“Kau sudah datang,” sambut Noah Theo Maximillian, Kakak Luke. Pria itu meletakkan gelas kopi di tangannya ke atas meja.
“Ya,” jawab Luke singkat sembari duduk di seberang Noah.
“Kupikir kau akan datang sebelum makan malam dan makan bersama kami,” ucap Noah.
“Sibuk,” ujar Luke singkat.
Noah tersenyum tipis mendengar jawaban singkat Luke. Seperti biasa, Adik-nya itu sama sekali tidak bisa basa-basi.
“Baiklah. Kalau begitu kita mulai saja,” ucap Noah yang diangguki oleh Luke. “Seperti yang kukatakan kemarin, kita harus menunda modifikasi senapan anti material sampai persetujuan dari militer tiba.”
Pasalnya, sudah satu minggu mereka mengirim surat pemberitahuan pada petinggi militer untuk modifikasi senapan anti material. Namun hingga kini, mereka masih belum memberikan balasan.
“Apa masalahnya?” tanya Luke.
“Siang tadi aku menerima kabar kalau mereka sedang mempertimbangkan untuk pindah ke produsen lain,” beber Noah.
“Produsen lain? Tapi, aku tidak menerima permintaan tambahan dari pihak militer. Jika bukan dari perusahaanku, produsen mana yang lebih baik dari milik Maximillian dan L.B Secure?” tanya Luke.
“Lockhead Anderson,” ungkap Noah. Luke menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban Noah. Pasalnya itu adalah perusahaan teman sekelas sekaligus musuh Luke di sekolah dulu. Andrew Octavian Anderson.
Meski sebenarnya Luke tidak pernah menganggapnya sebagai musuh, karena mereka jarang berinteraksi. Hanya saja, Andrew dengan perasaan irinya selalu mengganggu dan kebenciannya telah mendarah daging pada Luke.
“Sebenarnya aku belum bisa mengonfirmasi kebenarannya. Tapi, kemungkinan besar pihak militer akan memilih perusahaan itu. Dan sepertinya, pihak Anderson menawarkan harga lebih rendah dari kita pada pihak militer sebagai penawaran awal,” tutur Noah.
Noah menghela napas berat. Kepalanya tiba-tiba terasa berat. “Padahal kita sudah menyelesaikan semuanya dan akan melakukan tinggal tahap uji coba.”
“Lanjutkan saja,” pinta Luke.
“Apa?” tanya Noah membeo.
“Lanjutkan saja uji cobanya. Perusahaanku akan mendukung sepenuhnya,” ucap Luke. “Lagi pula, pihak militer tidak akan berpaling ke perusahaan itu.”
“Aku tahu hubunganmu dengan putra Anderson tidak baik. Tapi, bagaimana kau bisa begitu yakin kalau pihak militer tidak akan berpaling?” tanya Noah.
“Karena, tidak ada perusahaan lain yang mampu menyamai apalagi melampaui kualitas senjata yang kita produksi. Itulah yang membuat pihak militer tetap bertahan pada kita walaupun harganya terus meningkat,” tutur Luke.
“Kau sendiri tahu bagaimana kualitas senjata milik Anderson. Meski mereka menawarkan harga rendah, pihak militer tidak akan tertarik setelah melihat senjata mereka,” sambungnya.
“Dan yang terpenting, jika mereka memutuskan kerjasama dengan Maximillian, maka data-data mereka tidak akan aman. Karena, itu sama saja dengan memutus kerjasama dengan L.B Secure yang selama ini menjaga keamanan data-data mereka,” tandas Luke.
“Kalau memang seperti itu, kenapa mereka masih belum memberi balasan?” tanya Noah.
“Balasan mereka akan segera datang,” tukas Luke.
Noah menghela napas panjang. “Baiklah. Aku percaya padamu. Lagi pula, kita sudah sangat lama bekerjasama dengan pihak militer. Mereka tidak akan berpaling dengan mudah.”
“Mungkin karena umurku sudah mulai bertambah, kekhawatiranku juga mulai meningkat. Dulu mereka selalu memberi kabar paling lambat dua hari, tapi ini sudah satu minggu.”
“Tunggulah,” ujar Luke yang diangguki oleh Noah.
“Kau sudah makan malam?” tanya Noah.
“Nanti, di villa,” jawab Luke.
“Dengan wanita itu?” tanya Noah yang diangguki oleh Luke. Noah lantas tersenyum kemudian berkata, “Sebenarnya aku sangat penasaran dan ingin melihat seperti apa wanita itu. Sesekali bawalah dia ke sini.”
“Dia sibuk,” ucap Luke asal kemudian beranjak dari duduknya. “Aku pulang.”
Sepeninggal Luke dari ruang kerjanya, Noah langsung geleng-geleng kepala. Selalu begitu setiap mereka membicarakan wanita yang selalu menjadi topik hangat di lingkungan mereka.
“Kau sudah mau pulang?” sahut seorang wanita dengan sepiring buah di tangannya ketika melihat Luke menuruni tangga. Fiona Lorenza Maximillian, Istri Noah.
“Ya,” jawab Luke.
“Padahal aku baru mau membawakan kalian buah,” ucap Fiona lembut.
Tanpa berkata apa-apa, Luke langsung mengambil sepotong apel lalu memakannya, membuat Fiona mengulas senyum. Meski Luke terlihat cuek dan dingin, tapi Fiona tahu kalau adik iparnya itu sangat perhatian.
“Aku pergi,” pamit Luke.
“Kau tidak ingin melihat Ibu dulu?” tawar Fiona.
“Tidak,” jawab Luke tanpa menghentikan langkahnya.
Yah. Untuk itu Fiona tidak dapat membantu dan tidak bisa berkata apa-apa. Hubungan Ibu dan anak itu sudah tidak baik bahkan jauh sebelum ia dan Noah menikah.
“Ke villa,” pinta Luke pada Eddy setelah keduanya berada di dalam mobil.
“Baik,” ucap Eddy patuh.
***
“Kau sudah pulang,” sambut Jane begitu melihat Luke melewati pintu utama villa.
“Di mana Victoria?” tanya Luke.
“Di kamar. Dia sudah berada di sana sejak pulang tadi siang dan belum keluar sampai sekarang. Aku bahkan tidak yakin dia sudah makan siang dengan benar,” lapor Jane.
Luke melihat jam yang telah menunjukkan pukul 10 malam. “Buatkan makan malam,” pintanya kemudian beranjak menuju kamar.
Luke membuka pintu kamar dan gelap. Lampu tidak dinyalakan dan gorden jendela belum ditutup membuat angin dan sinar bulan bebas masuk ke dalam.
Di tengah tempat tidur, Victoria berbaring memunggungi Luke dengan selimut yang menutupi tubuhnya hingga leher.
Dengan langkah pelan, Luke menanggalkan jas dan dasi lalu naik ke tempat tidur. Masuk ke dalam selimut kemudian memeluk Victoria.
“Kau tidur?” bisik Luke.
Hening. Victoria tak menjawab. Namun, Luke tahu kalau kekasihnya belum tidur. Ia dapat merasakan tubuh Victoria bernapas tidak teratur.
“Apa terjadi sesuatu di grup musik?” tanya Luke nyaris berbisik. Dan hening. Victoria masih tak memberikan jawaban.
Tak tahan, Luke membalikkan tubuh Victoria hingga keduanya saling berhadapan. Dan alangkah terkejutnya Luke ketika melihat air mata mengalir di wajah cantik Victoria.
“Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis? Apa ada yang mengganggumu?” tanya Luke khawatir seraya mengusap air mata Victoria dengan lembut.
Selama beberapa saat, keduanya hanya saling menatap dan Luke tak bisa menghilangkan kekhawatirannya melihat Victoria yang tiba-tiba menangis.
Hingga akhirnya Victoria memeluk Luke dengan erat dan menangis dalam pelukan pria itu. Luke ikut mengeratkan pelukannya sembari mengelus rambut Victoria dengan lembut.
Setelah cukup lama menangis, akhirnya tangisan Victoria mereda dan hanya tersisa isakan kecil. Namun begitu, Victoria masih belum ingin melepas pelukannya. Bahkan ia semakin mengeratkan pelukannya seolah takut bahwa Luke akan pergi meninggalkannya.
“Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan selalu di sini. Menemanimu,” bisik Luke dengan suara lembutnya kemudian mengecup kepala Victoria.
Keduanya pun kembali membisu cukup lama sampai Victoria mengurai pelukannya. Menatap Luke tepat di mata pria itu dengan matanya yang sembab. Luke lalu mengecup kedua mata Victoria secara bergantian kemudian mengulas senyum.
“Kau ingin memberitahuku apa yang terjadi?” tanya Luke.
‘Bagaimana aku bisa memberitahumu apa yang terjadi hari ini? Wanita yang digosipkan denganmu baru saja menindas kekasihmu. Jika aku mengatakan itu, siapa yang akan kau pilih?,’ batin Victoria.
“Aku merindukanmu,” gumam Victoria.
“Bukan itu jawabannya,” tukas Luke.
“Tapi, aku merindukanmu,” ucap Victoria.
Luke menghela napas pendek. “Baiklah. Kau tidak ingin mengatakannya.”
“Jane bilang kau belum makan dari siang,” ujar Luke.
“Aku tidak lapar,” ucap Victoria menggeleng.
“Kau bisa sakit jika tidak makan seharian. Kau tahu, aku benci melihatmu sakit. Aku sudah meminta Jane untuk membuat makan malam untukmu. Jadi, makanlah setelah ini,” omel Luke.
“Tapi, aku benar-benar tidak lapar,” lirih Victoria dengan bibir mengerucut.
“Aku akan menyuapimu,” bujuk Luke.
Victoria mengalihkan pandangan lalu berkata, “Baiklah kalau kau memaksa.” Seketika Luke mengulas senyum dengan tingkah manja Victoria. Namun begitu, Luke sangat menyukainya.
“Apa hari ini kau begitu sibuk sampai pulang selarut ini?” tanya Victoria sembari masuk ke dalam pelukan Luke.
“Aku pulang ke rumah sebentar. Ada masalah pekerjaan yang harus kubicarakan dengan Noah,” jawab Luke yang diangguki oleh Victoria.
“Kapan kau ada waktu luang?” tanya Victoria.
“Kenapa?” tanya Luke balik.
“Ayo, pergi berlibur,” ajak Victoria.
“Kau ingin berlibur?” tanya Luke menunduk menatap Victoria. Victoria mengangguk sebagai jawaban. “Berlibur ke mana?”
“Hm .... Kau ingin ke mana?” tanya Victoria.
“Aku akan pergi ke mana kau pergi,” jawab Luke yang membuat Victoria mendengus.
“Kalau begitu ... bagaimana kalau ke pulau Santorini? Aku sangat ingin melihat rumah-rumah putih yang berderet di sana. Sepertinya akan sangat indah kalau dilihat langsung,” tutur Victoria.
“Atau kita bisa ke Cappadocia dan naik balon udara. Pasti seru melihat pemandangan dari atas. Aku sangat ingin ke sana!” serunya antusias.
Luke ikut mengulas senyum. “Kita bisa pergi ke keduanya kalau kau mau.”
“Benarkah?!” seru Victoria yang diangguki oleh Luke. “Tapi, bagaimana dengan pekerjaanmu kalau pergi terlalu lama? Melihatmu pulang ke rumah hari ini, kau pasti cukup sibuk belakangan ini.”
“Aku bisa meluangkan waktu untukmu. Kau selalu menjadi nomor satu untukku,” ucap Luke.
Blush! Wajah Victoria merona dengan rasa menggelitik di seluruh tubuh setiap kali Luke mengucapkan kalimat manis padanya. Padahal itu hanya kalimat sederhana, tapi jantung Victoria berdebar kencang saat mendengarnya.
Suara pintu diketuk terdengar yang mengalihkan perhatian keduanya. Itu Jane yang memberitahu bahwa makan malam Victoria telah siap di meja makan. Dengan sigap, Luke keluar kamar untuk mengambil makanan Victoria.
Sepeninggal Luke, senyum Victoria masih bertahan di wajah cantiknya. Seketika Victoria langsung melupakan kejadian yang membuatnya sedih dan marah tadi siang.
Hingga sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Luke yang berada di atas meja nakas. Victoria lantas menoleh dan melihat siapa yang mengirim pesan larut malam begini.
Deg! Seketika mata Victoria membelalak dengan jantung yang berdetak tak karuan saat melihat nama Isabelle tertera di sana. Selama beberapa saat, Victoria terus menatap nama Isabelle hingga layar ponsel mati otomatis.
Victoria menggigit bibir bawahnya berusaha menahan air mata dan pikiran buruk yang kembali terlintas di benaknya.
Saat Victoria hendak meraih ponsel Luke, tiba-tiba pintu dibuka dan Luke masuk ke dalam membawa semangkuk sup dan segelas susuu. Membuat Victoria langsung mengurungkan niatnya dan kembali ke posisinya semula.
“Jane membuat sup labu dan segelas susuu untukmu agar mudah dicerna di tengah malam begini,” ucap Luke yang dibalas senyuman oleh Victoria.
Luke duduk di tepi tempat tidur setelah meletakkan gelas di atas meja nakas. “Duduklah. Kau tidak boleh makan sambil berbaring.”
Victoria tak membantah dan bergegas mengambil posisi duduk di samping Luke. Tanpa menunggu lama, Luke langsung menyuapkan sup pada Victoria.
“Kau sudah memutuskan kapan ingin berlibur?” tanya Luke.
Victoria menggeleng sambil tersenyum. “Aku akan mengikuti jadwalmu.”
***
To be continued.