“Kau sudah bertemu Isabelle? Kudengar dia telah kembali,” tanya Alice.
“Aku akan bertemu dengannya malam ini. Ibu menyuruhku pulang untuk menyambut kedatangannya,” ucap Victoria.
“Kau akan pergi?” tanya Alice menoleh.
“Tidak ada alasan untuk tidak pergi,” ujar Victoria.
“Tidak usah pergi. Aku tidak suka wajah munafiknya yang selalu pura-pura tersenyum padamu. Aku tidak tahu bagaimana semua orang bisa tertipu dengan wajah jeleknya,” gerutu Alice.
“Sudahlah. Berhenti membahasnya. Itu membuat mood-ku rusak sebelum bertemu dengannya,” ucap Victoria kemudian bangun dari tidurnya. “Ayo, pergi. Aku harus pulang dan bersiap-siap.”
Keduanya lalu keluar dari ruang latihan dan menuju ke lantai dasar. Kali ini, Victoria tak melihat Bentley hitam yang biasa menjemputnya melainkan Mercedes-Benz hitam berplat nomor 7.
Begitu melihat Victoria keluar, Victor Frans Baker –sekretaris Luke- segera keluar dari mobil menyambut wanita itu. Setelah berpamitan pada Alice, Victoria menghampiri pria itu.
“Di mana Thomas? Kenapa kau yang menjemput?” tanya Victoria.
“Bos ingin pulang bersama Anda,” jawab Victor kemudian membukakan pintu mobil. Victoria lalu masuk ke dalam
Begitu Victoria duduk, Luke langsung merangkul pinggang sang kekasih dan meletakkan kepala di pundak wanita itu.
“Hari ini kau pulang cepat,” ucap Victoria.
“Aku merindukanmu,” bisik Luke kemudian mengecup punggung tangan Victoria. Sementara itu, Victor langsung melajukan mobil meninggalkan grup musik.
“Malam ini aku akan pergi ke rumah. Ibu menyuruhku pulang untuk makan malam bersama Isabelle,” ujar Victoria meski ada keraguan di hatinya saat menyebut nama Isabelle di hadapan Luke.
“Thomas akan mengantarmu,” ucap Luke sembari memainkan tangan Victoria.
***
Kaki Victoria berhenti di depan sebuah pintu yang sudah lama tak ia lihat. Victoria lalu membunyikan bel dan tak lama kemudian seseorang membukakan pintu.
“Nona Victoria! Akhirnya Anda kembali!” seru seorang pelayan tersenyum lebar menyambut Victoria.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Victoria sembari melangkah masuk.
“Saya sangat merindukan Nona. Waktu itu Anda pergi tanpa mengatakan apa-apa dan membuat kami terkejut,” ucap sang pelayan yang hanya dibalas senyum oleh Victoria.
4 tahun yang lalu Victoria memang memutuskan untuk keluar dari rumah setelah ia meresmikan hubungan dengan Luke. Sebelum keluar, Victoria sempat memberitahu sang Ibu dan langsung mendapat izin begitu saja.
“Di mana Ayah dan Ibu?” tanya Victoria celingak celinguk.
“Tuan dan Nyonya sudah ada di ruang makan. Sedangkan Nona Isabelle masih di dalam kamar,” jawab pelayan tersebut.
“Baiklah. Kalau begitu aku ke sana dulu,” pamit Victoria kemudian beranjak ke ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, Victoria melihat kedua orang tuanya berbincang dengan penuh senyum. Keduanya masih tak menyadari kehadiran Victoria di sana.
“Ayah, Ibu, aku datang,” sahut Victoria dengan senyum lebar menghampiri kedua orang tuanya lalu duduk di kursi kosong sisi kiri.
“Kupikir kau tidak akan datang,” sindir Belinda Heller, Ibu Victoria.
“Bagaimana aku bisa tidak datang kalau Ibu yang memanggil?” ujar Victoria tanpa melunturkan senyumnya.
“Dulu kau sendiri yang melangkahkan kaki keluar dari rumah ini,” sarkas Belinda.
“Bukankah Ibu yang memberikan izin?” balas Victoria ceria yang membuat Belinda mendecak.
“Ehem!” deham Gregory Heller, Ayah Victoria.
“Ah! Bagaimana kabar Ayah? Kuharap Ayah sehat selalu,” sahut Victoria dengan senyum lebar.
“Ya,” ucap Gregory singkat kemudian meminum wine-nya.
“Ayah, jangan minum alkohol terus. Nanti kesehatan Ayah menurun. Aku benar-benar berharap kalau Ayah akan terus sehat dan berumur panjang,” ucap Victoria.
“Urus saja urusanmu sendiri,” tukas Gregory tajam.
Victoria tersenyum. “Ayah selalu seperti itu. Aku tahu Ayah hanya tidak ingin anak-anak Ayah khawatir.”
“Omong-omong di mana Isabelle? Apa dia masih tidur karena kelelahan?” tanya Victoria mencari keberadaan Isabelle.
Tak lama kemudian, Isabelle masuk ke ruang makan dengan pakaian yang cukup mewah hanya untuk makan malam di rumah. Berbanding terbalik dengan Victoria yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans.
“Isabelle,” sapa Victoria tersenyum lebar.
***
To be continued.