“Isabelle,” sapa Victoria tersenyum lebar.
Sejenak suasana hening ketika Victoria memanggil nama Isabelle dengan senyum ceria. Bahkan Isabelle menghentikan langkah dengan wajah datar.
Namun tak lama setelahnya, Isabelle kembali melangkahkan kaki menuju meja makan lalu duduk di kursi kosong di samping Belinda seraya tersenyum kecil. “Kau datang, Victoria.”
“Sudah pasti. Ibu memanggilku pulang untuk menyambut kedatanganmu,” ujar Victoria. “Selamat datang kembali, Isabelle.”
“Terima kasih, Vic,” balas Isabelle.
“Bukan masalah. Ini hanya hal kecil,” ujar Victoria.
“Ehem!” deham Gregory. “Makan.”
Setelah satu kata dari Gregory, beberapa pelayan masuk membawa hidangan pembuka untuk mereka. Dan Victoria langsung memakannya begitu piring tersebut mendarat di hadapannya.
Seusai memakan hidangan pembuka, beberapa pelayan kembali masuk untuk mengambil piring kosong mereka lalu menggantinya dengan hidangan utama yang cukup mewah bersama segelas wine merah.
Sejenak Victoria termenung melihat hidangan tersebut. Itu adalah hidangan yang hanya disajikan di hari-hari spesial, lebih tepatnya hanya untuk Isabelle. Bahkan Victoria tak bisa memakannya jika bukan karena Isabelle.
Dan setelah 4 tahun, Victoria kembali merasakan hidangan itu untuk pertama kalinya. Namun, kini Victoria tak lagi mempermasalahkan hal itu dan hanya memakan makanannya dengan lahap.
“Bagaimana study-mu di Paris, Sayang? Ibu dengar tidak mudah masuk ke akademi itu, karena semua pelatihnya adalah pianis kelas dunia,” sahut Belinda membuka suara.
“Sangat baik. Mereka menyambutku dengan baik dan terus memuji kemampuanku. Sebelum kembali ke sini, aku mencoba mengaransemen beberapa jenis musik dan mereka semua sangat memerhatikanku untuk itu,” tutur Isabelle.
“Ya, ampun! Sudah Ibu duga. Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangan darimu setelah mendengar permainan pianomu. Kau memang putriku yang terbaik,” puji Belinda.
“Bagus. Aku tahu kau bisa melakukannya,” sahut Gregory bangga.
“Tentu. Aku tidak mungkin mengecewakan Ayah dan Ibu,” ucap Isabelle tersenyum lebar.
“Oh, ya. Salah satu pelatihku memberikan grand piano untukku sebagai hadiah dan pianonya akan tiba dalam beberapa minggu ke depan,” sambungnya.
Seketika mata Belinda membulat mendengarnya. “Piano?! Bukankah itu adalah hadiah yang sangat istimewa? Ibu dengar tidak semua murid diberi hadiah seperti itu. Mereka pasti benar-benar terkesan denganmu sampai memberikan grand piano sebagai hadiah.”
“Ayah sangat bangga padamu,” sahut Gregory seraya tertawa dengan suara beratnya.
Yah, selalu begitu. Mereka bertiga akan berbincang dengan harmonis dan hanya menyisihkan Victoria. Mereka benar-benar tak memberikan kesempatan bagi Victoria untuk menimpali. Meski Victoria sendiri tak berminat untuk ikut dalam perbincangan mereka yang ia anggap cukup konyol.
Percakapan mereka mendadak terhenti ketika mendengar dering ponsel Victoria. Victoria tanpa rasa bersalah langsung memeriksa ponselnya dan segera membalas pesan yang masuk.
“Maaf, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Seseorang sudah menjemputku di luar,” ujar Victoria sembari menyudahi makannya kemudian beranjak dari kursi.
Namun di tengah langkahnya, Victoria kembali menoleh lalu tersenyum ke arah Isabelle. “Sekali lagi selamat datang, Isabelle.” Setelahnya, Victoria benar-benar pergi dari sana.
Setelah Victoria menghilang di balik pintu, Isabelle langsung mengepalkan kedua tangan dengan erat. Bukan karena ucapan selamat datang Victoria, melainkan ‘seseorang’ yang Victoria maksud. Isabelle tahu kalau ‘seseorang’ itu adalah Luke.
Di lain sisi, Victoria langsung masuk ke dalam Bentley hitam yang telah terparkir di depan rumah orang tuanya begitu Thomas membuka pintu mobil untuknya. Sebuah lengan kekar pun langsung menyambut pinggang Victoria.
“Bagaimana makan malammu?” bisik Luke.
“Biasa saja,” jawab Victoria seadanya.
“Baiklah,” ucap Luke kemudian meminta Thomas untuk melajukan mobil kembali ke villa.
Selama di perjalanan, Victoria sesekali melirik Luke yang terus memeluknya dari samping sembari membenamkan wajah di lehernya hingga Victoria dapat merasakan hembusan hangat napas pria itu. Sebelah tangan Luke tak henti memainkan tangan Victoria.
Entah mengapa, setelah bertemu dengan Isabelle malam ini membuat perasaan Victoria jadi tak karuan. Victoria pun kembali teringat akan semua desas-desus mengenai hubungan Luke dan Isabelle yang ia dengar selama ini.
Bagaimana jika Luke dan Isabelle memang pernah menjalin hubungan? Jika benar, sekarang Isabelle telah kembali lalu bagaimana dengannya? Apa yang akan terjadi padanya?
Jika itu semua hanya gosip belaka, lalu kenapa semua orang terus membicarakannya seolah itu nyata? Kenapa mereka menatap Victoria bagai mata pisau yang siap menusuk? Apa yang terjadi sebenarnya?
“Apa yang kau pikirkan?” bisik Luke yang membuyarkan lamunan Victoria.
“Tidak ada,” jawab Victoria. “Kau sudah makan malam?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Belum,” jawab Luke.
“Kenapa? Apa Jane tidak ada?” tanya Victoria dengan kening mengerut.
“Menunggumu,” ucap Luke sembari mendusel-dusel hidungnya di leher Victoria.
“Untuk apa menungguku? Kau ‘kan tahu kalau aku sudah makan malam di rumah,” ujar Victoria. “Hm .... Kalau begitu aku akan memasak untukmu setelah tiba nanti,” tawarnya yang dijawab dehaman oleh Luke.
“Kau ingin makan apa?” tanya Victoria.
“Apa pun,” jawab Luke.
“Mmm .... Bacon? Steak? Spaghetti? Sup labu? Meat pie? Ikan? Yang mana?” tanya Victoria.
“Aku akan makan apa pun selama kau yang memasak,” ucap Luke.
“Ah! Kemarin Jane baru membeli daging ayam. Bagaimana kalau makan chicken parmigiana saja? Sudah lama aku tidak masak daging ayam,” tawar Victoria antusias yang mengundang kekehan Luke.
“Baiklah,” ujar Luke kemudian mengecup leher Victoria.
***
Pagi ini ruang tunggu di grup musik cukup berisik dengan berbagai aktivitas peregangan dari jari-jari tangan hingga lengan sebelum lomba pemilihan ketua tim dimulai. Beberapa orang lainnya tengah berlatih melalui piano portable.
Tak terkecuali Victoria. Victoria tengah meregangkan seluruh anggota tubuhnya agar tidak kaku dan berusaha menjiwai musik yang akan ia tampilkan.
Sementara itu, Alice yang duduk di sampingnya tak henti menggoyangkan kedua kaki dengan mengatupkan kedua tangan di depan dadaa karena gugup. Wajahnya terlihat sedikit pucat.
“Bagaimana ini? Aku sangat gugup,” bisik Alice.
“Tidak usah gugup. Ini hanya pemilihan ketua tim. Lagi pula, orang yang kau lihat di dalam hanya Miss Ball dan Miss Foster. Mereka tidak akan memakanmu. Apa yang kau takutkan?” bujuk Victoria menenangkan.
“Aku tahu. Tapi, kita tidak tahu siapa juri ketiganya? Aku benar-benar gugup setelah mendengar bahwa jurinya ada 3,” ucap Alice.
“Siapa pun itu, kau hanya perlu memainkan pianomu dengan baik. Anggap saja seperti kau sedang berlatih,” ujar Victoria tersenyum.
“Tapi, tetap saja. Aku tidak bisa tenang memikirkannya. Bagaimana kalau aku mengundurkan diri saja?” putus Alice dengan penuh keyakinan.
“Jangan bicara sembarangan,” tegur Victoria. “Dari pada terus melantur, lebih baik kau melakukan peregangan. Tidak lucu kalau jarimu tiba-tiba keram saat tampil nanti.”
Tak berapa lama, seseorang membuka pintu dan menginformasikan bahwa sebentar lagi lomba akan dimulai dan meminta para peserta untuk bersiap-siap. Victoria berada di urutan kelima, sementara Alice berada di urutan keempat.
“Kenapa kau tidak mengundurkan diri saja? Kau sudah terlihat akan mati karena terus gemetar,” sindir seorang wanita bernama Vivian Cora Olsen.
“Urus urusanmu sendiri,” balas Alice.
“Aku sedang melakukannya. Wajah dan sikapmu benar-benar mengganggu. Di antara semuanya, hanya kau yang gemetar seperti orang bodoh,” sarkas Vivian tersenyum angkuh.
“Apa kau bilang?!” bentak Alice. Victoria segera menahan lengan Alice agar tidak bertindak lebih jauh.
“Dari pada mengomentari orang lain, lebih baik kau introspeksi diri sendiri. Setahuku permainan pianomu bahkan tidak lebih baik dari Alice. Apa tidak cukup ditegur Miss Ball setiap latihan, sekarang kau ingin mempermalukan dirimu di sini? Sekarang? Aku bahkan tidak tahu dari mana datangnya nyalimu mengikuti pemilihan ketua tim,” sahut Victoria menyindir setengah menghina.
Sontak Vivian mengepalkan kedua tangan diam tak berkutik. Matanya menatap tajam Victoria yang lebih tinggi darinya. Ingin rasanya Vivian membalas ucapan Victoria, namun apa yang Victoria katakan memang benar.
Christina memang sering menegurnya ketika latihan karena salah nada atau tempo yang tidak sesuai. Baru saja Vivian hendak membuka mulut, pintu kembali dibuka dan nama peserta pertama pun dipanggil. Memecah ketegangan antara Victoria dan Vivian.
Setelah peserta pertama pergi dan pintu kembali ditutup, Vivian beranjak kembali duduk di tempatnya meski masih merasa kesal pada Victoria. Sementara itu, Alice bersorak atas kemenangan telak Victoria terhadap Vivian.
Setelah tiga peserta tampil, kini tiba giliran Alice yang masuk ke aula. Tak berapa lama kemudian, Alice kembali dengan raut wajah yang cukup kacau dan langsung duduk di samping Victoria.
“Ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu? Apa terjadi sesuatu di dalam?” tanya Victoria khawatir.
“Aku ... di dalam ... kau tahu siapa juri yang ketiga?” ucap Alice terbata gugup.
“Siapa? Kenapa wajahmu sampai panik begini? Tanganmu juga sangat dingin,” tanya Victoria cemas.
“Dia ... dia adalah-”
“Victoria.” Ucapan Alice terpotong ketika nama Victoria dipanggil untuk tampil. Victoria pun segera menenangkan Alice seadanya kemudian beranjak dari duduknya.
“Vic,” panggil Alice menahan lengan Victoria dengan raut khawatir.
“Sudahlah. Tenangkan dirimu dulu. Tidak peduli siapa yang ada di dalam, aku akan tampil dengan baik lalu kembali,” ucap Victoria tenang kemudian beranjak menuju aula.
Baru beberapa langkah memasuki aula, kaki Victoria mendadak berhenti ketika melihat siapa yang duduk di bangku juri samping Christina.
Benar. Orang itu adalah Isabelle Quinnee Heller.
***
To be continued.