Bahagiakan aku dengan uangmu

1689 Kata
Sambutan yang sangat riang Agatha dapatkan ketika dirinya baru saja turun dari mobil bersama James yang enggan beranjak darinya dan bersikap setia bagai seekor kucing yang terus mengekor di belakang majikannya. Agatha menghela napas kasar ketika tiga pelayannya langsung mengerubungi dengan senyum manis yang sangat jarang sekali luntur dari bibir mereka. Agatha jadi merasa heran, apakah mereka tidak pegal karena terus tersenyum sepanjang hari? Mungkin tidak, seharusnya Agatha tahu jika mereka hidup tidak dengan beban yang berat seperti Agatha. Atau mungkin mereka sebenarnya mempunyai beban hidup hanya saja tidak terus memikirkannya dan berusaha untuk tetap ceria setiap harinya. “Selamat malam, Nyonya Agatha, Tuan James.” Adel berdiri paling dengan, tangannya saling bertautan ketika ia mengucapkan kalimatnya. Di belakangnya, Peggy dan Katty memasang wajah kantuk mereka yang masih saja mencoba untuk tersenyum cerah. Sekarang memang sudah cukup larut, Agatha berpikir jika ketiganya sudah bergelung di balik selimut masing-masing. Namun ternyata dugaannya salah. Mereka masih terjaga, dengan semangat yang masih saja membara. Sepertinya Agatha harus belajar banyak dari mereka bagaimana caranya menjalani kehidupan dengan kebahagiaan dan semangat yang menyala-nyala. “Selamat malam, kenapa kalian belum tidur? Ini sudah sangat malam mengingat jika besok kalian akan bangun pagi-pagi sekali.” Peggy maju untuk berdiri di samping Adel, begitu pula dengan Katty yang tak mau ketinggalan rombongan. “Kami menunggumu pulang, Nyonya. Bagaimana? Apakah makan malam Tuan dan Nyonya menyenangkan?” “Sama sekali tidak.” Agatha langsung melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan tiga pelayannya dan juga suaminya yang sejak tadi tidak mengeluarkan suara. Agatha mencoba untuk tidak peduli ketika James mengikutinya dari belakang. Mungkin diikuti oleh James kali ini lebih baik daripada diikuti oleh ketiga pelayannya yang sangat berisik dan sulit untuk diam. Agatha merasa lelah dan ingin beristirahat dengan cepat malam ini. Memang James itu tukang pamer, dia mengajak Agatha berkeliling ke banyak restoran malam ini. Beruntungnya, penyajian makanan di restoran itu pelit meski harganya sangat mahal. Jadi Agatha tidak merasa kekenyangan walau malam ini ia sudah mengunjungi empat restoran mewah. Ketika sampai di kamar, Agatha tidak menutup pintu karena tahu jika suaminya akan mengikutinya sampai ke dalam. Maka dari itu ia membiarkan James yang menutup pintu kamarnya malam ini. “Apa aku boleh bermalam di sini sekarang?” “Apa kau perlu izin untuk itu?” sela Agatha dengan alis yang terangkat sebelah. Ia tahu jika pun Agatha menolak maka James akan tetap berada di kamarnya hingga pagi menjelang. Dan pria itu akan berdalih jika rumah ini adalah miliknya, dan merupakan suatu kebebasan baginya untuk tidur dan bermalam di mana saja. Pada akhirnya, Agatha yang akan mengalah. “Tentu saja tidak.” James menjawab sembari melemparkan tubuhnya ke atas kasur, sepertinya ia kelelahan karena kelakuannya sendiri yang sombong karena berkeliling restoran. Agatha jadi berharap agar James bangkrut saja, mungkin dengan begitu pria tersebut tidak akan terlalu menyusahkah Agatha. Meong!!! James melonjak kaget kala seekor kucing liar meloncat ke atas perutnya. Dengan gerakan refleks pria tersebut langsung bangkit dan melemparkan kucing tersebut ke lantai. “Sialan! Siapa yang membawa kucing kumuh seperti itu ke sini!” umpatnya. Hal tersebut membuat Agatha tertawa terbahak-bahak, bahkan wanita yang tadinya berniat untuk merebahkan diri di atas sofa tersebut mengurungkan niatnya dan memilih menghampiri suaminya yang masih tampak sangat terkejut. Agatha tahu jika suaminya bukan takut, hanya sedang terkejut saja karena Opie meloncat naik begitu saja ke atas perutnya. “Tadi saat di kamarmu aku sudah mengatakan jika Opie berada di kamarku. Apa kau melupakannya? Bagaimana bisa pengusaha hebat sepertimu pikun begitu?” Agatha menarik Opie dan menempatkannya di pangkuan, sedangkan dirinya sendiri kini duduk di samping James yang menatapnya dengan aneh. Agatha tidak tahu hal apa yang membuat James terlihat keheranan seperti itu. “Ada apa denganmu? Apa kau takut pada kucingku?” “Seharusnya aku yang bertanya padamu, ada apa denganmu hingga kau membawa kucing kumal dan tidak terlatih sepertinya ke dalam rumah ini? Apa kau pikir aku adalah manusia baik hati yang rela rumahnya dijadikan panti untuk kucing-kucing liar dan tak terurus seperti kucingmu itu?” Agatha mendengus kesal, walau hatinya mengamini jika Opie merupakan kucing liar yang tak terurus dan tidak pula terlatih. Tetapi kini Opie sudah lebih baik daripada saat pertama kali Obie membawanya datang ke gubuk. Agatha yakin jika Obie mengurus Opie dengan baik hingga kucing yang kini kembali melompat dari pangkuannya itu mengalami kenaikan berat badan. Agatha membiarkan Opie yang merangkak naik ke atas sofa dan sepertinya akan tidur di sana. Ia menoleh pada James yang menatap tak suka pada Opie. Sial! Hal tersebut malah mengingatkannya pada Jonathan yang juga tidak menyukai kehadiran Opie. “Aku tidak ingin kucing tidak sopan itu berada di rumahku besok!” tutur James seraya merebahkan tubuhnya. Tidak peduli ketika Agatha mendelik ke arahnya karena kalimat yang ia lontarkan. Bukankah kalimatnya adalah benar jika kucing yang Agatha panggil dengan sebuta Opie itu tidak mempunyai sopan santun? Sangat tidak terdidik. “Kau pun sama tidak sopannya! Kau berani menghina seekor kucing di depan pemiliknya! Aku tidak menyukainya! Opie adalah kucingku, tidak akan kubiarkan ada orang lain yang menghinanya!” Agatha naik sepenuhnya ke atas kasur dan memukul lengan James dengan brutal. Sebenarnya, ia bukan hanya kesal karena James menghina Opie. Ada banyak kemarahan yang Agatha simpan hingga kini ia melampiaskannya pada lengan kokoh James dengan cara membabi buta, tak peduli jika prianya tersebut akan kesakitan. Karena Agatha jauh lebih sakit. Dirinya jauh lebih hancur dari kata hancur itu sendiri. Agatha marah pada James yang telah membunuh orang tua angkatnya, Agatha marah Jonathan yang telah berkhianat dan mengorbankannya, Agatha marah pada dirinya yang mau-mau saja jadi bahan permainan pria-pria yang bersamanya. Lepas dari Jonathan justru ia didapatkan oleh James. Ibarat kata, keluar kandang macan masuk kandang singa. Agatha lelah. Sangat lelah. Yang bahkan saking lelahnya ia melemas dan tak lagi memukuli James. Air matanya malah merembes deras membasahi kedua pipinya hingga leher. Agatha menangis seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ia sangat frustrasi dengan apa yang harus ia lalui setiap harinya. James terdiam melihatnya, pria itu memerhatikan Agatha dengan intens sebelum kemudian menarik istrinya itu untuk ikut berbaring bersamanya. Hal tersebut membuat Agatha semakin berani menumpahkan tangisnya yang tak tertahan karena memikirkan setiap garis takdir yang telah dilaluinya. “James, apa kau bisa membahagiakan aku dengan uangmu? Bisakah selama kita memainkan peran ini kau benar-benar membahagiakanku?” “Aku tidak tahu, mungkin ... bisa.” *** Tulisan Sun University terpampang di bagian gedung paling depan dan atas. Agatha sempat mendongakkan kepalanya untuk melihat hal tersebut sebelum melangkahkan kakinya. Seperti di hari kemarin saat tiga pelayan pribadinya mengikutinya dari belakang, kali ini pun demikian. Bahkan, Vin yang seharusnya menunggu di tempat parkir atau luar gedung saja mengikutinya. Katanya pria tersebut akan menunggu di depan kelas Agatha saja agar keamanan lebih terkendali. Padahal, apa yang perlu diperhatikan? Agatha tidak merasa jika ia memiliki potensi sebagai objek yang membahayakan. Walau kini statusnya sebagai istri dari James Hunt. Memangnya pria tersebut mempunyai musuh? Ya, tentu saja! Agatha meralat ucapannya yang mengataka jika dia tidak berpotensi menjadi objek kejahatan yang membahayakan. Tentu saja sekarang ia bisa menjadi sasaran empuk kejahatan yang seharusnya ditujukan untuk James. Suaminya itu berhati iblis, Agatha yakin pasti pria tersebut mempunyai banyak musuh yang mendendam. Mungkin saja jika Agatha adalah seorang pria atau mungkin wanita yang memiliki daya upaya, maka ia pun akan menjadi musuh bebuyutan James setalah apa yang dilakukan oleh pria sombong tersebut pada orang tua angkatnya. “Kemarikan tasku,” pinta Agatha sembari menoleh ke belakang, tepatnya pada Peggy yang sejak tadi tak mau melepaskan tasnya yang memiliki tulisan dua huruf konsonan di bagian depan. Sudah hampir sampai di kelas, dan Agatha tidak berharap jika tiga pelayannya ataupun Vin akan masuk ke dalam. Itu akan membuatnya tidak leluasa mengobrol dengan sahabat-sahabatnya. “Nyonya, biar saya bawakan ini sampai ke dalam kelas.” “Tidak perlu, kalian tunggulah di depan kelas saja. Jika aku membutuhkan bantuan aku akan memanggil kalian, jika aku tidak memanggil kalian maka itu artinya aku sama sekali tidak membutuhkan bantuan, jadi jangan coba-coba untuk menawariku sebuah bantuan apa pun. Mengerti?” ujar Agatha dengan mimik wajah serius dan menatap Adel, Peggy, dan Katty satu persatu tanpa terkecuali. Mungkin Vin tidak perlu diberikan peringatan sedemikian keras karena pria itu pasti mengerti tanpa harus ditekan. Berbeda dengan tiga pelayan pribadinya yang bahkan kini telah melayangkan tatapan penuh protes. “Tidak Nyonya, kami harus melayanimu dengan baik. Jadi kami harus selalu siap siaga untuk membantu melakukan apa pun.” Adel tersenyum dengan ramah. Tangannya merebut tas dari tangan Peggy dan menyerahkannya pada Agatha. Peggy sempat mendengus karena hal tersebut. Namun, tak urung ia tetap mempertahankan senyum sopan ke arah majikannya. “Apa yang dikatakan oleh Adel adalah benar, Nyonya. Tuan James membayar kami untuk melayanimu dengan baik.” “Tetapi jika aku sedang tidak membutuhkannya kalian malah menggangguku, dan mengganggu sama sekali bukan tugas kalian. Sekarang lakukan apa yang aku katakan dan jangan mengganggu!” Agatha langsung bergegas pergi ke dalam kelasnya meninggalkan empat orang yang ia pastikan akan menunggunya di luar kelas. “Aku merasa jika kita memakan gaji buta,” keluh Katty seraya berdiri di samping Vin yang berdiri tegak layaknya seorang prajurit negara yang sedang melaksanakan upacara. Adel dan Peggy pun mengikutinya karena tak mungkin jika mereka terus berdiri di ambang pintu yang membuat mereka jadi pintu hidup yang menghalangi jalan masuk. “Bukankah seharusnya kalian merasa senang? Kalian mendapatkan gaji yang banyak setiap minggunya dan tak perlu bekerja dengan lelah.” Vin berujar dengan santai. Kehadiran Agatha pun membuat tugasnya berubah. Ia yang dulunya sibuk karena bertugas menjadi salah satu pengawal ke mana pun James pergi, karena bertugas menjaga Agatha yang hari-harinya lebih banyak dihabiskan di rumah. Tugasnya menjadi jauh lebih ringan karena James yang tak membebaskan Agatha untuk pergi ke mana pun. Bahkan, secara diam-diam James memerintahkan Vin agar selalu mengabarkan apa yang dilakukan oleh Agatha dan ke mana kaki wanita tersebut melangkah. Vin tidak tahu apa maksud dan tujuan James melakukan hal ini. Tetapi ia berpikir mungkin James melakukan hal tersebut sebagai upayanya menjaga Agatha dari kejahatan yang mengintai. “Ya, tapi aku merasa bersalah pada Tuan James, dia membayar mahal tetapi kami bekerja dengan sangat ringan,” tukas Katty seraya menyilangkan tangannya di d**a.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN