Pingsan

2060 Kata
Sejak kejadian di dalam toko pakaian, Agatha dan James tidak banyak bertukar suara. Bahkan ketika kini mereka keluar dari pusat perbelanjaan. Mereka berjalan berdampingan, tetapi layaknya orang yang tak kenal satu sama lain. Agatha berjalan dengan lunglai dan tak bertenaga, sepertinya wanita tersebut kelelahan juga suasana hatinya memburuk sebagai akibat dari perdebatannya dengan James tadi. Kedua tangannya juga kembali digantungi oleh beberapa tas belanjaan yang membuatnya merasa benar-benar lelah hingga akhirnya memberhentikan langkahnya. James tetap melanjutkan langkahnya karena memang tak menyadari jika Agatha menghentikan langkah kakinya. Pria tersebut terus melangkah dan hanya fokus menatap ke depan hingga akhirnya berhenti kala Agatha memanggilnya. “James! Tunggu aku.” Sura Agatha terdengar lirih dan berbeda dari sebelumnya. Hal tersebut membuat James dengan segera berbalik dan melihat istrinya tersebut yang telah menjatuhkan semua barang belanjaannya di bawah kaki. Tanpa dikomando, James langsung berjalan cepat untuk menghampiri Agatha. Bukan karena belanjaannya yang berjatuhan, melainkan karena wajah Agatha yang mendadak sangat pucat dan juga terlihat sangat lemas seolah malaikat maut tiba-tiba mendatangi istrinya tersebut. “Kau kenapa?” tanya James kala sampai di hadapan istrinya. James menggunakan kedua tangannya untuk memegangi tubuh Agatha yang tampaknya akan tumbang tak lama lagi. Agatha sendiri tidak mengerti dengan tubuhnya yang tiba-tiba lemas disertai dengan pusing yang membuat kepalanya terasa sangat ringan, yang saking ringannya Agatha tidak bisa merasakan lagi kakinya yang menapak. Penglihatan Agatha mulai mengabur hingga tangannya dengan refleks yang cepat langsung berpegangan pada James. Agatha kehilangan kesadarannya, beruntung James dengan cepat langsung menangkap tubuh wanita itu dan berhasil menyelamatkan tubuh Agatha dari kerasnya lantai. James sangat kaget dengan apa yang terjadi, padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda jika wanita yang telah dinikahinya itu tengah sakit. “Agatha!” James berusaha untuk membangunkan Agatha, tetapi istrinya tersebut sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jika ia kan sadar. Kejadian tersebut membuat banyak orang mengerubungi mereka, bagaikan semut yang menemukan gula. Tanpa berpikir panjang, James langsung menggendong tubuh Agatha dan membawanya ke mobil. Beruntung ada Hans yang memang tadi menjadi sopirnya saat menuju ke sini melihat mereka dan langsung membukakan pintu. Hans pun menerima belanjaan Agatha yang dibawakan oleh beberapa orang asing yang bersimpati atas apa yang terjadi pada pasangan yang kini menjadi bahan perbincangan banyak orang berkat siaran mereka yang terus ditampilkan oleh televisi secara berulang-ulang. James tidak tahu harus melakukan apa, ketika Hans masuk dan duduk di atas kursi kemudi ia langsung bertanya dengan bodohnya. “Hans, apa yang harus kita lakukan?” Hans langsung menoleh ke belakang dan melihat James, lantas tatapannya turun pada Agatha yang sangat pucat dan masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. “Sebaiknya kita membawa Nyonya Agatha ke rumah sakit, Tuan.” Saran yang sangat masuk akal yang diajukan oleh Hans langsung diangguki oleh James. Dia pun membiarkan Hans mulai menjalankan mobilnya tanpa banyak berkata lagi dan memilih fokus untuk melihat ke arah Agatha. Mata yang terpejam itu membuat James merasa tak suka. Timbul perasaan cemas yang sangat mengganjal di hatinya. Apa yang membuat Agatha seperti ini? Tadi ketika di restoran Agatha memakan makanan yang sama seperti yang James makan. Apakah mungkin Agatha mempunyai semacam alergi hingga wanita itu kini pingsan secara tiba-tiba? Tapi jika benar begitu maka seharusnya Agatha sudah menunjukkan gejala alergi sejak tadi. James sama sekali tidak tahu dan juga tidak bisa berpikir dengan jernih. d**a bidangnya ia jadikan sebagai bantal dan tempat sandaran yang cocok untuk istrinya tersebut. Hingga ketika mulai merasakan pergerakan dari Agatha, James langsung menundukkan wajahnya. “James?” lirihnya sambil berusaha untuk bangkit dari posisinya. Namun, setelah bangkit Agatha langsung menyandarkan kembali tubuh dan kepalanya ke d**a bidang milik suminya. James pun sama sekali tidak merasa keberatan untuk itu. Ia justru mengelus kepala Agatha dengan lembut, saking lembutnya Agatha sampai tidak menyadari jika James tengah mengelus kepalanya. “Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya James dengan perhatian. Agatha menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Aku sudah merasa lebih baik. Sepertinya aku masuk angin atau mungkin dehidrasi,” ujar Agatha dengan pelan. “Kita akan memastikannya ke rumah sakit.” “Kita akan pergi ke rumah sakit?” Agatha langsung menegakkan tubuhnya seraya melihat ke arah James, lalu mengalihkan tatapannya pada Hans yang fokus menyetir. Mobil yang digunakan sekarang adalah mobil yang biasa digunakan oleh Agatha sehingga sama sekali tidak ada sekat antara kursi penumpang dan kursi pengemudi. “Ya, kita akan memeriksa keadaanmu.” “James, aku rasa kita tidak perlu pergi ke rumah sakit. Aku hanya masuk angin atau dehidrasi, seperti yang kukatakan tadi. Aku tidak ingin pergi ke rumah sakit, sebaiknya kita pulang saja,” imbuh Agatha. Sama sekali tidak ingin pergi ke rumah sakit karena ia merasa tidak ada sesuatu yang serius degan tubuhnya. James menggeleng tak setuju dengan usul yang diucapkan oleh Agatha. Ia ingin memastikan bagaimana keadaan Agatha yang sesungguhnya. “Tidak! Kau baru saja pingsan, kita harus tahu dan memastikan ada apa denganmu. Bagaimana jika kau terjangkit sebuah penyakit? Aku tidak mau jika mempunyai istri yang penyakitan!” “Aku tahu ada apa dengan tubuhku, dan aku yakin jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari apa yang terjadi barusan. Aku ingin kita pulang saja, James,” mohon Agatha dengan cara yang paling melas di dunia. Ia menatap wajah James dengan tatapan sayu dan kedua telapak tangannya yang bersatu di depan d**a. “Kau tidak sedang berusaha menyembunyikan suatu penyakit yang ada dalam dirimu bukan? Maksudku bisa saja kau mengidap sebuah penyakit dan kau tahu akan hal itu, tapi kemudian kau berusaha untuk menyembunyikannya dariku?” curiga James. Agatha terkekeh pelan seraya kembali menyandarkan kepalanya di d**a bidang milik suaminya yang ia sukai sejak pertama kali mereka bertemu. Agatha masih ingat jika dirinya yang masih sempat memuji bentuk tubuh James dalam hati ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya dalam momen yang sangat tidak menyenangkan. “Sama sekali tidak. Aku hanya yakin jika tidak ada masalah yang serius padaku, jadi aku ingin pulang dan istirahat saja.” Agatha memamerkan senyum manisnya, ia mendadak lupa jika sebelumnya mereka sempat berdebat di toko pakaian. Pingsannya telah membuat mereka berdamai begitu saja. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Sepertinya kau hanya lelah karena terlalu banyak belanja. Hans, kita pulang saja ke rumah!” *** Sudah menjelang tengah malam, tetapi Agatha baru saja membuka matanya kembali setelah tidur dalam jangka waktu yang lama sepulang dari pusat perbelanjaan bersama dengan James. Sangat tidak menyenangkan ketika lagi-lagi ia terbangun di malam hari seperti saat ini, Agatha tahu jika dirinya tidak akan bisa terlelap dengan cepat kembali. Kebiasaan perutnya yang merasa lapar pun terasa. Agatha menatap ke arah James yang tertidur di sampingnya terlebih dahulu. Pria itu tampak lelap seperti biasanya, tidak ada beban dalam wajahnya dan yang ada hanya sebuah kedamaian. Sepertinya James memiliki mimpi yang indah untuk tidurnya malam ini. Lantas Agatha duduk dan melihat ke sekeliling. Kamar James, Agatha menghela napas karena sekarang ia dan pria sombong yang telah menjadi suaminya benar-benar memiliki kamar yang sama. Mungkin James tidak mau membiarkan Agatha hidup dengan tenang di rumah ini sehingga pria itu dengan sengaja membuat Agatha pindah ke kamarnya. Dan Agatha harus mulai membiasakan dirinya mulai sekarang. Tidak lagi mempermasalahkan jika ia dan James kan terus berada di kamar yang sama setiap malamnya. Toh, mereka sudah sah sebagai suami istri baik di mata agama ataupun di mata hukum. Jadi, tidak ada yang perlu Agatha khawatirkan. Untuk menuntaskan rasa lapar yang menderanya, Agatha pun berniat untuk turun ke lantai bawah seperti malam sebelumnya. Bedanya, kali ini Agatha merasa sangat lapar dan sepertinya ia akan membuat roti isi daripada memakan makanan ringan yang tidak begitu mengenyangkan. Dan masalah pun mulai Agatha sadari. Dia tidak bisa masuk dan keluar dari kamar James dengan sesuka hati karena kamar ini yang dilengkapi dengan teknologi yang sangat modern. Pintu kamarnya hanya bisa terbuka dengan sidik jari James yang mana kini pria itu tengah lelap dalam tidurnya. “Bagaimana ini? Haruskan aku meminjam tangannya dulu?” gumam Agatha pada dirinya sendiri. Matanya melihat ke arah James yang terbaring di tas kasur. Jika saja tubuh manusia itu seperti boneka barbie yang bisa dipasang dan dicopot kapan saja, mungkin Agatha sudah mengambil sebelah tangan James agar ia bisa membuka pintu kokoh yang menjadi penutup kamar ini. Sayangnya, manusia tidak seperti itu. Atau mungkin Agatha harus menarik tubuh James ke sini dan meminjam jempolnya untuk ditempelkan ke layar kecil yang ada di bagian tengah pintu? Bukan ide bagus karena Agatha tidak mempunyai tenaga sebanyak itu untuk menarik tubuh besar James ke tempatnya kini berada. Hal yang paling masuk akal dan paling mungkin untuk dilakukannya adalah membangunkan James dan meminta pria itu agar membukakan pintu untuknya. Namun, ide tersebut pun sama buruknya bagi Agatha. Pertama, ia takut James merasa marah karena Agatha berani mengganggu waktu tidurnya. Dan ke-dua, ia sangat malas untuk bercakap dengan James nantinya. Selama ini mereka belum pernah berbincang dengan ritme yang benar-benar baik dan menyenangkan. Selalu saja ada perdebatan yang mengundang emosi di akhir pembicaraan mereka. Walau Agatha sangat ingat jika tadi saat di mobil James sangat perhatian padanya. Padahal dirinya hanya pingsan, tetapi James begitu memaksanya untuk pergi ke rumah sakit. Belum lagi James yang terus membuat kepala Agatha bersandar padanya. Ah! Mengingat hal tersebut sangat tidak baik untuk kesehatan otak dan hatinya. Agatha tidak boleh terkontaminasi oleh pria yang telah membunuh orang tua angkatnya tersebut. Agatha harus pandai menjaga dirinya agar ia sama sekali tidak terbawa perasaan atas setiap perlakuan manis yang terkadang ditimbulkan oleh James. Yang perlu Agatha lakukan adalah mengingat setiap keburukan yang pernah James lakukan ketika James melakukan sesuatu yang manis seperti tadi. Hal itu dilakukan Agatha sebagai pertahanan dirinya agar ia tidak jatuh hati pada sosok pembunuh itu. Agatha menghembuskan napasnya kasar kala sadar jika apa yang dipikirkannya sama sekali tak mengalihkan fokusnya dari rasa lapar yang sering datang di waktu yang tidak tepat. Jika terus terbangun di tengah malam seperti ini dan kemudian terus merasa lapar di setiap bangunnya ,bisa-bisa Agatha mengalami kenaikan berat badan. Akhirnya Agatha menyerah dan memilih untuk menghampiri James, wanita itu mendudukkan dirinya di samping James dan akan berusaha untuk membangunkan suaminya tersebut. Namun, nyalinya begitu menciut ketika tangannya sudah bertengger manis di lengan kekar pria tersebut yang sangat keras ketika disentuh. Lagi, Agatha harus menguatkan tekadnya karena rasa lapar yang menderanya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. “James, bangunlah!” Sama sekali tidak ada respons yang ditunjukkan oleh suaminya tersebut. Bahkan bergerak sedikit saja tidak selain dadanya yang kembang kempis karena ia masih bernapas. “James! Bangunlah! Aku sedang lapar dan harus mencari makan tetapi aku tidak bisa membuka pintunya! Haruskah aku mencopot tanganmu untuk sejenak?” Agatha mengguncang tubuh suminya dengan lebih kencang dan berharap jika hal tersebut mampu membuat James segera terjaga dan membuka matanya. Nada yang digunakan oleh Agatha pun terkesan sangat kesal dan sedikit ada marah di dalamnya. Harus Agatha akui jika dirinya lebih mudah terpancing amarah sejak mengenal James dan jika berhubungan dengan James. Sepertinya hal tersebut terjadi karena James yang terlalu banyak melakukan dosa padanya. Dimulai dari membunuh orang tuanya, merebut kesuciannya dengan paksa—walau memang mereka sudah menikah tidak seharusnya James memaksanya saat pertama kali, dan juga James yang kerap kali bersikap kasar padanya. “James!!” Akhirnya pria itu terusik dan langsung telentang, sebelumnya posisi James tertidur dengan posisi menyamping ke tempat yang ditiduri Agatha tadi. Sekarang Agatha jadi berpikir apakah mungkin James memandanginya dulu sebelum tidur? Rasanya itu tidak mungkin dan hanya angan-angan Agatha saja. “Apa?” tanya James dengan suaranya yang serak khas bangun tidur. Matanya perlahan terbuka dan langsung melihat ke arah Agatha dengan kesal. Memangnya siapa yang tidak kesal jika tidur nyenyaknya diganggu? “Bukakan pintu untukku!” ujar Agatha langsung pada intinya. James mendengus kesal. “Buka saja sendiri! Memangnya kau akan ke mana?” “Bagaimana bisa aku membukanya jika kamar ini hanya bisa dibuka dengan jempolmu? Kau pikir kita mempunyai sidik jari yang sama? Aku ingin makan karena aku sangat lapar!” ketus Agatha. “Kau juga bisa membukanya degan pin. Tekan angka satu sebanyak enam kali dan pintu pun bisa kau buka.” “Kau sangat tidak kreatif untuk menciptakan pin. Biklah, kau bisa tidur kembali,” imbuh Agatha seraya bangkit dan menuruti perkataan James, membuka pintu dengan menggunakan pin. Baguslah ada alternatif lain untuk membuka pintu karena dengan begitu Agatha tidak perlu terus bergantung pada jempol James yang pastinya tidak akan bisa ia gunakan selalu. “Agatha! Setelah kau selesai makan lekaslah kembali dan jangan tidur di ruang televisi!!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN