Kini, Victoria tahu kenapa Alice begitu khawatir setelah tampil. Victoria pun akhirnya mengetahui alasan para peserta yang telah tampil menjadi gaduh. Ternyata Isabelle menjadi salah satu juri untuk pemilihan ketua tim ini.
Mata Victoria tak dapat beralih dari Isabelle yang tengah asyik berbincang dengan Christina. Sesekali Isabelle terkekeh sambil memukul pelan lengan Christina. Entah apa yang mereka bincangkan.
‘Palsu,’ batin Victoria dengan tatapan datar.
Tatapan Victoria lalu bertemu dengan Lawrence yang menatapnya dengan tatapan khawatir seperti Alice. Tak ingin membuat sang guru sedih, Victoria tersenyum lebar lalu melanjutkan langkah naik ke atas panggung dengan percaya diri.
Kaki Victoria berhenti tepat di tengah panggung. Victoria membungkuk sebentar kemudian duduk di kursi depan piano.
Selama beberapa saat, Victoria membisu dengan mata terpejam. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tangan Victoria mulai terangkat dan mendarat di atas tuts piano bersiap-siap menekannya.
Sekali lagi, Victoria menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan seraya berusaha menyerap emosi dari musik yang akan ia mainkan. Setelah siap, Victoria mulai menekan tuts piano.
Dengan kecepatan jari yang sangat cepat dan tempo yang sesuai, Victoria menciptakan melodi indah yang mengalun mengisi ruang aula.
Dalam sekejap, perhatian Christina sepenuhnya terpusat pada Victoria. Christina terpana mendengar melodi indah yang Victoria alunkan. Tak terkecuali Isabelle.
Isabelle membulatkan mata melihat Victoria memainkan musik itu. Ia tak menyangka kalau Victoria telah menguasai teknik musik itu dengan sangat baik. Bahkan tak ada cela dalam emosinya.
Tanpa sadar, kedua tangan Isabelle mengepal dengan erat dan matanya menatap tajam Victoria.
Itu adalah musik Etudes Grandes de Paganini No. 6. Musik yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi, karena dibutuhkan kecepatan jari dan konsentrasi yang sangat tinggi. Bahkan setelah versi revisinya dikeluarkan oleh Frans Liszt pun, musik itu masih terbilang sulit untuk dimainkan.
Bahkan Isabelle yang menjadi pianis terbaik di grup musik tak bisa memainkannya sebaik Victoria.
Sementara itu, Victoria terus memainkan jari-jarinya di atas tuts dengan kaki yang menekan pedal secara teratur guna mengatur tinggi rendahnya suara nada yang dikeluarkan.
Sesekali mata Victoria terpejam untuk mengeluarkan emosi pada permainan pianonya. Hingga membuat baik Lawrence, Christina, maupun Isabelle dapat merasakan emosi tersebut.
Setelah bermain sekitar 5 menit, permainan Victoria berakhir dengan sangat mengagumkan dengan kesepuluh jari menekan tuts bersamaan.
Sesaat, Victoria tetap duduk di kursinya untuk mengatur napas dan sedikit mengistirahatkan jari-jarinya. Sebelum akhirnya Victoria beranjak dan kembali berdiri di tengah panggung menunggu komentar dari ketiga juri.
Dengan senyum miring, Isabelle mengatupkan kedua tangan di atas meja dan mulai membuka suara.
“Kenapa kau memutuskan untuk memainkan musik ini?” tanya Isabelle.
“Apa ada masalah dengan itu? Kupikir kami bisa memainkan musik apa pun,” ujar Victoria dengan berani.
“Benar. Tapi, harusnya kau tidak memainkan musik itu,” tukas Isabelle.
“Kau memainkannya dengan sangat buruk. Temponya terlalu lambat dan sepertinya tadi aku mendengar ada nada yang salah. Kau juga terlihat kaku dan tidak bisa memunculkan emosi yang harusnya ada,” ungkapnya dengan nada sarkas.
“Apa maksudmu? Menurutku, Victoria telah memainkannya dengan sangat. Dan tak ada masalah dengan kecepatan tempo, kesalahan nada, serta emosinya seperti yang kau katakan. Bahkan sampai sekarang aku masih bisa merasakannya,” bantah Lawrence.
“Miss Foster, sepertinya kau hanya merasa terpukau karena itu adalah musik yang terkenal. Tapi, aku telah berlatih mendengar dengan sangat baik selama di Paris, jadi aku sangat yakin dengan penilaianku,” ucap Isabelle sekaligus menyombongkan diri.
“Bukankah begitu, Guru?” tanyanya meminta dukungan Christina.
“Chris, aku yakin kau bisa mendengarnya dengan baik. Bukankah kau pernah membawakannya saat kompetisi nasional dulu? Dan menurutku Victoria telah memainkannya dengan sangat baik seperti kau dulu,” sahut Lawrence.
Sementara itu, Christina masih terdiam. Sejujurnya, Christina masih terpukau akan penampilan Victoria yang bahkan bisa memainkan musik itu lebih baik darinya. Namun, ....
“Tidak. Isabelle benar. Harusnya Victoria tidak memainkan musik ini untuk lomba,” tukas Christina yang membuat kening Lawrence mengerut.
“Meski aku tidak menemukan kesalahan nadanya, tapi Victoria memainkan temponya dengan agak lambat dari yang seharusnya. Aku juga tidak merasakan adanya pembawaan emosi yang kau tampilkan,” tutur Christina.
“Juga, teknik arpeggio-mu masih sangat kurang untuk memainkan musik dengan tingkat kesulitan seperti ini. Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri, Victoria,” sambungnya.
“Chris!” bentak Lawrence dengan nada tinggi hingga membuat beberapa orang yang berada di sana tersentak kaget.
“Omong kosong apa yang kau katakan?! Victoria telah memainkannya dengan sangat baik! Aku yakin kau pun mengetahuinya dengan jelas! Posisi ketua tim pantas untuk Victoria!” bentaknya lantang dengan wajah memerah mulai terbawa emosi.
“Tidak, Lawrence. Victoria masih belum pantas untuk posisi itu,” bantah Christina menggeleng.
Lawrence mengepalkan kedua tangan penuh emosi. “Baiklah! Mulai sekarang, kau urus saja sendiri!” teriaknya kemudian berlalu dari ruang aula.
Sepeninggal Lawrence, Isabelle tersenyum miring terhadap Victoria yang juga menatapnya. Tak berapa lama, Victoria juga ikut beranjak dari panggung kembali ke ruang tunggu.
Setibanya di ruang tunggu, Alice langsung menyambutnya dengan khawatir dan para peserta lain yang menatapnya dengan berbagai tatapan.
“Apa yang terjadi? Aku mendengar Miss Foster berteriak. Kau baik-baik saja?” tanya Alice.
“Aku baik-baik saja,” ucap Victoria tersenyum kemudian membereskan barangnya.
“Tapi, kenapa Miss Foster berteriak? Suaranya sangat tinggi sampai terdengar hingga ke sini,” ujar Alice.
“Hanya masalah kecil,” ucap Victoria. “Aku sudah selesai. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang,” pamitnya kemudian langsung pergi dari sana tanpa membiarkan Alice menahannya.
Di sepanjang jalan keluar gedung, perasaan Victoria benar-benar berantakan. Terlebih dengan banyak pasang mata yang tertuju padanya. Victoria yakin bahwa kejadian di aula tadi telah tersebar di seluruh grup musik.
Dengan langkah cepat, Victoria masuk ke dalam lift yang untungnya sedang kosong. Victoria langsung mengepalkan kedua tangannya menahan perasaan bergejolak dalam dadaanya.
‘Jangan sekarang,’ batin Victoria.
Pintu lift kembali terbuka setelah tiba di lantai dasar dan Victoria bergegas keluar dengan langkah cepat dan tangan yang masih terkepal. Hingga mata Victoria menangkap mobil Bentley hitam yang telah menunggunya di depan.
Dengan cepat, Victoria kembali mengatur perasaannya kemudian tersenyum pada Thomas yang membukakan pintu mobil sebelum ia masuk ke dalam.
Setelah Thomas ikut masuk ke dalam, pria paruh baya itu langsung mengemudikan mobil meninggalkan grup musik.
Selama di perjalanan, Victoria hanya terdiam dengan pandangan keluar jendela. Meski itu adalah hal biasa yang Victoria lakukan, namun Thomas merasa ada yang aneh dengan Victoria.
Beberapa kali Thomas menoleh melalui kaca spion tengah dan melihat posisi Victoria yang tak berubah dengan tatapan yang rumit.
***
Pintu ruang kerja Luke dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu dan seorang remaja berusia 17 tahun masuk lalu berbaring di atas sofa dengan santai.
Luke tak perlu menoleh untuk melihat siapa orang tersebut. Karena, hanya ada satu orang yang berani bertindak sewenang-wenang di perusahaannya.
Dan orang itu adalah Brian Mason Maximillian, putra Kakak-nya yang tak lain merupakan keponakannya.
“Apa kau tidak lelah bekerja seharian?” tanya Brian menghela napas.
“Panggil yang benar,” tegur Luke yang tengah membolak-balik dokumen.
Brian mendengus namun tetap menurut. “Baiklah, Paman.”
“Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau sedang dihukum atas masalah yang kau lakukan di Paris?” tanya Luke datar.
“Aku kabur. Aku bosan berada di kamar seharian. Ibu dan Nenek terus mengomel tanpa henti sampai membuat telingaku panas,” gerutu Brian.
“Kalau begitu berhentilah membuat masalah jika kau bosan mendengarnya,” ucap Luke.
“Ayolah. Paman juga jangan ikut-ikutan mengomel,” keluh Brian.
“Itu bukan omelan, tapi peringatan. Karena masalah yang kau buat, Brianna hampir terkena imbasnya. Jika terjadi sesuatu pada Brianna, maka kau akan menerima lebih dari sekadar peringatan,” tukas Luke.
“Baiklah, baiklah. Aku mengerti,” dengus Brian memutar bola mata. “Omong-omong, kudengar study Brianna akan selesai sebentar lagi. Apa dia akan langsung pulang?”
“Kau punya ponsel, tanyakan sendiri,” ujar Luke.
“Ponselku disita Ibu. Jadi, aku tidak bisa menghubunginya,” ucap Brian.
“Oh,” gumam Luke yang membuat Brian mendengus.
Pria remaja itu pun tak lagi menuntut jawaban atas pertanyaannya. Karena, sudah pasti Luke tidak akan menjawab. Itulah kenapa Luke menjadi pria paling membosankan menurutnya.
Meski begitu, pesona dan karisma yang Luke miliki tak dapat dibantah. Selain wajah, Luke memiliki fisik yang sempurna. Tak ada wanita yang tidak menyukainya dalam pandangan pertama.
Namun begitu, tersiar rumor di lingkungan mereka bahwa Luke menyembunyikan seekor burung di dalam villa-nya. Tentu saja itu membuat mereka penasaran dengan burung tersebut.
Akan tetapi, hingga kini tak ada seorang pun yang pernah melihatnya. Bahkan tak ada yang berani membahas atau sekadar menyinggungnya di hadapan Luke.
Setelah keheningan yang terjadi cukup lama, akhirnya Brian beranjak menuju kamar yang biasa Luke gunakan di ruang kerjanya.
“Paman, aku akan istirahat di sini. Kalau Ibu atau Nenek menelepon, katakan saja kalau aku tidak ada,” pinta Brian yang hanya dijawab deheman oleh Luke.
Setelahnya, Brian menutup pintu dan Luke terus melanjutkan pekerjaannya. Tak berapa lama kemudian, pintu diketuk dan Victor masuk ke dalam.
“Ada apa?” tanya Luke tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang ia baca.
“Ini laporan yang Anda minta, Bos,” ucap Victor sembari meletakkan beberapa map di atas meja Luke.
“Dan juga, Pak Noah baru saja menghubungi. Beliau meminta Anda untuk pulang ke rumah malam ini untuk membicarakan masalah yang kalian bahas kemarin,” lapornya.
“Katakan padanya aku akan datang,” pinta Luke.
“Baik,” ujar Victor patuh.
“Ada lagi yang ingin kau katakan?” tanya Luke.
“Tidak ada, Bos,” jawab Victor.
“Bagaimana dengan Victoria?” tanya Luke dengan mata menyipit.
“Nona Victoria baru saja pulang dari grup musik. Saat ini telah berada di villa,” jawab Victor.
“Baiklah,” ucap Luke.
Setelahnya, Victor pamit keluar dari ruang kerja Luke. Namun, pria itu terdiam sejenak di depan pintu memikirkan sesuatu.
“Apa aku harus melaporkannya juga?” gumam Victor.
Beberapa saat yang lalu, Thomas meneleponnya dan memberitahu bahwa Victoria telah tiba di villa. Tak hanya itu, Thomas juga melaporkan kondisi Victoria yang tak biasa. Dan kini, Victor ragu apa ia harus melaporkan hal itu atau tidak.
Setelah memikirkannya sejenak, Victor memutuskan untuk tidak melapor. “Lagi pula hubungan mereka tidak seserius itu. Tidak penting Bos tahu atau tidak,” gumamnya sambil berlalu.
Sementara itu, Luke langsung meraih ponselnya kemudian mengirim pesan pada Victoria.
-Jangan tidur duluan malam ini. Tunggu aku.-
***
To be continued.